Bagian III — Feminisme Psikoanalitik, Eksistensial, dan Ekofeminisme

Radian Arfi
6 min readMay 16, 2019

--

Bingung mau ngasih subtitle apa

Sebelumnya: Feminisme Liberal, Radikal, Marxist, dan Sosialis

Lapis Lazuli from Steven Universe. Sumber: https://steven-universe.fandom.com/wiki/Lapis_Lazuli

Feminisme Psikoanalitik
Jika teori-teori sebelumnya cenderung fokus pada aspek makro dari ketidakadilan gender, — seperti kebijakan yang tidak inklusif dan kapitalisme yang melanggengkan ketimpangan gender — feminisme psikoanalitik justru memusatkan pembahasannya pada psyche, atau aspek internal yang ada di tubuh perempuan dan laki-laki.

Hal ini kerap memancing pandangan sinis dari feminis-feminis lain terhadap feminis psikoanalis. Mereka berasumsi bahwa feminisme psikoanalitik menempatkan perempuan sebagai subjek yang bersalah, alih-alih mengkritik ketidakadilan di level struktural. Padahal, feminisme psikoanalitik juga turut memposisikan struktur sebagai entitas yang bermasalah.

Pemahaman tentang feminisme psikoanalitik harus diawali dengan pemahaman terkait psikoanalitik. Psikoanalitik menempatkan perkembangan masa kanak-kanak sebagai variabel utama yang menentukan psyche dan seksualitas seorang individu.

Sigmund Freud — yang kerap digadang sebagai bapak psikoanalitik — menjelaskan bagaimana perkembangan anak laki-laki dan perempuan diawali dengan fase ‘jatuh cinta’ terhadap ibu mereka. Namun lama-kelamaan, rasa ketakutan akan kastrasi membuat anak laki-laki menjauh dari ibunya, dan rasa penyesalan (karena telah dilahirkan sebagai perempuan) mendorong anak perempuan untuk menjaga jarak dengan ibunya.

Anak perempuan kemudian akan berlomba dengan ibunya untuk mendapatkan kasih sayang sang ayah, karena sang ayah memiliki sesuatu yang tidak ia miliki: penis. Ya, bagi Freud, inferioritas perempuan berakar dari ketiadaan penis; bahwa perempuan merasa cemburu terhadap laki-laki yang memiliki penis, organ yang lebih besar daripada klitorisnya. Namun pada akhirnya, Freud menjelaskan bahwa anak perempuan akan berhenti mengidam-idamkan penis sang ayah, dan mulai mengidamkan hal lain: bayi — sebagai pengganti penis yang lebih superior.

Jatuh cintanya sang anak pada orangtua mereka sendiri — bagi Freud — merupakan hal yang wajar. Freud berpendapat bahwa setiap individu pasti melewati fase-fase penyimpangan seksual; mulai dari jatuh cinta kepada orangtuanya sendiri, hingga individu lain yang berjenis kelamin sama. Namun pada akhirnya, menurut Freud, perkembangan seksualitas seorang individu sejatinya akan sampai pada fase yang sempurna, yaitu fase heteroseksual.

Kritik terhadap penjelasan Freud yang menyatakan bahwa: 1) perempuan adalah makhluk yang cemburu atas (dan mengidam-idamkan) penis; 2) bahwa hal tersebut merupakan akar sekaligus pembenaran bagi inferioritas perempuan; 3) bahwa perkembangan manusia mengikuti seperangkat urutan yang kaku dan rigid; dan 4) bahwa mereka yang tidak mengikuti alur perkembangan sebagai mestinya adalah individu yang cacat dan menyimpang; menjadi basis dari feminisme psikoanalitik.

Tesis utama pemikiran Freud, bahwa anatomy is destiny: ketiadaan penis pada tubuh perempuan menakdirkan perempuan untuk hidup sebagai makhluk inferior yang kelak akan memproduksi anak — ditolak mentah-mentah oleh Feminis psikoanalis. Feminis psikoanalis percaya bahwa inferioritas perempuan justru diproduksi dan direproduksi oleh struktur sosial, alih-alih ketiadaan penis pada tubuhnya.

