Paket Kebahagiaan Tiga Hari Dua Malam

cerita dari Pulau Tidung

Ahsan Ridhoi
Wisata Indonesia

--

Selasa dini hari di Warna-warni terlihat berbeda dari biasanya, lebih sibuk, lebih ramai. Teriakan hadir disana-sini. Entah hanya sekedar untuk memanggil atau memberitahu pukul berapa kala itu. Sekitar satu jam keriuhan itu terjadi. Bercampur dengan sayup suara speaker masjid di seberang jalan yang mulai melantunkan firman-firman Tuhan.

Pukul 4 pagi, sesaat sebelum adzan subuh berkumandang keriuhan itu tiba pada puncaknya. “Bis udah dateng wooy, ayo cepet-cepet!”, teriak seorang teman pagi itu, menjadi komando bagiku dan beberapa teman yang lain. Terlihat samar dibalik embun pagi sesosok Koantas Bima 102 yang telah sengaja disewa terparkir di depan Warna-warni. Lalu satu persatu dari kami mulai menaiki kendaraan masal tersebut, tak lama 19 orang dan barang bawaannya telah menyesaki kendaraan.

“Tiduuuuuung we’re coming” salah satu dari kami berteriak kencang.

Maaf belum menjelaskan, perjalanan pagi itu merupakan sebuah perjalananku bersama teman sekelas dikampus menuju Pulau Tidung, sebuah pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Perjalanan ini sudah terencana sekitar satu sampai dua minggu sebelum UAS berakhir. Dan ini kali pertamaku mengisi liburan bersama mereka. Jadi simak baik-baik ceritaku saja lah ☺.

********

MUARA ANGKE-TIDUNG

Sekitar pukul 06.30 pagi tibalah kami di pelabuhan Muara Angke, destinasi pertama sebelum menyebrang ke Tidung. Sejuk udara pesisir bercampur bau amis menerjang indra penciumanku. Dengan cepat mulutku merespon sehingga mengeluarkan bebunyian “hueeek”, aku hampir muntah.

Tak yakin aku dengan perjalanan pagi itu, sepertinya penyebrangan kali ini akan diwarnai mabok laut luar biasa. Tapi cepat semua itu kusanggah, sebatang rokok dan sedikit senyum dari mentari pagi itu menghilangkan rasa mualku.

Beberapa saat di luar pelabuhan lantaran menunggu beberapa teman yang ke toilet, kami pun melangkah bersama memasuki pelabuhan. Setelah dekat dengan kapal motor yang hendak mengangkut kami, rombongan berhenti. Terdengar ketua rombongan alias tour guide kami Bang Reval dari Maritim Travel mulai memanggil nama kami satu persatu, takut satu diantara kami tertinggal.

“ahsan, doddy, ikhsan, omi, fikri, sheren, ayi, sarah, rida, riska, atfal, iyan, teguh, adi, dika, erro, jopi, icha, nissa…..” begitu nama kami disebut satu persatu. Setelah terdengar jawaban kehadiran dari kami, satu persatu mulai naik ke atas kapal.

K.M Harapan, M.Angke-P.Tidung. Tertulis besar di depan badan kapal nama dan tujuan dari kapal yang kami naiki. Sungguh sesak, kami pun hanya kebagian tempat di atap kapal. Seram juga jika dibayangkan. Apalagi selama ini hal semacam itu baru kali pertama ku alami dari segudang pengalamanku naik kapal.

Miris rasanya melihat sekitaran Angke pagi itu. Pelabuhan wisata yang tak terawat, fasilitas penyebrangan pun seadanya. Seperti hanya di eksploitasi saja namun minus perawatan. Air lautnya yang lebih hitam dari kopi, lebih berminyak dari wajahku ketika tak mandi seminggu penuh. Lalu segudang sampah yang membuat laut pesisir Angke tak lebih dari gudang super market. Tak heran jika dengan mudah aku dapat menebak mengapa Jakarta kerap banjir.

Cepat-cepat kubuang rasa prihatinku. Aku tak mau kebahagiaanku terganggu oleh kenyataan pahit pesisir Jakarta. Tapi setidaknya sejak saat itu aku punya sebuah cita-cita baru. Meneladani nenek moyang, menjadi pelaut. Dan jika kaya nanti kan kubei satu buah pulau negeri ini, kujaga dan kurawat sehingga nenek moyangku tak sedih.

