Peran “Grit” dalam Human Resources Management

Bagaimana “Grit” dapat mempengaruhi tempat kerja dan sumber daya manusianya

xPersona Labs
xPersona Labs
5 min readMay 11, 2020

--

Photo by You X Ventures on Unsplash

Grit awalnya didefinisikan sebagai ketekunan dan semangat untuk mencapai
tujuan jangka panjang. Terlepas dari kritik baru-baru ini mengenai gagasan grit dan validitasnya terkait beberapa kriteria, penelitian tentang grit juga telah mulai meluas ke dalam konteks dunia kerja. Individu yang memiliki work — grit adalah individu yang memiliki tujuan dan hasrat yang sesuai dengan keberhasilan dalam dunia kerja.

Kami percaya bahwa jika grit didefinisikan dan diukur secara tepat dalam domain pekerjaan, grit dapat digunakan sebagai alat dalam mengembangkan sumber daya manusia. Selain berperan dalam selection dan rekrutmen sumber daya manusia, grit juga dapat memainkan peran penting untuk pelatihan dan pengembangan diri, evaluasi dan manajemen kinerja, dan succession planning.

  1. Grit dalam staffing
Photo by Perry Grone on Unsplash

Penetapan karyawan yang efektif, melalui seleksi dan rekrutmen, merupakan aset strategis yang berharga bagi organisasi. Organisasi perlu terus menyesuaikan diri dengan kondisi internal dan eksternal, untuk itu kemampuan karyawan untuk beradaptasi merupakan faktor penting dalam keberhasilan organisasi. Meskipun peran grit dalam staffing belum diuji secara empiris, kegunaannya dalam seleksi dan rekrutmen tampak menjanjikan, khususnya ketika gagasan tersebut dikonseptualisasikan ulang sebagai kompetensi berbasis motivasi, non-kognitif, penetapan tujuan, dan adaptasi. Selanjutnya, gagasan grit sebagai sifat dan kemampuan yang dapat dilatih serta posisinya dalam kerangka motivasi kerja, menambah arti pentingnya dalam pengaturan pekerjaan (employment setting).

a. Selection of Human Resources

Photo by Scott Graham on Unsplash

Pertama, dengan asumsi untuk memperbaiki basis pengukuran, pelamar dapat dipilih berdasarkan skor grit mereka dengan menggunakan “self reported questionnaires”. Self-reported questionnaires telah terbukti cocok dan efektif untuk menangkap keterampilan non-kognitif. Walaupun kuesioner ini terlihat cepat, murah, dan mudah dikelola, perekrut perlu memeriksa secara eksplisit sifat dari setiap item grit yang dipilih untuk menentukan apakah item tersebut transparan dan cukup fokus pada penilaian diri sendiri. Kemungkinan lain adalah menilai grit menggunakan informant- report questionnaires. Meskipun metode ini lebih sulit untuk diperoleh, informant-report questionnaires sangat membantu untuk menghindari masalah yang muncul melalui Self-reported questionnaires. Perekrut perlu mempertimbangkan apakah metode pengukuran lainnya mampu menilai sifat grit yang sebenarnya. Jika item yang dikembangkan tidak mencerminkan perilaku yang dapat dilihat secara langsung, maka akan sulit untuk mendapatkan penilaian sekunder yang akurat tentang grittiness karyawan/pelamar. Tes psikometri sederhana dapat digunakan untuk menguji perbedaan hasil pengukuran psikometri. Sebagai contoh, para peneliti mungkin ingin mengembangkan dua pengukuran grit yang berbeda, namun dapat dibandingkan, mengukur beberapa konsep seperti gairah kerja, goal-setting processes, dan kemampuan beradaptasi. Self-reported questionnaires dapat menilai sikap dan perilaku yang diukur dengan menggunakan skala tipe-Likert mulai dari “Sangat Tidak Setuju” hingga “Sangat Setuju,” sedangkan informant-report questionnaires dapat menilai frekuensi perilaku kasar menggunakan skala respons mulai dari “ Never ”to“ Always. ”

Potensi grit untuk menambah keputusan perekrutan tidak mungkin terwujud di semua bagian. Seperti yang dinyatakan, grit bekerja dengan baik dalam konteks yang dianggap dapat membangkitkan semangat, dan bukti empiris mendukung asumsi ini. Jachimowicz et al. (2018) melakukan sebuah studi dengan mengelompokkan peserta menjadi dua kelompok berdasarkan pada seberapa besar kemungkinan para peserta merasakan gairah pada performance domain yang diselidiki. Hasilnya, penelitian tersebut mengungkapkan adanya interaksi yang signifikan antara grit dan
hasrat terhadap performance domain. Meskipun ukuran efek grit sangat kecil untuk kelompok yang memiliki gairah rendah, namun ukuran efek pada kelompok gairah tinggi secara signifikan lebih tinggi. Dengan demikian, staf HRM tidak hanya harus mempertimbangkan besarnya work-grit pelamar tetapi juga secara aktif mengevaluasi apakah posisi yang akan diisi membangkitkan gairah untuk pekerjaan itu.

