Kami Masih Anak Bangsa

World Merit Indonesia
World Merit Indonesia
6 min readApr 20, 2019

oleh Yusuf Drajat Kurniawan, World Merit Indonesia Surabaya

Galasah, 7 Agustus 2018

Selamat pagi dunia, apa kabar hari ini? Cerita akan dimulai dari penjuru negeri jiran. Banyak orang berasumsi bahwa tinggal di negara orang merupakan hal yang sungguh menggiurkan. Katanya, berbagai fasilitas cukup baik dibandingkan negeri sendiri. Yah, mungkin bisa dibilang begitu satu sisi saja. Bisa dibayangkan, jika semua kekayaan alam di Indonesia ini dapat dimanfaatkan optimal, mungkin tidak menjamur di masyarakat. Tunggu, perlukah hal ini disalahkan? Bukankah lebih baik jika kita mengulik cerita lain tentang negeri orang?

Serawak, Malaysia, salah satu destinasi buruh imigran Indonesia mengais rezeki demi keberlangsungan hidup keluarga. Mereka beradu nasib dengan terik matahari, deru angin berdebu, gemuruh suara truk pengangkut sawit, serta aroma khas kilang minyak yang memberikan colekan khas di hidung. Buruh ladang kelapa sawit, begitulah mereka disebut oleh khalayak umum. Tapi, saat saya melihat, bercengkerama, dan mendengar mereka bercerita, saya tidak yakin bahwa mereka adalah seorang buruh. Mereka pejuang yang sesungguhnya. Beradu nasib di negeri orang dengan risiko besar ditambah dengan skeptis masyarakat tentang “buruh imigran”.

Mungkin sedikit di antara kita tidak mengetahui bagaimana kehidupan mereka di sana. Sama halnya dengan apa yang dilakukan kebanyakan manusia — bekerja, bercengkerama, dan bersosialisasi. Mungkin yang menjadi sorotan bagi kalangan umum hanyalah bagaimana mereka semua diperlakukan selayakanya warga negara. Namun, jika kita kulik lebih dalam lagi tentang mereka, semangat dan tingkah anak-anak buruh imigran inilah yang membuat hati tergerak. Sedikit dari kalian mungkin sudah sadar tentang hal ini. Namun ketika hanya berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa adanya sebuah aksi nyata, tidak ada artinya bukan?

Community Learning Center adalah saksi perjuangan pendidikan anak buruh imigran yang tidak dapat saya lupakan. Sekolah informal yang selalu memberikan senyuman pagi kepada dunia. Berdiri di masing-masing lingkungan perusahaan menambah ciri khas dalam sistem pendidikannya.

Keterbatasan ketersediaan buku pelajaran atau pengetahuan umum, perbandingan pengajar dan siswa yang tidak imbang, ruang kelas yang ala kadarnya, atau mungkin bisa dibilang bahwa keterbatasan fasilitas pendidikan untuk mereka. Tunggu! Semangat mereka mematahkan semua hal itu. Rasanya tidak ada masalah sama sekali dengan apa yang mereka dapat sekarang. Justru mereka sangat bersyukur dan antusias untuk bersekolah.

Mungkin sesekali mereka mengeluhkan hal itu. Entah mengapa mereka dapat kembali bangkit dengan wajah ceria dan semangat baru setiap hari. Yah, setiap pagi mereka berbaris dan berkata “selamat pagi, Cikgu!” persis seperti serial kartun Upin dan Ipin di saat bersamaan kami datang. Bisa dibilang pengajar sukarelawan amatiran dari negara asal mereka, Indonesia. “Hei! Cikgu baru! Cikgu baru! Cikgu baru!”, teriak seorang anak laki-laki gemas dengan pipi baksonya, Fikrul. Betapa bahagianya disambut dengan semangat mereka pagi itu.

Saatnya masuk kelas! Gemuruh lantai rumah panggung sebagai ruang kelas mereka menjadi penanda kegiatan belajar dimulai. Kegiatan pagi ini hanya ada di satu ruang kelas. Memang bisa dibilang bahwa ruang belajar mereka hanya terdiri dari 2 ruang. Dua ruang ini terbagi antara kelas 1 sampai kelas 3, dan di atasnya. “Assalamu’alaikum! Halo adik-adik, nama saya Yusuf Drajat Kurniawan, panggil saja kak ucup ya!”, begitulah saya memperkenalkan diri. Sambutan senyum mereka membuat saya merasa terlahir kembali. “Kak Ucup!!!”, teriak Fikrul. Hari pertama kami datang difokuskan untuk bekenalan dan menarik simpati anak-anak terhadap kami. Memang, kami membangun kedekatan interpersonal dulu sebelum mengajak mereka belajar. Kebanyakan dari pendidik mungkin melupakan hal ini. Ketika mereka sudah merasa diperhatikan atau bahkan dilindungi, akan lebih mudah untuk berbagi ilmu dengan mereka.

— — -

Kegiatan belajar mereka tidak berhenti di sekolah saja. Saya mengajak mereka untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Cara paling efektif untuk memberikan mereka pemahaman tentang berbagai ilmu. Nah, kalau mau tahu metodenya silahkan baca jurnal dari saya ya, hehehe. Kami bercengkerama dan bercanda di tepi waduk buatan tempat persediaan air untuk permukiman warga. Terdengar miris sekali ketika mereka berbicara tentang air inilah yang digunakan untuk mandi, mencuci baju, atau bahkan sesekali digunakan untuk memasak. Jujur, mata terbelalak ketika melihat warna airnya yang kekuningan persis dengan warna lumpur.