“toooooot, toooooot, tooooot” sirine kapal berbunyi, kita siap berlayar kapten!. Pelahan-lahan kapal berjalan menjauh dari pelabuhan. Gedung-gedung tinggi kota Jakarta mulai kabur terhapus awan.

“inilah ketenangan sesungguhnya”, kataku dalam hati. Memang bagi kaum kota sepertiku jauh dari kepadatan gedung dan dihembus angin serta sesekali digoyang gelombang adalah surga.

Duduk berderet disampingku Jopi, Bang Reval, Sheren, Ayi, dan Riska. Petikan-petikan gitar mulai kumainkan guna melengkapi nyanyian angin laut kala itu. Syair-syair Dewa 19 mengalun indah dan kurasa burung yang beterbangan ikut bernyayi. Oh indahnya bernegoisasi dengan alam.

Tak ada yang manyun dalam perjalanan itu, keceriaan hadir dalam wajah teman-teman. Tak tahu apa dibenak mereka tentang perjalanan ini, tapi kusangkakan mereka sama bahagianya denganku, sama-sama berada di surga ketenangan.

Setelah beberapa lagu puas ternyanyikan, guratan lelah mulai hadir di wajah beberapa teman. Dapat kurasakan kelelahan mereka setelah semalaman tak dapat memejamkan mata karena menunggu perjalanan hari itu. Bang reval mengambil posisi tidur terlebih dahulu, disusul Jopi, lalu Riska, Sheren, dan Ayi. Aku tersenyum melihat mereka yang tertidur sambil masih menyanyikan lagu-lagu yang sudah tak jelas lagi milik siapa.

Ketenanganku dalam perjalanan itu bertambah kala kulihat Sheren yang tertidur pulas dengan hidung memerah menambah kecantikannya. Baru kali pertama kulihatnya wanita pujaan yang telah lama mengisi hati dan anganku tertidur dengan cantiknya. Alangkah senangya aku jika saat itu aku adalah abagian dari mimpinya dan senandungku menjadi dongengnya. Ah terlalu berlebihan rasanya jika kuungkapkan itu disini, ini bukan arena curhat, hehehe.

Namun entah mengapa goyangan gelombang pada kapal tak membuatku melepas pandangan mataku padanya. Hingga sejenak ku berpuisi dalam hati.

Biar ombak menggelora
Biar gelombag menerjang
Akulah sang karang
Dan engkaulah Dewinya
Terus kau gerakkan ombak dan gelombang
Dengan merahnya hidungmu
Mengikis demi sedikit Aku
Hingga habis dan hanyut bersama samudera
Bersama anganku akan dirimu.

Mungkin ini yang disebut kekekalan, mungkin juga kebahagiaan, tapi bisa dipastikan ini cinta. Meski tak terungkap spontan ia terus bergrilya.

Beberapa saat kemudian semua mulai terbangun, mulai mengusap muka satu persatu, kembali menikmati samudera. Kapal terus berjalan diantara pulau-pulau kecil, semakin mendekat ketujuan. Hingga pada akhirnya setelah hampir dua setengah jam perjalanan Tidung pun mulai terlihat. Dibalik awan tipis, di tatap matari siang yang gagah.

Aku bersiap, yang lain pun begitu. Kapal muai riuh, ada yang menjepret gambar untuk kenangan kedatangan, ada pula yang sibuk mengangkut barang. Teratur sekali antrean turun, semua berhati-hati melangkah ke pelabuhan. Air pelabuhan Tidung sungguh hijau. Sayang masih juga kutemui sampah.

Berdiri di atas pelabuhan pun aku masih digoyang gelombang. Sepertinya gelombang lautan telah merasuk kedalam otakku. Dalam goyang bukan bimbang, terpampang besar tulisan selamat datang di depan mataku. Disini paket kebahagiaan 3 hari 2 malam itu dimulai ☺.

INI TIDUNG!

Tugu selamat datang di Pulau Tidung

Inilah Pulau itu, Tidung dengan segudang ceritanya yang sering kubaca di laman-laman dunia maya. Sudah penuh sesak dengan manusia. Banyak pemukiman dikanan-kiriku. Aku dan 18 kawan lainnya termasuk sang tour guide mulai berjalan menjauh dari pelabuhan tempat kami sampai beberapa menit yang lalu. Lekuk demi lekuk gang pun kami susuri. Jalan yang lumayan jauh menuju Homestay.