Selama proses tumbuh kembang, struktur sosial yang sangat maskulin meresap ke dalam diri perempuan melalui pengalaman masa kanak-kanak — yang kemudian membentuk psyche perempuan sebagai makhluk tertindas, lemah, dan tidak spesial.

Proses interaksi antara anak, orangtua, dan lingkungan mereka menempatkan maskulinitas ke dalam posisi hierarkis yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan feminimitas — dan nilai-nilai inilah yang kemudian menetap di dalam psyche manusia.

Perempuan yang mencoba melawan hierarki tersebut; dengan menunjukkan sifat kelaki-lakian misalnya; akan dicap sebagai individu yang menyimpang, sakit, neurotic, dan mengidap masculinity complex.

Solusi dari permasalahan ini, bagi feminisme psikoanalitik, adalah dengan mengakui bahwa baik laki-laki dan perempuan sama-sama dilahirkan dalam keadaan yang inferior, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, pemahaman bahwa setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing, dan berkembang dalam cara serta tahapan yang berbeda-beda juga perlu ditanamkan ke dalam benak masyarakat.

Feminisme Eksistensial
One is not born, but rather becomes, a woman — seseorang tidak dilahirkan, melainkan (dibentuk) menjadi perempuan. Kutipan tersebut berasal dari buku The Second Sex yang ditulis oleh Simone de Beauvoir. Bagi Beauvoir, seorang perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan,” dalam esensi gender; melainkan sebagai perempuan secara biologis.

Kondisi perempuan, yang kemudian dipaksa untuk mengembangkan kapasitas feminimitasnya, merupakan produk konstruksi sosial — produk patriarki — alih-alih fakta biologis. Dari pernyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa Beauvoir secara tegas menarik garis antara konsep ‘jenis kelamin’ dan ‘gender’.

Dalam The Second Sex, Beauvoir menjelaskan secara rinci bagaimana perempuan diposisikan sebagai yang lian — the other — dalam masyarakat yang sangat patriarkis. Perempuan ditempatkan ke dalam posisi ke dua, di bawah laki-laki yang menempati posisi pertama. Sebagai implikasinya, secara eksistensialis, perempuan tidak dapat mengambil keputusan secara sadar dan bebas.

Padahal, dalam eksistensialisme, manusia dituntut untuk meraih kebebasan radikal; yang hanya bisa dicapai apabila seorang individu mampu mengambil keputusan secara otentik, dari dirinya sendiri.

Kapasitas agency ini — oleh Sartre, kekasih intelektual Beauvoir — disebut sebagai “good faith”. Sedangkan proses penyingkiran perempuan yang dilakukan oleh masyarakat patriarkis, yang kemudian membuat perempuan tidak dapat mengambil keputusan secara sadar, disebut sebagai “bad faith”.

Ekofeminisme
Pembahasan ekofeminisme berangkat dari dua premis utama; bahwa struktur masyarakat yang patriarkis meng-alam-kan perempuan — dalam artian menempatkan perempuan sebagai objek, benda yang pasif; dan memperempuankan alam — ketika alam dijamah, ditaklukkan, dan dipenetrasi.

Bagi ekofeminis, alam dan perempuan merupakan sebuah kesatuan, oleh karena itu, mengakhiri eksploitasi manusia (laki-laki) terhadap alam berarti mengakhiri eksploitasi terhadap perempuan; dan sebaliknya.

Warren dalam Tong (2008) menjabarkan empat premis utama dari ekofeminisme yaitu: 1) Terdapat hubungan penting antara opresi terhadap alam, dengan opresi terhadap perempuan; 2) Memahami hubungan tersebut merupakan kunci untuk memahami opresi terhadap alam, dan perempuan; 3) Teori dan gerakan feminis harus menyertakan perspektif ekologi, dan 4) Solusi dari permasalahan lingkungan harus mengintegrasikan perspektif feminis.

Layaknya feminisme radikal, ekofeminisme juga terbagi ke dalam beberapa sub-kelompok. Kelompok pertama menyerukan pemutusan hubungan antara perempuan dan alam — seperti pandangan Simone De Beauvoir yang menyerukan perempuan untuk terjun ke dunia kerja.

