Berlari di Hutan Yang Jarak Tempuhnya Tanpa Ujung

gempa bumi kecil
Writherapy
Published in
5 min readOct 12, 2023

Apa rasanya hidup dengan kecemasan yang melanda setiap hari? Saking terbiasanya, kecemasan itu melekat jadi seperti karakter dan jati diri. Kecemasan itu tumbuh bersama kita hingga kita tidak ingat ada di mana letak akar terdalamnya.

Bukan seperti menghadapi ketakutan yang tidak masuk akal, melainkan keinginan untuk menata segalanya se-rapi-mungkin, se-baik-mungkin, dan rasa tenang baru datang apabila semuanya berada di dalam perencanaan dan eksekusi yang terkendali.

Pasalnya, di dunia ini, tidak ada yang benar-benar berada di dalam kendali.

Manusia — kita — ini kaum lemah. Kecemasan dan kelemahan jadi kombinasi brutal yang melemahkan kesadaran. Memengaruhi tidak hanya pikiran, tapi juga sendi-sendi tubuh. Kadang kala, membuat kita jadi sulit bernapas, sulit bergerak, kehilangan energi. Lemas tapi cemas. Lemas, cemas tapi bingung. Semakin bingung, semakin lemas, semakin cemas. Menjadi lingkaran setan yang menjebak.

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Kecemasan itu jadi penyakit.

Ini yang kualami setiap hari. Sesaat setelah mata terbuka di pagi hari, pikiranku langsung menyala membuat daftar kegiatan yang akan kulakukan dan harus tercapai hari ini. Belum sempat daftar itu selesai di kepala, aku sudah berpikir untuk mencari kertas, buku, pena, atau alat bantu tertentu untuk mencatatnya. Belum sempat kertas dan pena itu kutemukan, aku sudah menambah daftarnya karena melihat ada lumut halus di aquarium dekat meja ruang keluarga; harus kubersihkan. Belum lagi daftar itu selesai kutulis, aku sudah merasa tidak nyaman dengan tulisan tanganku sendiri yang kurang rapi.

Saat sejenak mengalihkan pandangan ke meja makan, aku teringat untuk merencanakan akan masak apa kita siang ini? Lalu aku berjalan ke kulkas dan kubuka pintunya, aku terpikir berapa banyak sisa bahan makanan yang masih tersedia? Kapan kira-kira akan habis dan tidak boleh membuang bahan makanan ini. Kapan merencanakan untuk belanja stok selanjutnya? Lalu kulihat freezer, ada bunga-bunga es di sana, langsung terpikir apakah memungkinkan kalau aku men-defrost kulkas hari ini?

Kamu lelah membacanya?
Tapi keributan, perencanaan, dan kecemasan di dalam kepalaku belum selesai.

Kecemasan itu, meski hanya keributan tanpa suara yang tak dapat didengar orang lain, tapi rasanya seperti sedang berlarian sambil berteriak. Melelahkan sekali.

Kemudian kubuat segelas kopi untuk meredakan pikiran. Duduk sejenak di sofa ruang keluarga, segelas kopi di tangan, sekilas terpikir ini sudah tanggal berapa ya? Berapa lama lagi deadline pekerjaan harus kukumpulkan? Apa agenda akhir minggu ini? Oh, aku ada pertemuan dengan klien. Akan pakai baju apa ya nanti? Ada dresscode-nya tidak ya? Aku belum mendapat infonya, akan kutanya pada rekanku pukul 10.00 hari ini. Duh, aku belum selesai mempersiapkan slides presentasiku. Mungkin aku bisa mengerjakannya malam nanti. Tapi apakah aku bisa begadang? Kalau aku ketiduran bagaimana? Kalau hasil presentasiku tidak memuaskan bagaimana? Aku harus bicara dengan bahasa asing di acara tersebut, bahasa asingku kurang fasih. Bagaimana ini? Apa aku harus ambil kelas atau les bahasa? Sebentar, biar kubuka sosial media mencari akun penyelenggara kursus bahasa asing.

Maka kubuka ponsel pintarku. Ada notifikasi pesan dari keluarga jauh. Pertanyaan kapan bisa mampir karena sudah lama tidak berjumpa. Hmm.. tanggal berapa sekarang? Eh, aku sudah melihat kalender kan tadi? Kapan ada waktu luang untuk berkunjung ke rumah saudara ya? Akan kutanyakan pada pasanganku mengenai agendanya akhir pekan minggu depan.