Terik mulai menghampiri, diiringi oleh alunan azan zuhur pertanda waktu pelajaran telah usai. Kami bergegas kembali ke ruang kelas dan menutup kelas dengan doa. “Kak Ucup, Kak Desty, Kak Jihan, Kak Reza, ayo sekarang kita shalat berjemaah di sini!”, begitulah celetukan dari Adrian — kami mengenalinya sebagai ketua kelas. Saya terdiam seketika, apalagi fungsi ruang kelas ini? Apakah nantinya juga dijadikan saksi kelulusan mereka? Memang benar jarak sekolah dengan mushola perusahaan lumayan menguras tenaga jika kita harus berjalan. Ditambah dengan terik yang membakar kulit membuat pilihan mereka jatuh pada ruang kelas sebagai tempat ibadah.

Terik mulai menyembunyikan diri. Seseorang menggenggam tangan dan berjalan menuju tepian danau. Yah, kami bersama anak-anak buruh ini duduk di tepian danau dan saling bertanya tentang kebiasaan mereka selama berada di sini. Jangan heran, bahasa yang kami gunakan selama berbicara adalah bahasa melayu. Mirip dengan bahasa kita tentunya. Walau gelak tawa terkadang datang dengan tidak sengaja karena banyak intonasi yang lucu terdengar dari mereka. Senja kini menjadi saksi bagaimana tunas bangsa dapat bertahan di negeri jiran.

— -

Mungkin sejak tiga hari sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia ke-73, kami sudah mempersiapkan kado terindah untuk anak-anak bangsa. Sebuah cerita tentang arti merdeka dari anak-anak buruh imigran Indonesia di Malaysia. Bentuknya video yang murni percakapannya dari mereka. Bagi mereka, memaknai kemerdekaan itu cukup sederhana. Membawakan kisah singkat tentang harapan mereka untuk bangsa Indonesia merupakan poin terpenting dari video ini. Betapa terkejutnya ketika saya mendengar bahwa Indonesia yang mereka kenal adalah hanya daerah mereka saja. Masih banyak yang tidak mengetahui bahwa bangsanya merupakan bangsa yang luas dengan keberagaman suku dan budaya.

Tepat 17 Agustus 2018, video tersebut kami unggah pada semua sosial media sukarelawan pengajar Indonesia di Serawak. Pada hari itu juga, saya melakukan upacara kemerdekaan Indonesia di negeri jiran. Sungguh merinding rasanya, pengibaran bendera merah putih hanya dikibarkan menggunakan genggaman tangan tanpa tiang. Detik-detik proklamasi disuarakan sungguh menggema di negeri jiran. Lapangan yang terik dengan gemuruh truk pengangkut sawit yang mengiringi menjadi saksi bagaimana usaha kami bersama merayakan kemerdekaan Indonesia di negara tetangga. Sirine dibunyikan hanya melalui pengeras suara dengan iringan lagu dari YouTube dan paduan suara tanpa mikrofon karena keterbatasan fasilitas. Tidak dirasa bahwa sudut mata mulai terisi oleh air mata. Keringat mengucur pertanda suasana terasa makin panas. Namun, semua sirna ketika upacara usai dengan saling bersalaman dan mengucapkan selamat merayakan kemerdekaan Indonesia.

Tak tahan melihat hal ini, saya memanggil adik-adik untuk memeluk mereka. Segera mereka berlari menuju kakak-kakak sukarelawan pengajar dan memeluk kami. Hingga saat ini terkenang bagaimana mereka berlari memeluk kami, hingga terjatuh tidur di bawah pelukan mereka semua.

— -

Tidak terasa bahwa kami sampai di penghujung kegiatan pengajaran. Hari ini kami bersiap untuk mengadakan pertemuan antara kami­ — pengajar, wali murid, dan adik-adik. Kami mengadakan acara kecil, bisa dibilang sebagai perpisahan. Di acara ini kami melakukan pemutaran video kegiatan selama kami di sana disertai video pesan kami kepada adik-adik agar semangat dalam melakukan pendidikan di negeri jiran. Di sini kami saling bercerita untuk memberikan kesan terhadap kami selama mengajar mereka. Kembali lagi, saya yang cengeng ini, malu sekali rasanya untuk menangis sepanjang acara. Walau sesekali sudah berusaha untuk membendungnya, tapi kembali lagi menangis.

Dari mereka kami belajar bagaimana memaknai suatu kondisi. Dari mereka kami mengerti bagaimana cara bersyukur dan cara menikmati kesederhanaan hidup. Untuk adik-adik pejuang bangsa di negeri seberang, kami mengucapkan banyak terima kasih atas pengalaman yang tidak akan kami lupakan. Terutama untuk pengajar profesional Indonesia di Serawak — orang tua angkat kami selama di sana, serta teruntuk kalian — masyarakat Indonesia yang sedang berjuang demi kehidupan yang layak di sana. Kami di sini siap memfasilitasi informasi untuk pendidikan kalian semua, semoga pelajaran ini dapat menjadi obat untuk kegelisahan kami yang hanya sadar akan pentingnya nilai — tanpa tindakan atau aksi tertentu. Salam sayang kami, kakak kalian yang ada di Indonesia.

Teruskanlah membawa perubahan walau kecil dan buktikan bahwa kalian mampu mengguncang dunia dengan prestasi kalian. Ingatlah, garuda tetap terpatri dalam jiwa kalian. Ingatlah bahwa ibu pertiwi membutuhkan uluran tangan kalian untuk bangkit. Ingatlah bahwa merah putih membutuhkan basuh air mata kebanggaan melihat kalian sebagai pemimpin dunia. Indonesia tempat kalian kembali untuk bahagia seutuhnya.

--

--