COVID-19, WFH dan Masa Depan Pekerja Kantoran

xPersona Labs
xPersona Labs
Published in
7 min readMay 13, 2020
Source Photo

Terdapat anekdot di media sosial yang menggelitik dan menggambarkan bagaimana percepatan transformasi digital perusahaan-perusahaan di Indonesia, bahkan dunia, terjadi akhir-akhir ini. Alih-alih dipimpin oleh manajemen senior seperti CEO, CIO atau CHRO, pandemi virus lah yang mendorong perubahan tersebut. Adaptasi super cepat merupakan suatu keniscayaan untuk menghindari tenggelamnya bisnis akibat badai pendemi Covid-19. Bahkan laporan IMF menyebutkan pendemi ini akan menciptakan dampak yang lebih parah dibanding great depression 1930an dan asian financial crisis 1997.

Photo Source

Tentunya transformasi digital bukan soal penggunaan ZOOM atau google hangout dalam melakukan aktivitas bisnis. Namun, bisa menjadi diagnosa awal yang memperlihatkan fleksibilitas proses bisnis bisa dilakukan tanpa tatap fisik secara langsung. Tahun 2018 lalu, terdapat hal unik dari pengalaman pribadi penulis saat bekerja di salah satu perusahaan keuangan terbesar di Asia Tenggara. Kala itu teringat bagaimana kewalahannya pihak IT mengakomodasi program working from home yang diajukan oleh tim HRD. Kapabilitas teknologi yang lemah dan diperparah dengan kakunya regulasi membuat program tersebut urung dijalankan. Tambahan investasi yang cukup besar serta problematika keamanan informasi, menjadi alasan kuat proyek tersebut tertunda. Penulis penasaran bagaimana sektor jasa keuangan mampu cepat beradaptasi dalam kondisi seperti sekarang. Kabar terakhir, sektor usaha ini menjadi salah satu yang paling terakhir memberlakukan working from home, bahkan setelah Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) oleh pemerintah dijalankan.

Untuk mayoritas perusahaan dan pemilik usaha, kondisi seperti ini merupakan mimpi buruk yang tidak pernah di kira. Ya, bekerja dari rumah merupakan mimpi buruk. Bahkan saat bekerja di kantor dengan pemantauan dan absensi super ketat, masih terdapat keluhan indispliner dan produktivitas dari pemilik usaha atau HRD. Apalagi saat bekerja di rumah tanpa pengawasan?

Disclaimer dari tulisan ini adalah penulis akan melihat dari sudut pandang perusahaan/pemilik usaha dan atau seorang pekerja HRD, bukan dari sudut pandang pekerja.

Sebuah mukadimah dari ranah teori.

Suatu teori motivasi lawas yang masih relevan hingga kini, bisa menjawab keresahan perusahaan/pemilik usaha dalam kondisi Covid-19. Douglas McGregor, dalam bukunya The Human Side of Enterprise, menjelaskan teori X dan teori Y. Secara singkat, teori X menganggap pekerja yang bekerja memiliki motivasi yang kurang, seperti tidak menyukai pekerjaannya; menghindari tanggung jawab; perlu diarahkan terus menerus; perlu di kontrol — bahkan beberapa dipaksa — untuk mampu menyelesaikan pekerjaannya; dan tidak memiliki ambisi dalam bekerja.

Dalam teori Ekonomi, teori X merefleksikan prinsip ekonomi kegagalan pasar dan perilaku oportunis pekerja. Karena secara ekonomi, pekerja yang rasional akan meningkatkan utilitasnya dengan mengambil keuntungan dari perusahaan/pemilik usaha bila memungkinkan, contohnya seperti: minta kenaikan gaji; ancaman berhenti kerja setelah berhasil mendapatkan sertifikasi atau training ke luar negeri; bahkan mencipta cara-cara kreatif untuk tidak giat saat produktivitasnya sulit/tidak sedang diamati. Teori X menganggap pekerja sangat termotivasi dengan kompensasi. Namun, perusahaan/pemilik usaha wajib untuk melakukan pengawasan dan pemberlakuan hukuman disipliner untuk mengurangi perilaku oportunis.

