Refleksi Rendah Diri yang Ditulis Sebagai Terapi

gempa bumi kecil
Writherapy
Published in
4 min readSep 14, 2023

Beberapa waktu lalu, saya berada di fase demotivasi. Pertandanya adalah tiba-tiba merasa kehilangan tujuan dan kehilangan kepercayaan diri dalam menjalankan pekerjaan saat ini, salah satunya adalah mengajar. Padahal, saya sangat suka mengajar. Bisa dibikang ini adalah passion saya. Demotivasi yang saya alami ini masalahnya bukan karena finansial atau kejenuhan lingkungan kerja. Saya rasa, masalah utamanya justru karena merasa rendah diri pada hal yang sebenarnya sangat saya sukai. Saya ini ini kok sepertinya gak jago-jago amat dalam mengajar ya? Saya ini sebenernya skill-nya apa sih?

Shayan Ghiasvand via Unsplash

Tentang jago atau nggak jago, sebenarnya semua manusia di dunia ini memang nggak jago-jago banget. That’s why kita masih butuh belajar, mengeksplorasi dan melatih kemampuan. Pada diri saya, kemampuan yang saya rasa sangat lemah (satu di antara banyak kemampuan lemah lainnya) adalah English's conversation skill, apalagi tiba-tiba saya diminta mengajar di kelas berbahasa inggris. Mak deg! Mau ngomong apa saya di kelas?

Meskipun skor TOEFL saya cukup baik, mampu memahami artikel jurnal berbahasa Inggris atau terbiasa mendengarkan berbagai video dan audio native English tanpa butuh subtitle lagi, bukan berarti saya mampu berkomunikasi dengan lancar. Berbahasa dan berkomunikasi butuh lebih dari sekadar “memahami”, tapi juga perlu “memahamkan”: menyampaikan dan dapat dimengerti lawan bicara. Bagian ini, saya tidak percaya diri. Saya merasa belum terbiasa, sehingga saya menyimpulkan “saya tidak cukup mampu”.

Perasaan rendah diri ini dampaknya cukup panjang. Saya jadi mempertanyakan validitas kemampuan saya yang lain. Apa benar saya ini mampu public speaking? Apa buktinya? Bagaimana mengukur klaim kemampuan tersebut adalah valid? Siapa atau apa yang memvalidasi?

Saya juga mempertanyakan tentang masa-masa pengalaman yang erat kaitannya dengan kemampuan tersebut. Misalnya, bila ada yang menyatakan dirinya “berpengalaman di bidang marketing selama lima tahun,” itu maknanya apa? Biasanya, klaim ini diperkuat oleh pengalaman bekerja yang juga didukung oleh pernyataan dari pihak pemberi kerja, atau rekan kerja. Terlebih, apakah itu artinya dia memiliki kemampuan dibidang marketing yang diakui?

Bagi saya, kemampuan tidak boleh hanya sekadar klaim personal. Dikatakan mampu artinya teruji. Teruji artinya ada yang menguji, ada alat ukurnya. Lalu, kemampuan apa dari diri saya yang sudah teruji dan ada bukti pendukungnya? Karena saya tidak nyaman dengan klaim personal.

Mungkin saya jadi semakin overthinking karena sejak lulus sarjana, saya tidak pernah benar-benar melamar pekerjaan, melalui fase tes tertulis untuk bekerja, melalui interview, lalu dinyatakan lolos. Selama ini, yang saya alami adalah beberapa orang melihat saya mampu mengerjakan sesuatu, merekomendasikan saya, dan cukup puas dengan kinerja saya sehingga kami terus bekerja sama. Ketika kami tidak melanjutkan kerja sama, saya pun kerap meminta evaluasi untuk memperbaiki kinerja saya di masa mendatang, di kesempatan yang lain.

Pasangan saya pernah bilang, ini adalah “penyakit” dan “jebakan” bagi orang-orang seperti saya yang perjalanan hidupnya sepertinya lancar-lancar saja. Bukan yang paling pintar tapi tidak juga urutan terbelakang. Belum pernah kaya raya tapi juga tidak kekurangan. Mendapat nilai yang cukup bagus tanpa harus terlalu banyak berusaha, sesekali mendapat nilai buruk tapi juga tidak terlalu khawatir pada apa-apa. Taken for granted, katanya. We fail to appreciate things because we think those things will always be available. Aduh, kok sepertinya perenungan ini jadi kejauhan?

Intinya adalah, saya kerap merasa rendah diri dan jadi kehilangan motivasi karena hal-hal kecil, yang bagi saya cukup besar. Perasaan rendah diri yang sering muncul ini membuat saya lupa bahwa di banyak hal lain, saya berhasil menunjukkan kemampuan dan kinerja yang baik. Barangkali ini adalah kondisi psikologis yang rentan, karena diri saya sendiri memaksa agar “mestinya saya selalu bisa tampil prima” apapun yang terjadi. Saya tidak menerima pengecualian.

Apakah saya terlalu keras pada diri sendiri? Mungkin?

Padahal, langkah pertama untuk memperbaiki kekurangan adalah dengan menerima fakta bahwa kita memang ‘kurang’, kita memang ‘belum’. Kalau sudah menerima, kita bisa memutuskan langkah selanjutnya. Akan kita ubah jadi apa kekurangan itu?

Pikiran saya yang kusut ini mulai terurai perlahan-lahan. Tiba-tiba, saya diberi kabar bahwa saya terpilih menjadi salah satu pengajar terbaik dan mendapatkan penghargaan. Wah, apa lagi ini?

Saya menyadari diri saya sangat banyak kekurangannya. Sangat sangat banyak, apalagi kalau saya menggunakan standar ideal yang ingin saya capai. Tapi pelan-pelan saya ingin bergerak naik. Kalau saya tidak cukup mampu bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, bukankah artinya ini saatnya saya serius ikut kursus conversation? Saya belum pernah kursus bahasa sebelumnya. Pasti akan sangat berguna untuk berbagai kesempatan di masa mendatang. Saya hanya belum terbiasa, karena belum pernah mencoba dengan serius.

Kalau merasa kurang mampu, carilah cara agar menjadi mampu. Kumpulkan variabel-variabel pendukungnya. Coba sedikit memaksa diri dan memperluas zona nyaman.

Sampai di paragraf ini saya tulis, saya masih merasa rendah diri. Tapi sudah sedikit berkurang, mungkin ini yang dibilang orang sebagai writing therapy, hal yang sudah lama tidak saya lakukan. Semoga kalau dirimu saat ini sama seperti saya, sedang merasa rendah diri di suatu titik tertentu, coba menulislah sedikit, merefleksi diri dan mengurai kusutnya benang pikiran.

Semoga setelah ini kita kembali baik-baik saja.

--

--

gempa bumi kecil
Writherapy

Kunjungi FIKSIOMA untuk publikasi fiksi dan WRITHERAPY untuk refleksi diri.