Bagian II — Feminisme Liberal, Radikal, Marxist, dan Sosialis

Radian Arfi
9 min readMay 15, 2019

--

Ngeri bet judulnya; udah liberal, radikal, marxist pula!

Rose Quartz from Steven Universe. Sumber: https://steven-universe.fandom.com/wiki/Rose_Quartz

Feminisme — sebagai sebuah sistem gagasan — mencoba menjawab dua pertanyaan besar yang menghantui perempuan dan laki-laki: di mana letak akar opresi gender, dan solusi apa yang dapat diambil untuk mengakhiri opresi tersebut. Namun alih-alih menawarkan satu jawaban final, feminisme sadar bahwa akar opresi dan solusi dari permasalahan gender bersifat kontekstual.

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, problematika gender turut berubah dan mengambil bentuk yang baru. Artinya, ide-ide feminisme yang hadir sebagai respon ketimpangan antara perempuan dan laki-laki juga turut berubah mengikuti konteks ruang dan waktu.

Artikel ini akan membahas tentang cabang-cabang pemikiran feminisme — yang masing-masing memiliki tesis utama terkait akar opresi gender, dan solusi atas opresi tersebut. Perlu diingat bahwa sejatinya semangat feminisme adalah semangat interseksionalitas dan semangat transdisipliner.

Artinya, tipifikasi pemikiran-pemikiran feminis tidaklah mutlak; dan dalam menghadapi permasalahan konkrit, kolaborasi antar feminis dengan basis feminisme (dan disiplin ilmu) yang berbeda menjadi sebuah keharusan.

Terlebih, masing-masing feminis — sebagai individu yang merdeka — tentu memiliki pemaknaan masing-masing atas apa itu feminisme; pemaknaan yang harus dihargai, dan dalam kondisi tertentu, ditantang; sebagai upaya untuk mengembangkan kajian feminisme.

Rosemary Putnam Tong (2008) menyatakan bahwa kebanyakan teori feminis kontemporer berangkat dari kritik terhadap feminisme liberal. Mengikuti alur yang disajikan oleh Putnam Tong, artikel ini akan memulai pembahasan tentang cabang pemikiran feminisme dari feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme marxist.

Feminisme Liberal
Berbicara tentang feminisme liberal berarti berbicara tentang ketimpangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme liberal merayakan rasionalitas dan otonomi perempuan atas tubuhnya. Menurut feminisme liberal, perempuan memiliki kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Namun kemampuan ini kerap dibatasi oleh anggapan sesat yang menyatakan bahwa perempuan secara alamiah — secara mutlak — lebih lemah dan bodoh, jika dibandingkan dengan laki-laki.

Anggapan inilah yang kemudian mendorong ketimpangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki kerap diasosiasikan dengan peran di ruang publik, sedangkan perempuan kerap diasosiasikan dengan peran di ruang privat (atau bahkan tidak diasosiasikan dengan peran di ruang manapun!).

Solusi dari permasalahan ini — bagi feminisme liberal — cukup beragam. Bagi Wollstone, Taylor, hingga Friedan (setidaknya ketika ia menulis The Feminine Mystique) misalnya, perempuan harus merebut ruang publik dari laki-laki, dengan cara meniti karir layaknya laki-laki, dan membuktikan bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang laki-laki lakukan.

Upaya tersebut tentu saja harus didukung dengan kehadiran kebijakan yang menjamin “equal oportunity for women”. Jaminan kebijakan ini harus menyasar beberapa poin penting, mulai dari kesetaraan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan, kesamaan hak untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk mendapatkan layanan social welfare bagi perempuan miskin, dan hak atas kontrol terhadap sistem reproduksi perempuan — seperti penggunaan kontrasepsi untuk menunda kehamilan, demi mengejar karir di ruang publik.

Singkatnya, bagi feminisme liberal, intervensi struktural melalui kebijakan merupakan kunci pengentasan opresi gender.

Feminisme liberal memiliki beberapa kekuatan dalam menyelesaikan permasalahan terkait ketimpangan gender. Pertama, feminisme liberal menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama. Kedua, feminisme liberal mendorong penghargaan terhadap hak individu, dan ketiga, feminisme liberal menawarkan solusi konkrit dalam menanggulangi ketimpangan gender, yaitu intervensi struktural.

Namun feminisme liberal — dalam praktiknya — juga tidak dapat dilepaskan dari kritik. Fokus feminisme liberal — otonomi individu dan intervensi struktural — menyebabkan feminisme liberal abai pada akar kultural dari permasalahan yang dihadapi perempuan, yaitu budaya patriarki yang lahir dari penindasan yang terjadi selama ratusan tahun.