Kelompok kedua menyerukan agar perempuan merangkul posisinya yang lekat dengan alam — seperti pandangan Mary Daly yang percaya bahwa perempuan dan fungsi alamiahnya jauh lebih baik daripada laki-laki.

Kelompok ketiga menyerukan transformasi posisi antara laki-laki, perempuan, dan alam, lewat redefinisi ulang dikotomi laki-laki dan perempuan yang menjadi akar dari permasalahan lingkungan — seperti pemikiran Dinnerstein dan Warren.

Ekofeminisme — layaknya varian dari feminisme yang lain — memiliki beragam asumsi yang berbeda untuk menjelaskan klaim utamanya: hubungan antara alam, perempuan, dan ketimpangan gender. Terlepas dari perbedaan asumsi yang dimiliki oleh cabang-cabang ekofeminisme, pemikir ekofeminis umumnya sepakat bahwa terdapat hubungan antara dominasi terhadap alam, dan dominasi terhadap perempuan.

Hubungan pertama dapat dilihat dari sejarah penindasan alam dan perempuan. Eisler dalam Warren (1996) menjelaskan bahwa sebelum era masyarakat patriarkal yang sarat dengan konflik hadir, masyarakat tradisional hidup dalam lingkungan matriarkal, matrilineal, dan agrarial yang relatif damai.

Hadirnya era patriarkal tersebut, menurut ekofeminis, lahir sebagai akibat dari cara pikir biner yang membagi realitas ke dalam dikotomi-dikotomi sempit; seperti laki-laki/perempuan, rasio/emosi, tubuh/pikiran, dan sebagainya. Dampak dari cara pikir biner ini jelas: terdapat satu kategori yang diposisikan lebih tinggi dari kategori lain, dalam kasus ini, laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan, dan budaya (culture) yang posisinya lebih dihargai, dibandingkan alam.

Namun hubungan antara perempuan dan alam yang seringkali disebut sebagai diskriminasi ganda — ketika laki-laki megopresi alam dan perempuan — juga tidak lepas dari kritik. Leach (2007) menjelaskan bagaimana imaji ‘perempuan yang membawa kayu bakar,’ sebagai ikon ekofeminisme yang populer di tahun 1980-an, sebenarnya merupakan reduksi yang kurang tepat, dari hubungan antara perempuan dan alam.

Perempuan dilekatkan sedemikian rupa dengan alam, sehingga kedekatan tersebut kerap dijadikan sebagai basis dari asumsi-asumsi yang sebenarnya diskriminatif: perempuan sebagai pengasuh, sebagai ‘ibu,’ sebagai pihak yang harus memiliki pengetahuan tentang alam, dan cakap mengolah sumber daya alam.

Leach menjelaskan bahwa ikon, dan pemaknaan akan hubungan perempuan dan alam yang sangat sempit tersebut lahir dari kepala donor dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) global. Perkembangan isu lingkungan, dan tuntutan akan program yang menargetkan perempuan menjadi basis diciptakannya imaji-imaji perempuan sebagai representasi alam, yang tentu saja dibentuk demi kepentingan pihak-pihak tersebut.

Kritik lain yang turut disampaikan oleh Leach adalah bagaimana pendefinisian hubungan antara perempuan dan alam — yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya — bersifat simplistik dan memiliki kecenderungan overgeneralisasi. Leach menjelaskan bahwa setiap perempuan memiliki hubungannya masing-masing dengan alam, yang pastinya unik dan berbeda, antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Selanjutnya: Feminisme Multikultural dan Postmodern (bersambung)

Artikel ini merupakan kumpulan refleksi penulis — yang tentunya telah diedit sedemikian rupa — ketika mengikuti kelas Teori-teori feminisme di Departemen Kajian Gender Universitas Indonesia. Dalam proses penulisannya, penulis menggunakan buku tulisan Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought: A Comprehensive Introduction sebagai peta untuk berpindah dari satu cabang pemikiran ke pemikiran lainnya.

--

--

Radian Arfi

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.