Tak sampai sejam memang untuk berjalan kaki sampai ke Homestay. Namun dengan sisa kelelahan selama 2,5 jam terombang-ambing diatas lautan, jarak yang dekat terasa jauh juga. Tak apalah demi kebahagiaan 3 hari 2 malam ini tak ada artinya.

Lebih dari 5 gang dan 8 tikungan kami lewati, dan akhirnya sampailah kami di Homestay. Rumah sederhana, tak terlalu besar, tapi dapat kupastikan muat untuk keseluruhan kami. Cat ungu yang menempel pada dinding rumah semakin menambah kecerahan penampakannya. Ada beberapa kursi di depannya dan dua buah meja, cukup untuk tempat bersenda gurau disela waktu, pikirku.

Dengan keringat yang masih mengucur dari sisi pelipis muka, satu persatu dari kami memasuki Homestay. Toilet adalah tujuan utama. Jopi yang sedari tadi mengaku sudah kebelet buang air besar pun dengan cepat sudah sampai di pintu toilet. Tak berapa lama ia keluar dengan muka lega. “akhirnya kebuang juga”, sahutnya ditambah cengir.

Satu persatu dari kami mulai mengeluarkan bekal makanannya. Atfal dengan Pop mienya, Sheren dengan kering tempenya, Fikri dengan Oreonya, bahkan hingga Riska dengan susunya (ups ambigu). Kelelahan selama diperjalanan pun sedikit terbayar. Keringat berangsur menghilang. Udara dingin dari AC telah mengghapusnya.

Ada yang aneh bagiku saat itu, sedari tadi aku belum melihat pemandangan berbeda selain rumah yang berjajar. “Dimana pantainya? Ombaknya? Banana Boot? ah ini mah berasa di kampung pedalaman Jawa gue”, ucapku pada sorang teman. Mendengar ucapan tersebut sontak Bang Reval sang pemandu pun menjawab, “udah istirahat aja dulu, entar sorean baru jalan. Lihat deh tuh surganya Tidung”.

“Ah, lebay lo bang, mana ada surga ditempat beginian?”, Jopi pun menyanggah.

“yee dibilangin juga, entar lo juga bakalan betah disono!” Bang reval meyakinkan.

Tanpa sadar ternyata kawan yang lain menyimak obrolan kami. Mungkin mereka juga penasaran mengapa tak ada pantai terlihat sedari tadi. Kebahagiaan yang menjadi pertanyaan besar. Percakapan pun ditutup dengan rasa penasaran tingkat dewa.

10 menit sejak percakapan itu, satu persatu kawan mulai bertumbangan. Kasur yang sudah siap mendadak penuh. Hanya tinggal segelintir saja yang bertahan. Kupikir aku tak akan ikut terlelap, tenyata salah. Kantuk pun menyerangku dengan membabi buta. Aku terlelap bersama kebahagiaan yang masih menjadi bayangan.

********

JEMBATAN CINTA

13.30

Kebisingan menyerangku kembali, terdengar sekali dua kali teriakan. Dari ejaannya terdengar seperti perintah untuk bangun. Ah, belum puas aku tidur, mimpiku belum usai. Memang aku selalu muak jika mimpiku diganggu. Namun aku tersadar, ini kan liburan bukan dikosan. Segera lah kubuka mata. Hemm, menakjubkan sekali, semua kawanku sudah bersiap. Aku tertinggal.

Tanpa banyak pikir lagi aku pun berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Usai muka tercuci, baju terganti, segar pun menghampiri, berdirilah aku di depan kaca. Sedikit kutengok sudut-sudut muka, takut jika masih ada belek yang tersisah. Syal merah kupakai sebagai ikat kepala, tak lupa kacamata kucentelkan di lingkar kepala kaos, membelah dada. “Aku siaaaaaap!!!!”, teriakku bersemangat.

Di depan Homestay kutemui para kawan sudah siap diatas sepeda masing-masing. Ya, sepeda adalah salah satu fasilitas dalam paket kebahagiaan ini. Rupanya kami tak langsung bergegas, masih harus menunggu Bang Reval. Sedikit lama memang, tapi tak masalah daripada nyasar pikirku.

