Buruh dan Tuntutannya dalam Era Industrialisasi

World Merit Indonesia
World Merit Indonesia
4 min readJun 23, 2019

oleh Inez Tsurroyya, World Merit Indonesia Jakarta

Gaung revolusi industri 4.0 cukup besar dirasakan. Akibatnya, proses industrialisasi terus dikejar oleh pemerintah dan hasilnya Indonesia mampu menjadi negara dengan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) terbesar di ASEAN dan menempati peringkat ke-4 di dunia pada tahun 2016. Optimisme pemerintah Indonesia terhadap perkembangan industri di Indonesia yang terus meningkat dilandasi oleh manfaat adanya industrialisasi yakni meningkatnya lapangan pekerjaan sehingga mampu mengurangi pengangguran yang selama ini masih menjadi masalah pokok ekonomi. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja oleh industri sebesar 1,4% di tahun 2016 serta penurunan tingkat pengangguran sebesar 5,7% di tahun 2017.

Pertumbuhan industri yang menunjukkan tren positif dan adanya penurunan tingkat pengangguran ternyata belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat Indonesia. Kesejahteraan buruh yang diukur berdasarkan upah, sistem kontrak, outsourcing, dan jaminan yang didapatkan oleh para buruh masih berada di taraf yang rendah. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, kesejahteraan buruh di Indonesia masih berada pada peringkat yang rendah, tercermin dari rendahnya upah di Indonesia yang bahkan lebih kecil dari Vietnam dan Filipina. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN dengan rata-rata upah minimum kabupaten/kota (UMK) terendah bersama dengan Kamboja yang memang belum stabil secara keamanan nasional.

Upah memang selalu menjadi tuntutan para buruh karena menjadi salah satu indikator terpenting dalam menakar kesejahteraan buruh. Dan pada kenyataannya, upah yang layak bagi buruh memang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Berdasarkan data International Labour Organization, upah minimum dan rata-rata memang mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun namun peningkatan yang terjadi belum mampu memenuhi syarat kehidupan yang layak. Hal ini terjadi karena peningkatan upah nominal yang cukup signifikan tidak berbanding lurus dengan upah riil yang cenderung mengalami penurunan. Akibatnya, daya beli buruh masih rendah.

Peningkatan upah memang selalu menjadi perdebatan. Peningkatan upah yang ada tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas buruh dianggap dapat menyebabkan produsen atau perusahaan mengalami kerugian, dan imbas paling buruknya adalah PHK secara massal. Lalu, apa berarti peningkatan upah tidak menjadi penting untuk dilakukan? Berdasarkan data dari ILO tahun 2015, produktivitas buruh tiap tahun mengalami tren peningkatan positif dimana dalam sektor manufaktur yang merupakan sektor industri utama Indonesia, produktivitas buruhnya bahkan mencapai tiga kali lipat dari seluruh sektor ekonomi yang juga menjadikan sektor manufaktur ini menyumbang PDB terbesar di Indonesia. Selain itu, berdasarkan data dari Statista, jika dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki upah minimum lebih besar dari Indonesia, Vietnam hanya memiliki produktivitas per jam sebesar 6 USD/jam sementara produktivitas buruh per jam di Indonesia mencapai 14 USD/jam di tahun 2018. Thailand yang memiliki produktivitas buruh 15 USD/jam dimana selisih tersebut cukup kecil dibanding Indonesia, memiliki upah minimum yang cukup besar yakni 9,19–9,85 USD per hari sementara upah minimum Indonesia per hari hanya mencapai 3,42–8,59 USD. Artinya, produktivitas buruh di Indonesia tidak cukup menjadi alasan penolakan kenaikan upah buruh oleh perusahaan. Penolakan tersebut semakin menguatkan adanya eksploitasi tenaga buruh yang hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Upah bukan hanya satu-satunya masalah dan bahan tuntutan oleh para buruh. Disamping upah, kebijakan sistem kontrak dan outsourcing yang dianggap memarginalkan buruh dari semua sisi. Sistem kontrak dan outsourcing yang diatur dalam UU № 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dianggap terlalu mengeksploitasi buruh sehingga menyebabkan buruh tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya dapat dinikmati. Undang-undang tersebut seringkali disalahgunakan dan menjadi dasar hukum bagi perusahaan untuk mengganti status pekerja tanpa mengikuti prosedur yang ada sehingga menguntungkan perusahaan. Pemutusan sepihak oleh perusahaan menjadi hal yang cukup kerap dijumpai akibat dari sistem yang menghantui para buruh terkait dengan keberlangsungan pekerjaannya. Padahal dalam undang-undang tersebut, sistem itu hanya dapat diberlakukan untuk pekerjaan tertentu dan bersifat untuk kegiatan yang akan selesai dalam waktu tertentu.

