Cerita Tentang Luka
Bersama dengan guratan itu, terbekas sebuah cerita. Cerita yang seringkali menyesakkan dada pendengarnya. Namun cerita yang sama mungkin juga membawa lega bagi si penderita.
“Ya, semua sudah lewat dan ternyata kamu cukup kuat”
Bekas jahitan di pelipis matamu menyimpan memori tetang si kecil usil yang sangat suka buah mangga. Dipanjatnya pohon tetangga yang menurutnya menghasilkan mangga termanis sedunia. Betapa panik ayah dan ibunya kala melihat si anak bungsu muncul di muka pintu dengan darah bercucuran di wajah. Ayah bergegas menghidupkan motor dan ibu, sambil menangis kecil, mengangkat si kecil usil ke atas motor. Seketika mereka pergi ke praktik dokter di kampung sebelah dan baru pulang selepas magrib, setelah mampir ke pasar malam untuk membeli martabak kesukaan sang anak. Sungguh mereka sangat menyayangi putranya.
Lalu bekas knalpot di betis kakimu yang kau dapat saat diam — diam meminjam motor ayah lalu berkendara beriringan dengan teman — teman menuju bukit di Barat kampung. Hanya untuk menatap surya yang menghilang ditelan lautan tenang. Bukan cuma laut, hilir angin di sore itu juga tak kalah bersahaja, terbelah membelai wajah, terasa hangat namun menyejukkan. Nahas saja, setibanya di rumah, karena takut ketahuan kau tergesa — gesa mematikan motor, mengangkat kaki kanan untuk berpijak pada kaki kiri dan tiba — tiba terasa panas bagian bawah tungkaimu. Kau tahan rintihan kesakitan saat itu dan dalam seminggu hanya kau dan pintu garasi yang tau tetang si rajah baru. Sungguh hal bodoh yang tidak mungkin kau ulangi sebagai seorang dewasa yang bertanggung jawab.
Lain lagi dengan tiga bekas luka sayatan di pergelangan kirimu. Tiap kali menatapnya kau hanya bisa tersipu malu. Teringat tentang dia yang kau cintai sepenuh hati dan otak, dia yang mewarnai masa remajamu. Yang bersamanya kau mencobai banyak hal baru, dari berkunjung ke toko buku hingga bercumbu. Dia yang dulu kau anggap dunia. Cukup suaranya membuat hatimu bergelora. Sentuhannya membuat isi perutmu bergejolak, tergelitik, terasa asik. Sayang, dia memilih orang lain yang lebih gagah namun kalah tampan darimu. Langit runtuh seketika saat dia memintamu untuk berhenti menyinggahinya di pagi hari juga untuk tidak berkunjung di sore hari. Tangisan, permohonan, bujukan sampai ancaman tidak bisa meluluhkan hatinya. Kau putuskan untuk hidup lebih baik berakhir saja.
Namun beruntungnya kamu, sesosok dunia itu ternyata bukan cuma satu. Masih ada Diana, si sekretaris sewaktu kau masih kuliah di kampus abu — abu. Rosa, si perempuan lugu di pedalaman Kalimantan yang kau temui saat melakukan pengabdian. Laras, rekan sejawat di rumah sakit pertamamu. Dan kini Ratih, gadis campuran Cina — Jawa yang datang ke tempat praktekmu di Rabu sore tiga tahun lalu.
Luka — luka itu sudah selayaknya disyukuri. Karena mereka lah menjadi tanda bahwa kau kaya dan teristimewa. Mereka adalah diari yang tidak sengaja kau tuliskan di sekujur tubuh dan sepajang perjalanan hidup yang singkat ini. Jangan sesali apa yang sudah terjadi. Karena mesin waktu masih menjadi sebuah misteri kalau bukan teori konspirasi. Dan kalau boleh bermain — main dengan kata — kata Eka, aku hanya ingin berkata “Luka itu cantik”.