Photo Source

Kontras terhadap teori Y yang menganggap pekerja bekerja penuh semangat, memiliki inisiatif dalam bekerja, ingin terlibat dalam pengambilan keputusan, termotivasi menyelesaikan semua tugas yang diberikan, mencari dan menerima tanggung jawab baru dengan sedikit pengarahan, dan menjadikan pekerjaan sebagai sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Dalam ilmu ekonomi, pekerja Y diasosiasikan sebagai social man dan bekerja dalam kondisi yang positif dimana perilaku oportunis-nya tergantung dari apakah suatu pekerjaan memuaskan dan gaji yang sesuai. Selain itu, motivasi untuk pekerja Y sangat dipengaruhi oleh keterlibatan, adanya kepercayaan mengemban tanggung jawab lebih luas serta partisipasi dalam pembuatan keputusan.

Tentunya asumsi penggunaan teori ini merupakan simplifikasi biner agar memudahkan analisa dalam tulisan ini yang barang tentu sudah banyak pengembangan teori ini. Namun, jangan terjebak untuk mendikotomi kedua cara tersebut menjadi baik dan buruk, atau efektif dan tidak efektif, tentunya dalam konteks budaya organisasi. Schein, Edgar H. (2004) dalam bukunya Organizational culture and leadership menjelaskan bahwa budaya organisasi merupakan pola dari tingkah laku dan asumsi kolektif yang terjadi dari awal terbentuk suatu organisasi dan diajarkan terus menerus kepada pekerja barunya. Sehingga dapat dikatakan tidaklah mudah membentuk dan beralih ke budaya baru, apalagi budaya yang telah mengakar.

Tulisan ini pun bukan menyarankan agar organisasi mengubah budaya secara drastis. Namun, lebih kepada solusi apa yang dapat dilakukan dalam jangka pendek dan bagaimana organisasi bisa beradaptasi dalam jangka panjang, bahkan jika kondisi ini menjadi norma baru.

Dilema Produktivitas pekerja

WFH atau bekerja remote menjadi tantangan yang besar bagi perusahaan yang memiliki operasional mengharuskan berada di lokasi kerja. Namun banyak juga yang bisa mengatasi kondisi ini dengan menciptakan cara kerja baru untuk beradaptasi dalam pandemi. Jika dilakukan dengan cara yang benar, bekerja remote akan meningkatkan produktivitas dan moral dari pekerja, sebaliknya jika dilakukan dengan tidak tepat maka akan menurunkan efisiensi, merusak hubungan kerja dan menurunnya motivasi Pekerja.

China menjadi negara pertama yang secara masif menerapkan WFH. Dalam tulisan A blueprint for remote working: lessons from China yang baru-baru ini dikeluarkan oleh McKinsey, menyoroti cara-cara efektif untuk beradaptasi dalam kondisi ini. Terdapat beberapa pembelajaran yang bisa di contoh dari perusahaan-perusahaan China yang beradaptasi dalam kondisi ini, seperti: menciptakan struktur yang lebih fleksibel atau agile dengan membagi struktur per tim maksimal 30 orang dan terdiri dari berbagai fungsi. Tentunya tim tersebut dibekali dengan tujuan yang jelas dan pemahaman yang sama.

Selain itu, bagaimana komunikasi dilakukan sangatlah krusial dan diperlukan konsistensi maupun kepercayaan diri. Komunikasi yang jelas mengenai kondisi perusahaan, baik ataupun buruk harus dilakukan secara terbuka dengan penuh kejujuran. Komunikasi yang mendadak dengan keputusan yang sulit akan membentuk konflik lebih dalam. Perusahaan sekelas Alibaba pun meningkatkan frekuensi untuk melakukan diskusi one-on-one setiap minggunya agar pekerja tetap aktual menerima informasi.

Meningkatnya budaya kepedulian dan empati serta bagaimana membentuk koneksi antar personal, menjadi hal lumrah dalam hubungan kerja antara manajer ke pekerja atau sebaliknya. Selain itu, Norma baru dari cara bekerja akan menciptakan rutinitas-rutinitas baru. Terdapat beberapa diskursus dari banyak perusahaan yang mulai mempertimbangkan untuk menjadikan budaya bekerja dari rumah hingga seterusnya bahkan setelah pandemi mereda, bisa bersifat pilihan dari pekerja maupun keseluruhan bekerja secara remote. Toh akan menurunkan biaya sewa bangunan, utilitas dan biaya-biaya lainnya. Ketika perubahan akibat pandemi itu pasti, maka orang-orang akan mulai berfikir kreatif untuk mengatasi distrupsi ini sehingga cara bekerja, alur pengambilan keputusan hingga cara meningkatkan engagement pekerja akan menjadi inovasi baru.