Selain itu, feminisme liberal hanya mendorong perempuan untuk mengambil tempatnya di ruang publik, tanpa mendukung keterlibatan laki-laki di ruang privat. Pandangan inilah yang kemudian dikritik oleh Betty Friedan dalam The Second Stage dan The Fountain of Age. Dalam kedua karya tersebut, Friedan menekankan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus belajar untuk menjadi androgini; untuk mengadopsi nilai-nilai dari kedua belah gender; demi tercapainya kesetaraan gender.

Terakhir, kelemahan feminisme liberal terletak pada gerakannya yang dituding bias kelas dan ras. Feminisme liberal hanya menyasar permasalahan yang dialami oleh wanita kulit putih, dari kelas menengah-atas.

Feminisme Radikal

Bagi feminisme radikal, kontrol terhadap fungsi seksual, reproduksi, dan identitas diri perempuan merupakan bentuk opresi yang paling tua dan keji.

Namun ketika membahas tentang solusi dari permasalahan tersebut, feminisme radikal cenderung tidak satu suara.

Bagi feminisme radikal-libertarian, solusi dari pengentasan opresi dapat diwujudkan dengan mendorong lahirnya individu-individu androgini yang memiliki sifat-sifat maskulin dan feminin — seperti yang dibahas oleh Kate Millet dalam bukunya, Sexual Politics (1970).

Kelahiran individu-individu androginis secara efektif dapat mengakhiri kontrol laki-laki atas perempuan, karena jenis kelamin tertentu tidak lagi diasosiasikan dengan sifat-sifat (gender) yang spesifik.

Feminisme radikal-kultural, di sisi lain, memandang bahwa pengentasan opresi hanya dapat terjadi ketika masyarakat mengadopsi nilai-nilai yang kerap diasosiasikan dengan perempuan (emosi, kedamaian, kehidupan), dan meninggalkan nilai-nilai yang kerap diasosiasikan dengan laki-laki (hierarki, dominasi, perang).

Dalam Gyn/Ecology (1978), Mary Daly menyatakan bahwa terminologi androgini, layaknya maskulin dan feminin merupakan produk patriarki yang harus ditolak oleh perempuan.

Pembebasan diri perempuan dari opresi hanya dapat diraih dengan meninggalkan terminologi maskulin-feminin tersebut, dan hidup sebagai wild female — sebuah entitas yang mengatasi dikotomi maskulin dan feminin — demi mencapai kebahagiaan mereka masing-masing.

Perbedaan pendapat antara feminis radikal-libertarian dan feminis radikal-kultural juga turut menyasar topik-topik yang berkaitan dengan seks dan seksualitas; seperti pornografi dan lesbianisme. Bagi feminis radikal-libertarian, konsumsi pornografi merupakan hak bagi setiap perempuan. Kelompok ini menarik garis yang jelas antara fantasi seksual dan aktivitas seksual di dunia nyata (yang sarat akan ketimpangan relasi kuasa).

Feminis radikal-kultural, di sisi lain, justru menganggap pornografi sebagai produk patriarki yang mendorong laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Pornografi — dalam benak feminis radikal-kultural — menempatkan perempuan sebagai objek; sebagai mainan laki-laki semata.

Perdebatan antara feminis radikal-libertarian dan feminis radikal-kultural juga turut hadir dalam diskursus orientasi seksual. Meskipun kedua kubu sepakat bahwa heteronormativitas — sebagai sebuah sistem — bersifat keji dan merusak, feminis radikal-kultural memilih untuk menolak heteroseksualitas seutuhnya, dan hidup terpisah (separatis) sebagai lesbian.

Feminis radikal-libertarian — di sisi lain — justru merayakan keragaman seksualitas sebagai bukti bahwa setiap perempuan memiliki hak atas tubuhnya masing-masing. Bagi feminis radikal-libertarian, berhubungan seksual, baik dengan laki-laki maupun perempuan, bukanlah hal yang buruk bagi perempuan; selama hubungan itu terjadi dalam pola relasi yang relatif seimbang.

Selain dua pokok bahasan di atas, terdapat satu perdebatan lain yang tidak kalah menarik: perbedaan cara pandang antara feminis radikal-libertarian dengan feminis radikal-kultural terkait fungsi reproduksi.

