Pendekatan Person-Centered untuk Mengembangkan Keamanan Psikologis di Tempat Kerja

Menerapkan teknik konseling di dunia kerja?

xPersona Labs
xPersona Labs
7 min readMay 8, 2020

--

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”

Sebuah peribahasa yang sampai saat ini masih nyata dan relevan, termasuk dalam konteks organisasi. Dalam organisasi, banyak pekerjaan dikerjakan dalam tim, yang membuat kerja sama tim dan kolaborasi sebagai aspek yang berkontribusi terhadap kesuksesan suatu organisasi. Berbagai penelitian pun sudah menunjukkan pentingnya kerja sama tim dan kolaborasi yang efektif, namun kenyataannya tidak mudah untuk mencapainya.

Rahasia Tim yang Efektif

Para eksekutif Google awalnya percaya bahwa tim yang terbaik dapat dicapai dengan mengkombinasikan orang-orang yang terbaik. Google pun berusaha untuk menemukan rahasia dari tim yang efektif di Google melalui “Project Aristotle”, sebuah penelitian untuk melihat apa yang membuat suatu tim dapat memiliki performa yang sangat baik secara konsisten dibandingkan dengan tim lainnya. Awalnya mereka berharap untuk menemukan kombinasi dari kepribadian dan kemampuan yang dibutuhkan untuk membentuk suatu tim yang sukses- apakah itu satu orang Rhodes Scholar, dua orang ekstrovert, satu orang engineer, satu orang PhD?

Project Aristotle berjalan selama dua tahun dengan 200+ interview dengan karyawan dan melihat lebih dari 250 atribut dari 180+ tim Google yang aktif, namun hasil penemuannya ternyata berbeda dari ekspektasi. Ternyata hal yang lebih penting dari kompetensi dan siapa yang ada dalam suatu tim adalah budaya — bagaimana anggota tim berinteraksi, menyusun pekerjaan mereka dan melihat kontribusi mereka. Secara lebih lanjut Google menemukan lima dinamika utama yang membedakan tim yang sukses dengan tim lainnya di Google: psychological safety, dependability, structure and clarity, meaning of work, dan impact of work.

Psychological Safety

Dari kelima dinamika yang membentuk sebuah tim yang sukses, satu hal yang terpenting dan menjadi dasar keempat dinamika yang lain adalah psychological safety. Psychological safety diartikan sebagai kepercayaan yang dipegang oleh anggota tim bahwa suatu tim aman untuk pengambilan resiko interpersonal, dimana anggota tim dapat percaya bahwa tim tersebut tidak akan mempermalukan, menolak, atau menghukumnya saat ia menyatakan pendapat. Psychological safety ini kemudian dapat menimbulkan rasa saling percaya dan menghormati yang memberikan rasa aman bagi anggota tim untuk menjadi dirinya sendiri, mengambil resiko, mengajukan pertanyaan, dan menawarkan ide baru tanpa merasa malu atau takut.

Suasana yang aman inilah yang dapat membantu anggota tim dalam berkolaborasi dengan rekan kerjanya, terlepas dari tipe kepribadian, usia, jenis kelamin, atau karakteristik lainnya, yang kemudian dapat meningkatkan efektivitas pekerjaan. Organisasi-organisasi yang mengusahakan psychological safety, seperti Pixar, Eileen Fisher, dan Barry-Wehmiller mengalami perkembangan dengan adanya rasa aman pada karyawannya. Penelitian oleh Amy Edmondson di tim perawat rumah sakit juga menemukan bahwa tim yang terbaik memiliki budaya dimana pekerja merasa dapat berbicara secara terbuka tentang kesalahan medis, belajar dari kesalahan tersebut, dan mencegah bahaya kepada pasien pada saat selanjutnya. Sebaliknya, tim yang kurang efektif cenderung diam saat mereka melihat kesalahan. Psychological safety pun ditemukan memiliki kaitan secara positif dengan hal-hal yang diinginkan seperti melaporkan kesalahan, peningkatan kualitas, dan performa yang lebih baik, sedangkan psychological safety yang rendah dapat mengurangi komunikasi dan kolaborasi secara drastis.

