Tentang Papa: Kehadirannya

Annabelle Wenas
4 min readFeb 27, 2017

--

25 Februari 1992, hari pertama aku berada di dunia ini. Nol, itulah jumlah hal yang kuingat dari momen ini. Aku membayangkan apa yang terjadi hanya dari potongan-potongan cerita.

“Mama harus di c-section karena kamu sungsang”
“Dokter yang operasi itu teman dekat keluarga”
“Kakak-kakak izin dari sekolah untuk menjemput kamu pulang”
“Saat kamu lahir, Jakarta hujan deras sampai banjir”

Dan…

“Setelah dibersihkan suster, Annabelle pertama kali digendong papa”

Potongan cerita terakhir mengawali konsistensi kehadiran papa dalam hidupku, dari hari pertama, hingga hari ke 9,095. Sayang otakku masih terlalu sederhana saat pertama kali diperkenalkan kepadanya. Tanpa pilihan, aku lupa.

Salah satu momen pertama yang kuingat bersama papa (Pulau We, 1995)

Namun…

Aku ingat, saat papa menggendongku yang pura-pura tertidur keluar dari mobil setelah perjalanan panjang, dan meletakkanku di atas tempat tidur.

Aku ingat, saat-saat papa mengantarku ke sekolah setiap hari setelah dia pensiun. Tanpa mengeluh, tanpa terlambat.

Aku ingat saat aku absen karena sakit, papa mengantarku ke dokter, dan setelah kembali di rumah ia bertanya “Mau makan apa Bel, bubur manado, coto makassar, atau bakso?” Kemudian dia pun pergi, membeli makanan pilihanku di restoran terdekat.

Aku ingat, saat papa sebagai seorang purnawirawan, bingung mencari cara menutupi biaya pendidikan SMA-ku (secara total bahkan lebih mahal dari biaya kuliah). Melihat ke belakang, aku lebih banyak kecewa akan kekurangannya daripada keberhasilan usaha beliau mengumpulkan biaya. Satu sikap yang aku sesali, bahkan sebelum kepergiannya.

Aku ingat, saat papa menelpon dan mengirimkan pesan berkali-kali, dan tidak ada satupun yang kubalas. Dia terus menanyakan kapan aku pulang, dan berharap aku selamat sampai kembali di rumah. Seringkali aku bilang sebentar lagi, padahal masih berjam-jam kemudian.

Aku ingat, saat aku kesal karena papa tidak mengizinkanku menyetir ke kampus, padahal sudah memiliki SIM. Dengan tekad dan kenekatan, suatu hari tanpa izinnya aku pergi sendiri. Walau awalnya khawatir, lambat laun dia akhirnya percaya dengan kemampuanku menjaga diri sendiri.

Berdekatan dengan waktu foto ini diambil, papa akhirnya mengizinkanku menyetir mobil sendiri (Kelapa Gading, 2011)

Aku ingat, jabatan tangan hangatnya setiap pagi disertai dengan sapaan kiyosakete yang kita ucapkan bergantian. Papa bilang kiyosakete adalah kata dari Bahasa Jepang yang artinya sampai jumpa dan semoga selamat. Namun, setelah dia meninggal, aku melakukan pencarian di internet dan mengetahui bahwa kata itu tidak ada, dalam bahasa apapun. Bertahun-tahun dia membohongiku, membuatku tertawa dalam tangisan.

Begitu banyak yang aku ingat, tidak kutuliskan semua karena tidak berniat menjadikan tulisan ini menjadi buku dengan ribuan halaman. Aku juga tahu, banyak yang terlupa, dan bahkan tidak diketahui tentang beliau. Di setiap hari setelah kepergiannya, dalam kedukaan aku terus mencoba mengumpulkan remah-remah kenangan tentang papa.

Mengapa?

Ada yang bilang, diri manusia itu dibentuk dari pengalamannya. Oleh karena itu saat seseorang yang secara konsisten dan signifikan hadir dalam hidup meninggal, maka ada bagian besar dari diri yang ikut meninggal bersamanya. Ini yang aku rasakan sekarang. Sebagian besar pengalaman yang membentuk diriku, secara tidak langsung ikut masuk ke dalam peti dan terkubur bersama jenazahnya.

Ada juga yang bilang, setelah seseorang meninggal dia tetap hidup dalam ingatan orang-orang yang mengenalnya. Ini adalah hal yang ingin aku rasakan. Jadi, tidak ada satu hari pun kulewatkan tanpa mengingat papa, bahkan aku masih mengucapkan kiyosakete dalam hati sebelum memulai hari. Namun, intensitas ingatanku tentang beliau fluktuatif, cenderung menurun, dan kemungkinan besar bias. Aku khawatir suatu hari aku kehilangan diri beliau yang sesungguhnya.

Aku memproses kedua pandangan di atas, dan mencapai satu kesimpulan sementara. Betul, ada bagian diriku yang telah meninggal, namun ada bagian lain yang baru lahir. Bagian yang baru ini, layaknya “bayi” yang baru dilahirkan, masih terlalu naif untuk memahami keadaan. Sang “bayi” ini dalam kenaifannya berusaha menyalahkan takdir, dan bahkan ide Tuhan sebagai penciptanya. Padahal, kehilangan seorang bapak juga merupakan pengalaman yang membentuk dirinya.

Kehadiran papa telah menjadi scaffolding yang menopangku saat membangun struktur kehidupan. Ketidakhadirannya, bagiku, merupakan pertanda bahwa aku sudah mampu meneruskan membangun tanpa beliau. Aku bersyukur karena setidaknya papa bukan hanya hadir, tapi juga memberi dukungan selama hampir 25 tahun kehidupanku. Hadir atau tidak, papa tetap terus memberi makna.

Sempat terlintas di benak, mungkin ini cara papa membalas kenekatanku menyetir mobil ke kampus tanpa izin. Dia pergi tanpa izinku, yang jika mungkin, tidak akan pernah kuberikan. Semoga lambat laun, layaknya beliau, suatu hari aku juga dapat percaya.

Perjalanan terakhirku bersama papa (Kereta Jakarta — Surabaya, 2016)

Kiyosakete papa.

(02/27/17)

__

“Tentang Papa” merupakan serangkaian tulisan dari jurnal pribadi seorang anak perempuan tentang kepergian bapaknya, dipadu penghayatan akan pengalaman mereka semasa hidup di alam yang sama. Ditulis dengan harapan, untuk menolak lupa sembari tetap hidup sepenuhnya.

--

--