Feminis radikal-libertarian percaya bahwa sumber dari segala opresi yang terjadi pada perempuan adalah fungsi reproduksi perempuan. Shulamith Firestone dalam The Dialectic of Sex (1970) menyatakan bahwa masyarakat dibagi ke dalam dua kelas yang berbeda berdasarkan fungsi reproduksinya: laki-laki dan perempuan. Perempuan — karena rahimnya — diasosiasikan dengan fungsi kehamilan dan pengasuhan, sedangkan laki-laki — karena penisnya — diasosiasikan dengan kerja-kerja di ruang publik. Firestone menekankan bahwa selama pembagian berdasarkan fungsi reproduksi biologis ini masih ada, selama itu pula ketimpangan gender akan hadir di dunia ini.

Solusi yang kemudian ditawarkan oleh Firestone adalah “Revolusi Seksual,” dengan cara mengembangkan teknologi reproduksi ex-utero. Pertemuan antara sperma dan ovum, serta proses pengembangan janin akan dilakukan di luar tubuh perempuan. Melalui teknologi reproduksi ex-utero, perempuan akan dibebaskan dari fungsi biologisnya. Seks tidak lagi dipandang sebagai sebuah aktivitas prokreatif, melainkan rekreatif. Terlepasnya perempuan dari fungsi reproduksinya akan menciptakan masyarakat androgini, yang tidak lagi mempersalahkan perbedaan kepemilikan alat reproduksi.

Namun pandangan Firestone relatif ditentang oleh kelompok feminis radikal-kultural. Bagi feminis radikal kultural, fungsi reproduksi perempuan justru merupakan jalan keluar; posisi tawar; sebuah medium pembebasan bagi perempuan yang teropresi. Tanpa kehadiran fungsi reproduksi, perempuan tidak akan memiliki modal untuk menegosiasikan posisinya di dalam sistem sosial yang patriarkis. Kehadiran teknologi reproduksi ex-utero justru akan merenggut satu-satunya modal perempuan, dan malah memberikan kontrol atas reproduksi manusia ke laki-laki!

Feminisme radikal berhasil melihat benang merah antara seks dan gender, ketika membahas tentang opresi yang terjadi terhadap perempuan. Feminisme radikal menolak sex/gender system, yang menganggap bahwa jenis kelamin seorang individu menentukan gender (baik identitas maupun ekspresi) dari individu tersebut. Bagi feminis radikal, seks dan gender merupakan dua hal yang terpisah dan berdiri sendiri — begitu pula dengan orientasi seksual.

Namun disamping keberhasilannya dalam mengartikulasikan peran gender dan seks dalam opresi, feminisme radikal terkesan abai terhadap keberagaman etnis dan kelas sosial. Feminisme radikal menutup mata terhadap opresi berbasis etnis, ras, agama, dan kelas sosial, karena bagi mereka, hanya ada satu opresi yang mendasari seluruh opresi lain, yaitu opresi laki-laki terhadap perempuan.

Feminime Marxist

Feminisme marxist menyatakan bahwa kapitalisme merupakan akar dari segala opresi yang menimpa perempuan.

Kebebasan memilih yang diagung-agungkan oleh feminisme liberal merupakan buah dari kesadaran palsu, yang dalam prakteknya membuat perempuan merasa berkuasa atas tubuh mereka sendiri — padahal dalam kenyataannya tidak.

Pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga misalnya, merupakan buah dari kesenjangan ekonomi, alih-alih kebebasan atas otonomi tubuh perempuan. Penjelasan terkait bagaimana kapitalisme membuat perempuan terperangkap dalam kesadaran palsu, dan mekanisme untuk membebaskan perempuan hadir dalam karya Friedrich Engels serta Maria Dalla Costa & Selma James.

Menurut Engels, masyarakat tradisional diatur oleh nilai-nilai yang matriarkis, alih-alih patriarkis. Namun dalam perkembangannya, laki-laki (entah bagaimana, yang tidak dijelaskan secara detil oleh Engels) menjadi begitu lihai dalam mengembangbiakkan hewan ternak. Peristiwa ini kemudian melahirkan konsep kepemilikan pribadi; dan hadirnya konsep kepemilikan pribadi secara efektif menggeser posisi perempuan dalam tatanan masyarakat.

Laki-laki yang memegang monopoli atas kepemilikan ternak menjadi sangat berkuasa, dan perempuan yang awalnya memiliki posisi sentral — sebagai produsen baju dan alat-alat rumah tangga — mulai dianggap sebagai pihak yang kurang berkuasa.

Kehadiran konsep kepemilikan pribadi membuat laki-laki berusaha mengatur tubuh dan seksualitas perempuan. Mereka (laki-laki) memaksa perempuan untuk terikat dalam hubungan heteroseksual-monogami, agar laki-laki dapat menentukan dengan jelas garis keturunan mereka. Hal ini menjadi penting bagi laki-laki, karena anak-anak merekalah yang kelak akan mewarisi kepemilikan pribadi sang patriarkh setelah ia meninggal nanti.