b. Recruitment of Human Resources

Photo by Johanna Buguet on Unsplash

Pada tingkat yang sama, grit juga dapat berfungsi dalam proses perekrutan bagi mereka yang mencari pekerjaan. Penelitian yang dilakukan Chapman.etc mengenai peran dari kepribadian, gairah, kompetensi, dan perilaku perekrut pada keputusan seleksi para pelamar kerja, menemukan bahwa pelamar tertarik pada organisasi yang memiliki nilai dan tujuan yang sama dengan yang mereka miliki. Mengingat pentingnya persepsi kecocokan pada proses rekrutmen, organisasi perlu memanfaatkan perekrut yang bersemangat sebagai cara menarik pelamar yang memiliki antusiasme yang sama. Karena individu yang lebih bersemangat akan menempatkan tujuan sebagai motivational driver dari perilaku, grittier recruiters akan sangat baik diposisikan untuk memberikan informasi yang memadai dan akurat kepada pelamar mengenai tujuan, standar, dan nilai organisasi.

Selain itu, peneliti menemukan bahwa emosi yang kuat, seperti gairah, dapat menular. Sebagai contoh, Cardon (2008) memposisikan gairah sebagai tampilan emosional yang menular melalui peniruan emosional primitif dan perbandingan sosial-emosional. Dengan demikian, perekrut mungkin dapat secara strategis memanfaatkan tampilan emosi positif yang kuat dari hasrat/gairah untuk bekerja sebagai mekanisme untuk mempengaruhi hasrat pelamar juga. Ini dapat dilakukan melalui penggunaan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gestur tangan yang positif. Selain itu penting untuk perekrut agar berusaha untuk membentuk emosi yang dirasakan pelamar, dengan memberikan makna yang dalam dari pekerjaan yang akan digeluti pelamar. Untuk mulai memfasilitasi proses tersebut, pelamar perlu mengetahui/merasakan pekerjaan yang diajukan sangat penting untuk kesuksesan pribadi si pelamar dan organisasi, dan bahwa tujuan pribadi si pelamar selaras dengan tujuan dan standar organisasi. Selanjutnya, karena pelamar memiliki informasi pekerjaan yang terbatas, mereka mengandalkan karakteristik dan perilaku, perekrut untuk memberikan penilaian tentang organisasi, karyawan, dan nilai-nilai yang ada. Sejalan dengan “signaling theory” (Spence, 1973), perekrut dapat berfungsi sebagai “sinyal” bagi pelamar tentang daya tarik dari lowongan pekerjaan tersebut.

Written by Afdal Ikromi | https://www.linkedin.com/in/afdalikromi/

References

Koch, M. J., & McGrath, R. G. (1996). Improving labor productivity: Human resource management policies do matter. Strategic Management Journal, 17, 335–354.

Pulakos, E. D., Dorsey, D. W., & White, S. S. (2006). Adaptability in the workplace: Selecting an adaptive workforce. In Understanding adaptability: A prerequisite for effective performance within complex environments (pp. 41–71). Bingley: Emerald Publishing Limited.

Kautz, T., Heckman, J. J., Diris, R., ter Weel, B., & Borghans, L. (2014). Fostering and measuring skills: Improving cognitive and non-cognitive skills to promote lifetime success. OECD Education Working Papers №110. OECD Publishing, Paris, France.

Jachimowicz, J. M., Wihler, A., Bailey, E. R., & Galinsky, A. D. (2018). Why grit requires perseverance and passion to positively predict performance. Proceedings of the National Academy of Sciences, 115, 9980–9985.

Jachimowicz, J. M., Wihler, A., Bailey, E. R., & Galinsky, A. D. (2019). Reply to Guo et al. and Credé: The grit scale only measures perseverance and not passion, and its supposed sub-factors are merely arti-factors. Proceedings of the National Academy of Sciences, 116, 3942–3944.

Sciences, 115, 9980–9985.

Jachimowicz, J. M., Wihler, A., Bailey, E. R., & Galinsky, A. D. (2019). Reply to Guo et al. and Credé:

The grit scale only measures perseverance and not passion, and its supposed sub-factors are

merely arti-factors. Proceedings of the National Academy of Sciences, 116, 3942–3944.

--

--