Literasi Kita, Apa Kabar?

World Merit Indonesia
World Merit Indonesia
3 min readMay 11, 2019

oleh Lutfi Aulia Rahman, World Merit Indonesia Semarang

Satu kabar baru tiba. Membahas tentang “junjunganmu”. Sekilas tampak fantastis. Tentu, kamu ingin dunia menyaksikanmu sebagai orang yang pertama mengetahui. Lalu, apa yang akan kamu lakukan?

Lalu..

Berapa banyak orang yang memilih untuk bertanya kepada pelayan resto untuk daftar menu yang sebenarnya sudah jelas tertulis besar dan mencolok di depan mata?

Literasi sejatinya bukan topik yang berat. Ada 3 macam definisi literasi menurut KBBI. Salah satunya adalah kemampuan individu mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Merujuk kepada definisi ini, seharusnya kita sudah tak asing dengannya. Ia dekat, tak pernah jauh dari keseharian.

Literasi tidak melulu seputar kemampuan membaca dan menulis. Namun, lebih dari itu. Salah satunya, apa yang akan kita lakukan saat disajikan informasi. Hal inilah yang mampu menentukan kemampuan literasi kita.

Sebagian memilih untuk langsung menyebarkan mentah-mentah kabar yang baru didapat. Ego menang, logika babak belur. Tak ayal jika sosial media kita jenuh dengan konten serupa. Konten-konten yang tak jelas kebenarannya — seringkali sarat muatan kebencian didalamnya. Jelas saja jika sosial media yang awalnya diciptakan untuk mendekatkan interaksi manusia akhirnya tenggelam dalam paradoks. Menjauhkan nan mengkotak-kotakkan manusia dalam pandangan dan pilihannya masing-masing.

Meski masih ada yang bertahan dalam kewarasan. Memilih untuk memilah arus informasi yang masuk. Memastikan kebenaran. Mencari dari beragam sumber untuk memeriksa konsistensi informasi yang datang. Apakah ia benar? Tidakkah ia sudah dibumbui dalam perjalanannya mencapai pembaca? Bersyukur. Masih ada mereka. Sang waras, penemu kebenaran dalam deras arus informasi.

Beranjak ke kasus kedua.

Sebagian besar memilih untuk bertanya, karena kita malas membaca. Termasuk saya. Satu artikel memaparkan bahwa era internet menyebabkan konsentrasi manusia menurun drastis. Hal ini memengaruhi konten yang beredar. Semakin singkat, agar mampu dibaca habis dalam satu kejap mata. Begitu harapnya. Internet yang melenakan kita. Tak perlu berkonsentrasi lama, sudah banyak informasi masuk untuk diolah kemudian. Kita terlena dalam bencana yang tak disadari.

Menurunnya kemampuan mempertahankan fokus kita dalam satu pekerjaan.

Wajar hal ini menyebabkan kegiatan seperti membaca yang mutlak membutuhkan fokus dalam waktu lama menjadi tidak menarik lagi.

Padahal, dalam artikel yang lain disebutkan bahwa kemampuan mempertahankan fokus adalah salah satu kunci kesuksesan.

Tak salah memang bila menempatkan kemampuan literasi pada posisi strategis dalam perannya mengembangkan kualitas sumber daya manusia, khususnya kepada insan muda Indonesia yang akan meneruskan estafet pembangunan bangsa di masa depan. Ingat, bahwa Indonesia akan mengalami masa bonus demografi pada tahun 2030–2040 yang memberikan negara kita sejumlah besar proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih besar dari penduduk usia non produktif. Hal ini merupakan berkah sekaligus tantangan tentang bagaimana mengelolanya sehingga mampu menjadi generasi produktif dan berkualitas yang berperan penting dalam memajukan negeri. Salah kelola akan menjadikan bonus demografi ini sia-sia. Alih-alih membawa Indonesia lepas landas menuju status negara maju, bisa jadi generasi ini malah menjadi beban pembangunan karena lemahnya daya saing dengan negara lain.

Relakah bangsamu diinjak-injak bangsa lain karena kurangnya kompetensi kita sendiri dalam berliterasi?

Ironi, memang. Satu sisi kita dituntut untuk bersaing dengan memanfaatkan bonus demografi namun kesiapan menunjukkan fakta sebaliknya. Satu penelitian menyatakan bahwa indeks membaca buku Indonesia hanya 0,001. Dengan kata lain, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang mampu membaca buku hingga tuntas. Fakta lain menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi kedua dari bawah dari 61 negara yang diteliti berdasarkan peringkat literasinya. Fakta-fakta ini telah menggambarkan kondisi dunia literasi kita.

Pada akhirnya, dunia literasi akan menempati posisi strategisnya dalam perannya membangun Indonesia menuju negeri madani. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak hanya menjadi tanggung jawab, tetapi juga setiap rakyat yang mampu turun tangan membantu.

Kita kah salah satunya?

--

--