Hanya saja, kajian mengenai produktivitas disaat pandemi masih sebatas tips dan tricks dan belum diteruskan ke penelitian mendalam. Selain itu, penting untuk dibuktikan dengan penelitian terpisah efek bekerja di rumah baik disaat pandemi maupun setelah pandemi dan pengaruhnya terhadap produktivitas pekerja. Jika kita hanya mengambil titik waktu saat pandemi, akan sangat bias dan sulit untuk dijadikan tolak ukur untuk penelitian lebih lanjut.

Walau demikian, kondisi ini tetaplah membutuhkan pemikiran dan perhatian dari perusahaan /pemilik usaha dan HR profesional mengenai pertanyaan: Apakah cara berkerja “remote” saat ini akan menjadi cara bekerja masa depan? Apakah terminologi “pekerja kantoran” akan usang ditelan pandemi?

Photo Source

Belajar dari Gitlab

Sebenarnya sudah banyak rupa perusahaan yang memiliki budaya “100% remote” atau tidak memiliki kantor fisik untuk operasional perusahaan. Biasanya hanya terdapat 1 kantor pusat untuk keperluan surat menyurat saja. Selebihnya, pekerja dibebaskan bekerja dimanapun. Walau mayoritas adahalperusahaan berbasis teknologi seperti Gitlab, Zapier, Stack Builder hingga Clevertech. Namun ada juga beragam perusahaan dari industri lain yang memiliki budaya bekerja remote yaitu, perusahaan jasa, media, hingga pendidikan.

Mengutip WeWorkRemotely, kecenderungan perusahaan untuk bekerja remote secara signifikan berkembang dalam 5 tahun terakhir. Banyak perusahaan menyadari manfaat dari tenaga kerja yang tersebar, tidak sentralistik. Ini juga merupakan salah satu pergeseran signifikan dalam budaya kerja sepanjang sejarah. Memang mayoritas pekerja remote masih didominasi Amerika Serikat dan Kanada.

Gitlab menjadi perusahaan mengklaim sebagai “all remote” terbesar di dunia dengan sebaran lebih dari 67 negara untuk 1200 pekerja. Persebaran ini menjadi faktor manfaat yang berbeda untuk perusahaan yang menerapkan bekerja remote, sehingga bisa menikmati manfaat keberagaman pekerja.

Yang menjadi menarik untuk ditelisik adalah bagaimana cara Gitlab memastikan budaya kerja remote dapat diterapkan untuk semua pekerjanya. Terdapat tujuh prinsip mereka bagaimana tim bekerja remote, yaitu: berkerja dari manapun, komunikasikan semua hal yang tidak jelas dan menggunakan alat komunikasi yang sama, kita tidak mengetahui bagaimana masa depan sehingga penting untuk menyelesaikan tugas hinga benar-benar selesai, saat diskusi secara online pastikan untuk bertatap muka bukan hanya suara, siapkan rutinitas setiap hari untuk membentuk ikatan tim dan menghilangkan sekat pembatas dalam tim, sediakan waktu untuk berhubungan diluar pekerjaan dengan rekan kerja, berikan apreasiasi saat selesai pekerjaan dan berikan ucapan terima kasih.

Tentunya manifesto tersebut bisa diterapkan dalam organisasi walau dibutuhkan investasi alat komunikasi, pelatihan untuk para manajer, hingga modifikasi bisnis proses dari rekrutasi, pembayaran tagihan, tanda tanggan, hingga pengurusan pekerja resign. Tahapan transisi juga menjadi hal krusial. Pandemi memaksa banyak organisasi untuk beradaptasi dengan sangat cepat tanpa ancang-ancang, sehingga ketidakmampuan menerapkan cara bekerja remote bukanlah dosa besar.

Penutup diskursus.

Dalam jangka pendek, tambal sulam sistem untuk membuat bisnis tetap terjaga menjadi suatu pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh manajemen senior perusahaan. Kepemimpinan yang kuat bisa menjadi pondasi kokoh yang menopang badai pandemi. Hanya saja, untuk jangka panjang, organisasi sangat perlu berbenah untuk memitigasi resiko kondisi yang terulang di masa depan. Bukan tidak mungkin, 2 atau 3 bulan pengalaman bekerja remote bisa menciptakan pergeseran besar dalam budaya kerja sehingga menggeser terminologi “pekerja kantoran” dan “pekerja rumahan”

Ditulis oleh Edo Irfandi| https://www.linkedin.com/in/edoirfandi/

--

--