Saat membaca mengenai psychological safety, saya melihat kemiripan antara kondisi psychological safety di tempat kerja dengan kondisi saat konseling. Konteksnya mungkin berbeda, dimana hubungan yang terbentuk dalam konseling adalah hubungan dimana konselor membantu klien. Biarpun demikian, seorang konselor diperlengkapi dengan kemampuan-kemampuan untuk membangun hubungan dan suasana yang aman bagi klien, dimana klien dapat menjadi dirinya sendiri dan terbuka kepada konselor- sebuah kondisi psychological safety yang diharapkan untuk ada dalam organisasi.

Membangun Psychological Safety dengan Teknik Konseling

Dengan tujuan yang sama, yaitu untuk membangun keamanan secara psikologis, ada beberapa prinsip konseling yang dapat digunakan untuk mengembangkan psychological safety, salah satunya dari pendekatan person-centered dari Carl Rogers. Pendekatan person-centered ini berasal dari prinsip client-centered therapy yang terdiri dari sebuah model untuk membangun hubungan yang dapat membantu individu dapat berfungsi secara lebih baik. Apabila prinsip client-centered therapy ditujukan untuk klien, saat ini Carl Rogers sendiri menetapkan pendekatan person-centered dengan model yang dapat dipraktekkan oleh diri sendiri untuk semua hubungan secara umum. Salah satu kelompok bernama Pajaro Group pun menjadi salah satu kelompok praktisi yang berkumpul dan berbagi tentang aplikasi pendekatan ini dalam pekerjaan dan organisasi.

Dalam pendekatan person-centered ini terdapat tiga komponen utama untuk membangun suasana yang aman dan tidak mengancam sehingga individu dapat berfungsi secara lebih bebas, menerima diri sendiri, dan lebih mampu melepaskan strategi defensif mereka.

  1. Unconditional positive regard, menerima dan menghargai seseorang sebagai dirinya sendiri yang ditandai dengan sikap tidak menghakimi perasaan dan pikiran individu.
    Salah satu hal yang dapat mendorong psychological safety adalah kepercayaan bahwa anggota tim lain tidak akan mempermalukan, menolak, atau menghukum seseorang yang menyatakan perasaan dan pikirannya secara terbuka. Dengan adanya penerimaan dan penghargaan dari anggota tim lainnya, seseorang dapat lebih mampu menerima pikiran, perasaan, dan pendapat yang dimilikinya.
    Beberapa cara yang dapat dipraktekkan dalam tim adalah dengan meminta pendapat dari anggota tim dan menghargai pendapatnya. Meskipun pandangan anggota tim tersebut berbeda dari pandangan kita atau bahkan menimbulkan kerugian, hindari budaya yang negatif seperti saling menyalahkan dan membicarakan anggota tim dari belakang- sebaliknya fokuslah pada solusi, seperti dengan menanyakan “Apa yang dapat dilakukan untuk memastikan hal ini berjalan dengan lancar selanjutnya?”.
  2. Empathy, memahami apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh orang lain dengan menempatkan diri di posisi orang tersebut serta mendengarkan secara aktif tanpa menghakimi.
    Carl Roger mengatakan, “We think we listen, but very rarely do we listen with real understanding, true empathy. Yet [active] listening, of this very special kind, is one of the most potent forces for change that I know.”. Nyatanya terkadang memang tidak semua orang dapat sungguh-sungguh mendengarkan dan memahami secara aktif padahal salah satu hal yang dapat mengembangkan psychological safety dalam tim adalah dengan menunjukkan keterlibatan.
    Berempati dapat dimulai secara konkret dengan cara sepenuhnya hadir dan fokus dalam percakapan, misalnya dengan menutup laptop saat rapat, bertanya dengan tujuan untuk belajar dan lebih memahami anggota tim lainnya, tidak menginterupsi anggota tim lain saat sedang berbicara namun mendengarkan secara aktif. Setelah menjalankan upaya berempati terhadap anggota tim lain, tunjukkan pemahaman melalui respon verbal (menyimpulkan untuk mengkonfirmasi pemahaman, memvalidasi komentar) maupun non-verbal (menghadap orang yang sedang berbicara, mengangguk, mempertahankan kontak mata, dan ekspresi wajah yang suportif).
  3. Genuineness, menjadi pribadi yang otentik, terbuka, tulus, dan dapat dipercaya.
    Dalam pendekatan person-centered, sikap konselor yang terbuka dan tulus dikatakan dapat membantu klien untuk juga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan apa adanya sehingga ia dapat berkembang secara lebih efektif. Dalam lingkungan kerja, keberanian untuk menunjukkan kerentanan atau kesalahan pribadi dikatakan dapat menurunkan batasan dari perbedaan status yang cenderung tidak produktif. Sebagai contoh, anggota tim yang mendengar pemimpin tim mengatakan bahwa dia melakukan kesalahan akan cenderung lebih nyaman untuk menyatakan kesalahan dirinya sendiri di saat ia melakukan kesalahan. Keterbukaan tersebut menunjukkan pada tim bahwa kesalahan dan permasalahan lainnya dapat didiskusikan tanpa perlu takut akan hukum. Oleh karena itu, menceritakan perspektif pribadi terkait pekerjaan dan kegagalan kepada anggota tim lainnya dapat membantu mengembangkan psychological safety pada tim.

