Tentang Papa: Kepergiannya

Annabelle Wenas
3 min readFeb 18, 2017

--

19 Januari 2017, hari keempat dari minggu pertama kuliah. Pukul 17:25 kelas terakhir di hari itu telah berakhir, dan untuk pertama kalinya aku memutuskan kembali berkunjung ke perpustakaan ilmu sosial, Lehman namanya.

Suasana area belajar perpustakan Lehman

Setibanya di sana, suasana masih sepi, nampaknya aura liburan belum rela pergi. Aku duduk di satu pojok area belajar tempat belajar favorit semester lalu, mengeluarkan isi tas, dan mencoba menjauhkan prokrastinasi.

Namun, tidak lama setelah itu, telepon bergetar, ternyata Kakak sulung, Frega, yang menghubungi. Biasanya aku jarang mengangkat telepon di perpustakaan, karena penghuninya diharapkan tenang di area belajar. Apalagi terakhir aku bertemu dengan Frega baru 5 hari sebelumnya, karena aku menghabiskan liburan di kota tempat Ia menetap bersama keluarganya, London.

Aku kira dia hanya ingin menanyakan keadaanku setelah kembali ke New York. Jadi aku berdiri dan berjalan cepat ke arah lobby, mengangkat telepon dengan suara setengah berbisik.

“Halo Kak, ada apa? aku lagi di perpustakaan”

“Dek sudah baca berita?”

“Berita apa kak?”

“Papa sudah gak ada dek”

“Kapan meninggal?

“Barusan subuh waktu Jakarta”

“ . . . ”

Aku lupa apa yang kita bicarakan setelah itu. Aku ingat memutuskan tidak berjalan ke lobby, dan menuruni tangga menuju stacks, tempat ribuan buku tersimpan rapi, disusun berdasarkan alfabet dan nomor dari kodenya, untuk memudahkan ditemukan. Di antara rak teratur itu, ditemani kesunyian nan temaram, aku kemudian duduk beralaskan lantai.

19 Januari waktu New York, 20 Januari waktu Jakarta, papa meninggal dunia.

Tidak seperti buku-buku yang mengelilingi, pikiranku berantakan. Aku berusaha untuk menangis agar sedikit lega dan bisa berkemas pulang, tapi gagal. Layaknya prajurit yang berkhianat kepada komandan, tubuh saya tidak menjalankan perintah. Jantung berdetak kencang, nafas menjadi cepat, dada serasa terbakar, kepala serasa dipukul dari segala arah terus-menerus. Aku hancur hati.

Mimpi terburuk baru saja menjadi kenyataan. Tanpa sebab, tanpa firasat, datang seenaknya. Keluarga, kerabat, teman-teman sekolah dari SD sampai SMA, bahkan hingga kuliah, pasti paham mengapa aku sangat sangat terpukul akan kepergian beliau (dijelaskan di tulisan selanjutnya).

Aku, si anak bungsu dari empat bersaudara, lahir saat ia memasuki usia 49 tahun. Sejak aku belajar menghitung di taman kanak-kanak, aku sadar usia Papaku jauh lebih tua dari usia ayah teman-temanku. Aku sadar waktuku bersamanya di kehidupan ini, bisa dibilang, lebih sedikit dari rata-rata waktu yang dimiliki teman-temanku beserta ayahnya. Oleh karena itu di setiap ulang tahun papa, aku berharap, semoga masih ada lilin untuk ditiup dan kue untuk dipotong di tahun berikutnya.

Tapi nyatanya tidak…

Papa dan aku di ulang tahun terakhirnya

Papa meninggalkanku di usia yang belum genap 74 tahun. Papa seharusnya ulang tahun ke-74 di 15 Mei 2017, tepat hari pertama liburan musim panasku. Saya kira kita bisa merayakan bersama di salah satu benua, tapi lagi lagi, nyatanya tidak.

(02/18/17)

__

“Tentang Papa” merupakan serangkaian tulisan dari jurnal pribadi seorang anak perempuan tentang kepergian bapaknya, dipadu penghayatan akan pengalaman mereka semasa hidup di alam yang sama. Ditulis dengan harapan, untuk menolak lupa sembari tetap hidup sepenuhnya.

--

--