Ketika Bang Rerval sudah datang ia cek kembali kelengkapan kami. Astaga, Sheren, Nisa, dan Ayi tak ada. Apa mungkin mereka hilang?, ah tak mungkin di pulau sekecil ini mereka hilang. Icha memberi kabar, mereka sudah jalan terlebih dahulu ternyata. Sungguh gadis-gadis nakal, tak sabar menemu kebahagiaan, hehe.

“okee, let’s go!”, begitu Bang Reval memberi komando. Berjajar rapi dibelakangnya rombongan kami. Semacam geng motor, namun tak berisik. Sama seperti jalan kami menuju Homestay tadi, beberapa gang harus kami lewati. Lebih jauh ternyata. Sungguh mencapai Surga itu berat juga haha.

Setelah semua gang habis, barulah hembusan angin pantai mulai terasa.”Oh, God! This is Heaven!”, batinku. Jalan lurus disamping pantai yang kami lewati sungguh mengesankan bagiku. Seketika aku pun teringat adegan iklan Pocari Sweat yang diperankan JKT 48. Andai saja saat itu ada JKT 48 bersama kami, mungkin Surganya akan jadi bintang 5 hahaha.

Disamping jalan terlihat ketiga gadis yang tadi berjalan terlebih dahulu. Mereka segera bergabung, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tempat tersebut terlihat samar sebuah plang nama. Tertulis disitu “WISATA JEMBATAN CINTA”, haha sebuah nama yang mengesankan.

Tempat tersebut berada di pantai yang luas, di pintu masuk tersedia tempat parkir untuk sepeda wisatawan. Layaknya tempat wisata lain, terdapat pula sederet penjual makanan dan souvenir. Jembatan Cinta adalah sebuah jembatan yang menghubungkan tempat tersebut dengan sebuah pulau di seberangnya. Sekitar 3,5 KM panjangnya.

Jembatan Cinta

Sehabis sepeda terparkir rapi, kami berfoto. Dua tiga kali jepret cukup bagi kami untuk mengabadikan momen awal di lokasi itu. Ah, dengan perasaan tak sabar kami pun bergegas menuju ke pantai. Sungguh ramai sekali. Semua wahana watersport tersedia, jet ski, banana boot, hingga sofa boot pun ada. Tak ada yang luput satu pun dari penjelasan Bang Reval.

Kami susuri jembatan cinta, hampir di setiap sudutnya tak lupa kami abadikan dengan berfoto. Ada sebuah jembatan meninggi di tengahnya. Disitu kami lihat banyak orang melompat ke laut. Usut punya usut, terdapat mitos bagi siapapun yang meloncat dari jembatan itu maka cintanya akan didekatkan, alias mudah dapet jodoh. Sungguh mitos yang menarik bagiku hehe. Namun apalah daya, hujan yang turun menggagalkan niatku untuk melompat dari atas jembatan itu.

Di ujung jembatan Cinta

Sekitar 15 menit sampailah kami di ujung jembatan. Sebuah pulau telah menyambut. Jopi pun berlari dengan semangat, satu persatu Ia tanggalkan pakaiannya. Tak lama kawan yang lain dan aku pun menyusul. Berenang di tepi laut, biru airnya sungguh menenangkan. Sedikit sinar matahari yang tertutup mendung pun menyentuh kulit. Semesta mendukung, tak perlulah kami takut kulit kami yang putih menghitam hehe.

Usai berenang kembali kami berfoto. Sedikit narsis memang. Namun apalah arti sebuah perjalanan jika tanpa dokumentasi berarti. Bagai sayur tanpa garam mungkin atau bagai aku tanpa Sheren hahaha.

Fikri dan Omi, kedua kawanku yang berpacaran itu nampak sangat bahagia sekali. Beberapa foto mereka yang terambil nampak seperti foto pra-wedding. Mungkin jika sampai suatu hari mereka menikah, momen tersebut akan menjadi cerita juga kenangan.

Pasangan lain yang tak kalah mesranya adalah Ikhsan dan Rida. Pose-pose mereka berdua sungguh mengagumkan. Pantas jika dijadikan adegan serial televisi masa kini haha. Unyuu begitu anak muda sekarang menyebutnya.