Ketiga komponen dari pendekatan person-centered tersebut dapat diterapkan dalam lingkungan kerja, baik oleh karyawan, manajer, pemimpin tim, dan pemimpin perusahaan. HR tentunya juga dapat mengambil langkah untuk mengembangkan psychological safety dalam lingkungan kerja dengan menggunakan prinsip-prinsip pendekatan person-centered, yaitu dalam hubungan HR dengan karyawan secara langsung. HR pun dapat berupaya membangun budaya yang aman secara psikologis bagi karyawan dengan mendorong karyawan dan para pimpinan dalam organisasi untuk menerapkan unconditional positive regard, empathy, dan genuineness, baik melalui program, acara, pelatihan, dan gerakan lainnya. Dengan demikian, diharapkan psychological safety dapat semakin meningkat dan kerja sama tim dalam organisasi dapat semakin efektif.

Ditulis oleh Janice Alberta | www.linkedin.com/in/janicealberta

Referensi

Ackerman, C. E. (2020, April 23). 10 person-centered therapy techniques inspired by Carl Rogers. https://positivepsychology.com/client-centered-therapy/

Duhigg, C. (2016, February 25). What Google learned from its quest to build the perfect team. The New York Times Magazine. https://www.nytimes.com/2016/02/28/magazine/what-google-learned-from-its-quest-to-build-the-perfect-team.html

Edmondson, A. (1999). Psychological safety and learning behavior in work teams. Administrative Science Quarterly, 44, 350–383. https://web.mit.edu/curhan/www/docs/Articles/15341_Readings/Group_Performance/Edmondson%20Psychological%20safety.pdf

Edmondson, A. (2018, December 4). The importance of psychological safety. HR Magazine. https://www.hrmagazine.co.uk/article-details/the-importance-of-psychological-safety#comment-90614

Edmondson, A. C.,& Lei, Z. (2014). Psychological safety: The history, renaissance, and future of an interpersonal construct. Annual Review Organizational Psychology and Organizational Behavior, 1, 23–43. https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-031413-091305

Goman, C. K. (2011). The silent language of leaders: How body language can help or hurt how you lead. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Publishing.

Meadows, E. E. (2013). Person-centered approach in organizational relationships. Organizational Psychology, 43(2). https://cyberleninka.ru/article/n/person-centered-approach-in-organizational-relationships

Miller, A. (2012). Instructor’s manual for Carl Rogers on person-centered therapy. Psychotherapy.net. https://www.psychotherapy.net/data/uploads/5110340dadcda.pdf

Shift Indonesia (2019, June 19). Pemimpin wajib tahu konsep “psychological safety”, apa itu?. http://shiftindonesia.com/pemimpin-wajib-tahu-konsep-psychological-safety-apa-itu/

re:Work (n.d.). Tool: Foster psychological safety. https://rework.withgoogle.com/guides/understanding-team-effectiveness/steps/foster-psychological-safety/

Richardson, D. (2016, July 14). Viewpoint: What we can learn from Google about collaboration. Society for Human Resource Management. https://www.shrm.org/resourcesandtools/hr-topics/organizational-and-employee-development/pages/viewpoint-what-we-can-learn-from-google-about-collaboration.aspx

--

--