Tiba-tiba anakku terbangun, ini sudah pukul 8.00. Sebentar, aku bergerak menyambutnya terbangun dulu.

Lalu aku lupa semua keributan di kepalaku tadi, sudah berganti jadi keperluan gerak cepat mempersiapkan hari untuk si kecil. Harus mandi, makan, bermain, dan menemani gerak aktifnya sepanjang hari.

Anakku pintar bicara. Kemampuan komunikasinya melampaui anak seusianya. Orang-orang mulai bertanya ke sekolah mana kami akan mendaftarkannya. Kini anak-anak mulai datang ke kelompok belajar sejak usia mereka dua tahun. Aku mau anakku belajar di rumah saja karena aku khawatir guru-guru sulit fokus pada tiap anak. Bagaimana dengan pilihan homeschooling atau un-schooling? Tapi aku juga tidak secerdas itu, tidak mendalami ilmu pedagogi bagi anak usia dini. Apakah aku harus ambil kuliah khusus pendidikan anak usia dini? Berapa ya biayanya? Biar ku cari tahu nanti.

Tanpa henti, bahkan hingga ketika waktu tidur malam tiba, aku sulit tidur karena memikirkan ada bagian rumah yang belum kurapikan, ada baju-baju yang belum dilipat rapi, muncul ide-ide membuat sesuatu untuk esok hari, atau tubuhku bergerak begitu saja membersihkan rumah saat dini hari.

Dan bila aku tertidur, besok pagi semuanya akan kuulangi, dari awal lagi.

Aku terbiasa dengan pikiran yang melompat-lompat. Dulu, aku tidak tahu itu adalah kecemasan. Kukira, aku mampu berpikir cepat dan itu keahlianku. Kukira, aku mampu multitasking. Kini, aku baru tahu namanya adalah kecemasan. Psikologku bilang, untuk kasus yang kualami, sebutannya adalah “generalized anxiety disorder”. Setidaknya, ini diagnosa yang terakhir kali kuterima.

Semua orang mengalami kecemasan, dan selagi kecemasan itu terkendali dan memunculkan respon positif, membuat kita tumbuh, kecemasan itu baik. Namun pada kasusku, kecemasanku destruktif.

Hari-hariku berjalan seperti biasanya saja, dengan kecemasan yang sudah menjadi kebiasaan. Meskipun ada hari-hari yang lain, saat aku merasa kehilangan kendali. Entah mungkin tiba-tiba, tanpa alasan aku seperti kehabisan energi, atau misalnya saat aku sudah berupaya namun hasilnya tidak memuaskan bagiku, tidak sesuai dengan perencanaanku. Maka tubuhku akan gemetar, tremor, tangan dan kaki dingin, sakit kepala, diafragma sesak, aku tersengal-sengal dan jadi sulit bernapas.

Aku merasa tidak nyaman dengan diriku yang tidak berdaya seperti itu. Padahal, daftar hal-hal yang ingin kucapai ada banyak. Dari yang besar hingga kecil. Dari ingin lulus kuliah doktoral hingga kapan harus mengganti sprei tempat tidur setiap minggunya. Mungkin aku terobsesi pada daftar dan kendali. Untuk itu, aku tidak boleh kehabisan energi.

Psikologku bilang, aku harus mulai menurunkan standarku. Pertanyaannya, standarku itu yang seperti apa? Aku tidak pernah merasa punya standar. Aku hanya menjadi aku, menjalani hari-hari yang seperti biasanya. That’s why, tanpa sadar, kecemasan ini seperti menjadi jati diri.

Dengan beberapa metode terapi, psikologku berupaya membantuku untuk lebih tenang. Tapi sebenarnya apa itu tenang? Bahkan dalam tidur, aku ingat isi mimpiku. Sepertinya otakku bekerja terlalu cepat sampai tubuhku tidak sanggup mengikuti.

Jadi apa rasanya hidup dengan kecemasan yang melanda setiap hari? Rasanya seperti sedang berlari marathon, di sebuah hutan lebat, yang jarak tempuhnya tanpa ujung.

Pun sembari tulisan ini kubuat, isi kepalaku masih lanjut berlari lagi.

--

--

gempa bumi kecil
Writherapy

Kunjungi FIKSIOMA untuk publikasi fiksi dan WRITHERAPY untuk refleksi diri.