Aku lagi-lagi harus berfoto berdua bersama Jopi. Memang hanya Jopi yang bisa mengerti kegundahanku. Sosok sahabat yang menemani. Meskipun terkadang bikin jengkel dengan ulahnya. Sesekali ia perolok aku yang tak bisa mendekati sang pujaan hati, Sheren Utari.

Geng Banana Boat

Di akhir, beberapa dari kami mengusulkan untuk naik banana boot dan aku mengusulkan untuk menaiki shofa boot. Sheren, Fikri, Omi, Jopi, Ikhsan dan Rida akhirnya memilih banana boot, sedangkan atfal, doddy, Riska, dan aku di shofa boot. Bukan tanpa alasan aku mengusulkan untuk menaiki shofa boot. Semua tentang rahasia yang ingin kusampaikan pada laut. Namanya rahasia tak akan ku ceritakan disini ☺.

Setelah puas bermain lapar pun menerjang. Deretan penjual makanan pun kami serbu. Dibawah gerimis kami lahap makanan yang sudah terpesan. Setelah kenyang kami pun kembali ke homestay. Sungguh hari pertama yang melelahkan namun menyenangkan. “Hari kedua berikan kejutanmu yang lebih dari ini”, teriakku dalam hati kala itu.

*********

HARI KE-2

09.00

Pagi itu gaduh menyerang lagi. Kini dengan semangat yang lebih dari hari kemarin. Segudang hal seru telah menanti. Di jadwal hari itu kami akan snorkling. Bagiku bukan kali pertama memang, namun aku tak pernah bosan untuk itu. Alam bawah laut selalu mengejutkan.

Dika yang dimalam sebelumnya berniat untuk tak ikut lantaran takut dengan laut pun pada akhirnya ikut. Ia bersusah payah melawan ketakutannya. Bisa jadi karena ia tak mau rugi telah membayar paket travel hahaha.

Sebelum snorkling

Dengan berjalan kaki, bersama kami menuju ke sebuah dermaga. Lengkap dengan peralatan snorkling. Kami menaiki sebuah perahu kecil milik seorang nelayan yang telah disewa. Dengannya kami menuju ke spot snorkling. 45 menit perjalanan dan sampailah kami di tujuan. Di tengah lautan yang indah kami relakan diri kami tercebur. Namun tak semua dari kami langsung berani. Butuh waktu yang sedikit lama bagi Ayi dan Dika untuk berani menceburkan diri, sederhana alasannya tak bisa berenang.

Berbeda dengan mereka berdua, Doddy teramat ganas pada lautan. Tanpa pelampun dan hanya bermodal kacamata ia berenang-renang, menyelam, bak dikolam renang pribadi. “woooy raja lautan nih!”, begitu teriaknya, sesumbar dengan keberaniannya. Dan aku, lebih memilih untuk berenang santai dengan pelampung. Menikmati alam bawah laut yang menakjubkan. Ikan-ikan Nemo berenang-renang indah, terumbu karang yang beragam pun menyapa. Ah aku semakin kagum dengan alam negeriku. Terimakasih Tuhan telah kau lahirkan aku di tanah yang begitu subur ini.

Disela keasyikanku mengamati gerak dan gerik ikan-ikan, juga membalas sapa dari karang. Sekali lagi aku teringat laut di Muara Angke. Apakah mungkin dulu ia seindah ini, meskipun kini telah menghitam dan penuh sampah. Sekali lagi kumintakan maaf pada Tuhan atas ulah saudara-saudaraku sesama manusia yang bertanggung jawab itu.

Telah jelas bagiku, semua keindahan ini adalah nikmat, juga telah jelas janji Tuhanku, barangsiapa yang bersyukur atas nikmatnya akan ditambahkan oleh-Nya nikmat. Namun bagi yang kufur atas nikmat-Nya, adzab keji juga telah menunggu. Semoga semua bencana yang terjadi selama ini bukan karena adzab-Nya, melainkan hanya musibah agar bangsaku selalu ingat pada-Nya. Amiin.

Sesi snorkling itu pun tak lupa kami abadikan. Kamera underwater milik Bang Reval menyimpan momen-momen indah kami. Sebuah kenangan dari salah satu sudut lautan lepas negeri ini.