Masalah kebijakan sistem kontrak dan outsourcing juga menyebabkan masalah kurangnya jaminan kerja yang masih menjadi masalah yang cukup mendasar. Sistem tersebut menghilangkan jaminan kerja dan mengubah buruh menjadi objek dan komoditas yang tidak memiliki hak. Standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) baik nasional dan internasional memang telah menjamin hak perlindungan dan keamanan para buruh. Namun dalam praktiknya, masih banyak kasus kecelakaan kerja yang terjadi. Disamping banyaknya kasus kecelakaan yang menimpa para buruh, masih banyak buruh informal yang tidak memiliki jaminan sosial baik kesehatan maupun kesejahteraan. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pertanyaan terkait fungsi pengawasan oleh pemerintah yang dianggap kurang dan menyebabkan masalah kecelakaan ini luput dan terus menerus terjadi. Tidak hanya jaminan keselamatan kerja yang kurang, tapi juga jaminan kesehatan yang tidak didapatkan oleh para buruh — yang menyebabkan resiko terpapar penyakit akibat pekerjaan lebih tinggi.

Proses industrialisasi yang terus dikejar oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat nyatanya belum diikuti oleh peraturan yang cukup memadai yang dapat menguntungkan para buruh sebagai subjek utama dalam proses ini. Peraturan yang ada seringkali lebih menguntungkan para pelaku usaha dan memarginalkan para buruh, dari mulai kebijakan upah yang selalu menjadi diskusi pro kontra hingga kebijakan sistem kontrak dan outsourcing yang juga lebih menguntungkan pelaku usaha. Selain itu, sistem pengawasan dan pemberian jaminan terhadap para buruh dinilai masih cukup rendah. Target pemerintah dalam mendorong pertumbuhan industri harusnya diikuti dengan penataan undang-undang yang lebih baik untuk kedua belah pihak yang dalam hal ini adalah pelaku usaha dan tenaga kerja untuk meminimalkan terjadinya kontradiksi antara kedua belah pihak.

Sumber :

Allen, Emma R. 2016. Analysis of Trends and Challenge in the Indonesia Labor Market. Asian Development Bank (ADB) Paper.

Hasibuan, Hayati Sari. 2017. The Development and Labor Situation in Indonesia. Japan Labor Issue, vol.1, no.3, 33–40.

Hendrastomo, Grendi. 2010. Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi. Jurnal Informasi. Volume 16 Nomor 2, 1–17.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/04/16/kontribusi-industri-indonesia-terhadap-pdb-urutan-4-dunia (diakses pada 05 April 2019)

https://www.aseanbriefing.com/news/2018/08/30/minimum-wage-levels-across-asean.html (diakses pada 05 April 2019)

https://www.statista.com/statistik/suche/?q=labor%20productivity (diakses pada tanggal 12 April 2019)

ILO. 2015. Indonesia: Wages and Productivity for Sustainable Development.

ILO. 2016. Indonesia Labour Market Outlook.

ILO. 2017. Indonesia Jobs Outlook 2017: Harnessing Technology for Growth and Job Creation.

--

--