Penjabaran Engels di atas menunjukkan bahwa kapitalisme sejatinya merupakan akar dari opresi terhadap tubuh perempuan. Kesialan perempuan yang terjebak dalam hubungan monogami dan menjalankan fungsi reproduksi merupakan dampak dari hasrat kapitalisme untuk mewariskan kepemilikan pribadi, dan mengakumulasi modal sebesar-besarnya. Parahnya, perempuan kerap menganggap kesialan tersebut sebagai bagian dari tugas mulia mereka.

Bagi Engels, membebaskan perempuan dari rantai opresi kelas dapat dilakukan dengan menyertakan perempuan dalam ruang publik

— atau dengan kata lain, mengintegrasikan perempuan ke dalam dunia kerja; pandangan yang kemudian dikritik oleh Dalla Costa dan James.

Bagi Dalla Costa dan James, solusi dari opresi terhadap perempuan bukanlah pengintegrasian perempuan ke dalam dunia kerja, melainkan pengakuan atas kerja-kerja domestik yang dilakukan oleh perempuan

— bahwa selama ini mereka bekerja, dan pantas digaji; bahwa definisi ‘kerja’ yang hanya mencakup pekerjaan di ranah publik problematis dan bias gender. Namun lagi-lagi, apakah kapitalisme merupakan satu-satunya akar dari opresi terhadap perempuan?

Feminisme Sosialis
Jika feminisme marxist menyatakan bahwa kapitalisme merupakan akar dari segala opresi yang menimpa perempuan, feminisme sosialis memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Feminisme sosialis menyadari bahwa relasi kapitalistik yang sarat akan ketimpangan cenderung menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Akan tetapi — bagi feminisme sosialis — kapitalisme bukanlah aktor tunggal dari segala bentuk opresi yang hadir, dan menimpa perempuan.

Feminisme sosialis percaya bahwa ketimpangan gender diciptakan oleh kapitalisme dan patriarki.

Oleh karena itu, solusi feminisme marxist untuk mengakhiri opresi perempuan — lewat integrasi perempuan dalam dunia kerja — dianggap kurang tepat bagi feminis sosialis.

Feminisme sosialis memiliki dua model berbeda dalam menjelaskan opresi yang menimpa perempuan, yaitu two systems explanations of women’s opression dan interactive system explanations of women’s opression.

Dalam two systems explanations of women’s opression, kapitalisme dan patriarki dianggap memiliki bobot yang berbeda dalam mempromosikan opresi yang terjadi kepada perempuan.

Juliet Mitchell misalnya, percaya bahwa kapitalisme memiliki peran lebih dalam mempromosikan opresi terhadap perempuan. Sebaliknya, bagi Alison Jaggar, justru patriarki-lah yang memiliki peran utama dalam mempromosikan opresi terhadap perempuan.

Model penjelasan kedua, interactive system explanations of women’s opression, menganggap bahwa baik patriarki maupun kapitalisme memiliki bobot yang sama dalam mempromosikan opresi terhadap perempuan.

Pemikir-pemikir model ini; seperti Iris Young, Heidy Hartmann, dan Sylvia Walby menganggap bahwa kapitalisme dan patriarki berkembang bersamaan, dan bahkan, sebenarnya merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan.

Feminisme sosialis menyatakan bahwa solusi dari opresi gender yang disebabkan oleh perkawinan kapitalisme dan patriarki adalah penghargaan atas kerja-kerja perempuan, baik di sektor privat maupun publik.

Selain memperjuangkan kesetaraan upah, feminisme sosialis juga menekankan pentingnya lingkungan kerja yang ramah terhadap perempuan, serta posisi sentral organisasi buruh (perempuan) dalam melawan opresi korporasi patriarkal.

Jika dibandingkan dengan feminisme marxist, feminisme sosialis berhasil menawarkan model analisa yang lebih holistik dengan mengawinkan patriarki dan kapitalisme. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apakah opresi yang terjadi kepada perempuan selalu hadir dari “luar” diri perempuan?

Selanjutnya: Feminisme Psikoanalitik, eksistensialis, dan ekofeminisme

Artikel ini merupakan kumpulan refleksi penulis — yang tentunya telah diedit sedemikian rupa— ketika mengikuti kelas Teori-teori feminisme di Departemen Kajian Gender Universitas Indonesia. Dalam proses penulisannya, penulis menggunakan buku tulisan Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought: A Comprehensive Introduction sebagai peta untuk berpindah dari satu cabang pemikiran ke pemikiran lainnya.

--

--

Radian Arfi

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.