**********

“ooooh ini yang namanya pulau payung”, ucapku pada Bang Reval tatkala sampai di sebuah pulau tak jauh dari lokasi snorkling kami. “ya, ini pulau payung, lo bebas foto-foto disini sambil ngeteh atau ngopi biar gak kedinginan”, jelasnya padaku.

Pulau Payung sangat sepi, jauh berbeda dengan Tidung. Hanya ada beberapa kapal nelayan dan sebuah Ferry mewah terparkir di dermaganya. Sekitar sepuluh rumah penduduk berdiri tegap di tanahnya. Tak banyak penjual makanan juga.

Di pualu itu kami beristirahat dan mengganti pakaian yang basah. Tak sampai satu jam kami berada disitu. Hanya bernarsis ria saja. Setelah kopi dan teh habis serta puas berfoto kami pun langsung cabut. Namun tak sesederhana itu. Luasnya lautan yang terlihat mengingatkanku pada luasnya cita ku. Kegagalan semester ini yang hampir membuatku putus asa pun terlupa. Kini semangat telah datang kembali. Cita-cita ku yang seluas samudera. Oh dermaga saksi bisu.

Pulau Payung

Beberapa pose sengaja aku abadikan secara pribadi. Dengan gaya mengahadap lautan, menghadap cita-cita, seluas samudera, di atas dermaga. Terimakasih untuk Fikri yang telah mau mengabadikannya untukku ☺. Juga pose bak cover boy kudapat hari itu. Kali ini termakasiku untuk Bang Reval.

*********

MALAM TERAKHIR

Tak banyak terjadi di malam terakhir kami. Gerimis sejak sore hari hampir melelapkan kami dalam mimpi. Untung saja itu tak terjadi, bisa rusak agenda kami. Barbeque Party yang lebih mirip kenduri sudah siap. Di pinggir pantai nan gelap, dihembus angin malam yang menusuk, canda tawa meledak. Celoteh kocak bersahutan sana-sini. Hiburan yang murah meriah dan mudah bagi jiwa.

Beberapa ikan terlahap habis, lebih dari mengenyangkan perut kami. Meski sejam sebelumnya kami sudah makan malam, tak menjadikan hambatan kami tuk mengganyang ikan matang dengan garang. Tak tersisah selain tulang dan amis di tangan.

Lagu perpisahan mulai dimainkan, jemari Fikri menari indah pada dawai-dawai gitar. Nada mayor hingga minor berkolaborasi, iringi kami bernyanyi. Belasan lagu telah di dendangkan, kantuk pun menyerang. Terjangan angin ditambah kenyang semakin memperberat mata. Girang malam itu kami tinggalkan, mimpi yang tak kalah indah pun menggantikan.

*********

PULANG

Pukul 07.00 pagi, gerimis semalam belum usai. Mendung membendung matari. Suasana pagi yang tak diharapkan. Hatiku berdebar, cuaca pagi itu membuatku was-was. Perjalanan laut dibawah hujan amat kuhindari. Keyakinanku laut akan menyeramkan di bawah hujan.

Namun, sesuai paket kami tetap harus pulang hari itu. Cuaca yang buruk tetap tak mengubah jadwal. Di bawah gerimis kami berjalan menuju pelabuhan. Sungguh disayang, lantaran telat beberapa menit kami tertinggal kapal. Terpaksa kami menunggu kapal selanjutnya.

Kapal kami ternyata sama dengan sewaktu berangkat, K.M Harapan. Bedanya kali ini kita dapat tempat di dalam. Alhamdulillah, di bawah guyuran hujan atap kapal sangat membantu, meski bocor disana-sini. Berdesakan dalam kotak berukuran 7x3 teramat menyedihkan rasanya. Keringat terus bercucur, ujungnya perut terasa mual.

Sesaat setelah adzan dzuhur kapal mulai melenggang, menerjang lautan. Sebuah perjalanan laut yang mengerikan. Hujan semakin deras mengguyur, kapal tergoyang kencang. Ombak lebih tinggi dari biasanya, angin laut yang kencang penyebabnya. Terhuyung ke depan, belakang, samping kiri, dan kanan. Begitulah kahanan kami sepanjang perjalanan.

Aku tak tahan terus berada dalam kotak sempit padat orang itu. Perutku mual sangat, kuputuskan untuk keluar. Meski basah kuyup ganjarannya aku rela, daripada harus muntah di atas kapal. Aku tak sendiri, Jopi ternyata merasakan hal yang sama denganku. Kami berdua sama-sama berdiri di belakang kapal, tanpa atap. Dalam sekejap baju kami basah sudah. Rokok yang kami nyalakan tetap tak mampu menghangatkan.

Beberapa menit berdiri, Doddy datang menghampiri. Usul yang brilian diberikan olehnya, untuk kedepan dan duduk di ruang nahkoda. Tak usah pikir lama aku bergegas menuju ruang nahkoda. Dengan sangat hati-hati aku susuri pinggiran kapal yang licin. Sampailah aku di ruang nahkoda. Sekitar 6 orang telah berada di dalamnya, 1 nahkoda dan 5 penumpang. Untung saja masih ada tempat yangvtersisah untukku.

Dari ruangan itu aku bisa melihat sang nahkoda mengendalikan kapal. Memutar stir tatkala ombak menerjang kepada arah yang berlawanan dengan datangnya ombak. Kiranya begitu cara nahkoda membuat kapal tetap stabil. Meskipun kencangnya ombak tetap menghuyung badan kapal, namun cara itu sangat efektif, kapal tak sampai terbalik.

Sesekali adegan mengerikan ditunjukkan oleh nahkoda. Dengan santai ia tinggalkan kemudinya, melihat keluar ruangan. Kemudi yang berputar sendiri membuat beberapa saat kapal terhuyung dahsyat. Tak habis segala do’a aku ucap, termasuk agar tak mati muda. Alasannya sederhana, aku masih ingin mimpiku tuk memperistri Sheren jadi nyata.

Sepanjang jalan hujan tak habis. Puas sudah rasanya badan terguyur air. Dingin yang menusuk perut teramat menyakitkan. “lebih baik tidur saja”, pikirku. Namun salah, jangankan tidur memejam saja tak kuasa. Dingin dan kapal yang terus diterjang ombak membuatku tegang dan was-was.

Setelah sekitar 1 jam perjalanan, mulai didapat laut yang lebih tenang. Warna hijau air laut menandakan kami berada di laut yang lebih dangkal. Pertemuan dwi warna antara biru dan hijau air laut, dibatasi oleh sampah yang memanjang. Tak jadi indah tuk pandang.

Karena sudah berada di laut yang tenang, aku berani tuk kembali lagi ke belakang. Sama hati-hatinya ketika menuju depan, aku langkahkan kaki ke arah belakang kapal. Disitu kulihat Jopi yang sudah pucat. Dari rautnya aku yakin dia sangat kedinginan. Anehnya ia tertawa lepas, asyik katanya di Jakarta jarang hujan-hujanan.

Dika a..k.a hot bear yang terkenal takut dengan laut pun berkomentar. Dengan gaya tegap ala marinir iya berkata, “laut memang asyik, tapi jangan pernah main-main dengan laut!”. Pernyataan tersebut bagiku amat bermakna. Ketika segala keasyikan dengan mudah kita dapat di laut, sudah sepatutnya kita jaga laut. Tidak mempermainkannya bak budak kesenangan, kita nikmati indahnya lalu acuh. Laut bisa marah, sedikit saja amarahnya Aceh luluh lantah.

Tepat setengah 3 sore kami merpat di pelabuhan Muara Angke. Kembali diatas laut yang hitam. Muara Angke di guyur gerimis, jalanan banjir, air jorok banyak tergenang. Pilu rasanya melihat keadaan pelabuhan negeri ini. Hampir semuanya seperti itu, tanpa pengelolaan yang baik. Dan kalaupun dikelola dengan baik oleh pemerintah, rakyat merusaknya. Bukan rasa kepemilikan sehingga berhasrat untuk menjaga yang hadir. Merusak dan acuh begitulah wujudnya. Ironi sekali negeri ini, barang publik tak merasa dimiliki publik.

Usai sudah paket kebahagiaan kami, Jakarta siap di sua kembali. Usai sudah cerita ini, kilas kenangan yang tak sempurna. Tak ada waktu yang bisa kembali, karenanya ku tulis cerita ini. Semoga bisa membagi senang.

--

--

Ahsan Ridhoi
Wisata Indonesia

Jurnalis. Tinggal di Jakarta. Menulis untuk senang-senang.