Sosiologi Menjawab: Gender, Seks & Orientasi Seksual

Radian Arfi
7 min readMay 16, 2019

Anu, judulnya gak bisa lebih porno lagi?

Steven Universe in Pink Diamond’s outfit. Sumber: https://io9.gizmodo.com/steven-universe-is-teasing-even-more-mysteries-about-pi-1831307776

Gender, seks, dan orientasi seksual; tiga istilah berbeda yang kerap dianggap sebagai sesuatu yang sama. Meskipun berhubungan, istilah gender, seks, dan orientasi seksual memiliki definisinya masing-masing. Artikel ini akan membahas tentang definisi dari masing-masing konsep, kesalahpahaman yang kerap melekat pada ketiga konsep tersebut, serta bagaimana pendekatan sosiologi membahas gender, seks, dan orientasi seksual.

Seks
Istilah yang pertama, seks, mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan; atau yang biasa disebut sebagai jenis kelamin[1]. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat melalui karakteristik primer atau organ reproduksi yang dimiliki oleh seorang individu, yaitu penis dan/atau vagina; serta “karakteristik sekunder” seperti massa otot, bentuk tubuh, tinggi badan, dan masih banyak lagi[2].

Jenis kelamin merupakan sesuatu yang terberi; artinya, manusia tidak dapat memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Namun dalam praktiknya, seorang individu bisa saja dilahirkan dengan karakteristik laki-laki dan perempuan. Orang-orang yang memiliki karakteristik (termasuk organ reproduksi) laki-laki dan perempuan disebut sebagai intersexual people[3].

Gender
Istilah yang kedua, gender, mengacu pada sifat-sifat, serta posisi sosial yang dilekatkan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan[4]. Jika jenis kelamin dibagi menjadi laki-laki dan perempuan, gender relatif dibagi ke dalam kategori maskulin dan feminin[5]. Berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat alamiah, gender merupakan hasil konstruksi sosial. Tiap masyarakat memiliki standarnya masing-masing terkait hal-hal apa yang dianggap maskulin dan feminin[6].

Sebagai contoh, masyarakat Indonesia mungkin menganggap daster sebagai busana yang feminin. Namun bagi masyarakat Afrika dan Timur Tengah, busana yang dianggap feminin tersebut justru dipakai oleh laki-laki; dan dapat dianggap sebagai simbol maskulinitas[7]. Pemahaman tentang gender akan berpengaruh terhadap identitas gender seseorang: sejauh mana seorang individu menganggap dirinya maskulin, atau feminin[8].

Orientasi Seksual
Istilah lain yang seringkali dikaitkan dengan seks dan gender adalah orientasi seksual. Orientasi seksual mengacu pada pola ketertarikan, baik secara emosional maupun seksual, terhadap jenis kelamin tertentu[9]. Orientasi seksual umumnya dibagi ke dalam empat kategori berbeda yaitu heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis), homoseksual (ketertarikan terhadap sesama jenis), biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis), dan aseksual (tidak tertarik terhadap lawan jenis maupun sesama jenis)[10].

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan di kalangan akademisi terkait faktor yang menentukan orientasi seksual seseorang[11]. Perlu diingat bahwa orientasi seksual berbeda dengan hubungan seksual. Seorang laki-laki homoseksual belum tentu pernah, akan, dan mau berhubungan seks dengan laki-laki lain. Sama halnya dengan perempuan aseksual yang memilih untuk menikah dan berhubungan seks, terlepas dari tidak adanya ketertarikan seksual[12].

Meluruskan Kesalahpahaman: Seks, Gender, dan Orientasi Seksual
Terdapat dua kesalahpahaman yang umumnya beredar di masyarakat terkait problema gender, seks, dan orientasi seksual. Kesalahpahaman pertama yaitu menganggap seks, gender, dan orientasi seksual sebagai sesuatu yang sejalan atau konsisten[13]. Contohnya adalah pandangan bahwa seorang laki-laki (seks) pasti memiliki sifat-sifat yang maskulin (gender), dan menyukai lawan jenis (orientasi seksual).

Faktanya, seks, gender, dan orientasi seksual merupakan tiga hal yang berbeda. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak mungkin bagi seorang individu untuk memiliki jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual yang kadang dianggap tidak konsisten. Sebagai contoh, seorang laki-laki bisa saja bersikap feminin dan tetap tertarik terhadap lawan jenisnya. Sebaliknya, seorang laki-laki yang terlihat maskulin bisa saja memiliki ketertarikan terhadap laki-laki lain.

Kesalahpahaman kedua adalah menganggap orientasi seksual sebagai sesuatu yang murni disebabkan oleh faktor biologis. Faktanya, hingga saat ini para akademisi masih terus melakukan penelitian terkait faktor utama yang menentukan orientasi seksual seseorang.

Michel Foucault misalnya, percaya bahwa orientasi seksual merupakan hasil bentukan masyarakat, karena istilah heteroseksual dan homoseksual baru muncul dalam satu abad terakhir ini. Menurut Foucault, orientasi seksual lahir dari istilah-istilah teknis yang diciptakan oleh peneliti, dan diadopsi oleh masyarakat luas[14].

Simon LeVay di sisi lain, menganggap orientasi seksual memiliki kaitan yang erat dengan struktur otak seorang individu. LeVay menyatakan bahwa individu homoseksual memiliki ukuran hipotalamus (bagian otak yang mengatur hormon) yang lebih besar dibandingkan individu heteroseksual[15].

Gender, Seks, dan Orientasi Seksual dari Sudut Pandang Sosiologi

Sosiologi mengkaji gender, seks, dan orientasi seksual melalui tiga pendekatan yang berbeda: pendekatan struktural fungsional, konflik, dan interaksionisme simbolik. Penjelasan detil terkait masing-masing pendekatan dapat diakses di artikel ‘Kiat-kiat Singkat Menjadi Sosiolog’

Pendekatan Struktural Fungsional
Pendekatan struktural fungsional memandang gender sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi pendekatan ini, pemberian label maskulin dan feminin, serta pengasosiasian sifat-sifat tertentu pada laki-laki dan perempuan membuat masing-masing jenis kelamin memiliki peran yang jelas. Sebagai implikasinya, kedua belah pihak dapat berperan aktif dalam menjaga kestabilan dan keharmonisan masyarakat[16].

Sebagai contoh, laki-laki — dengan sifat-sifatnya yang maskulin — berperan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah; sedangkan perempuan — dengan sifat-sifatnya yang feminin — berperan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak.

Pendekatan struktural fungsional juga memposisikan seks — dalam pengertian hubungan seksual — dan heteroseksualitas sebagai sesuatu yang bermanfaat; karena tanpa hubungan seks, masyarakat tidak dapat bereproduksi[17].

Hal inilah yang menyebabkan banyaknya norma yang mengatur kehidupan seksual seseorang, contohnya seperti larangan berselingkuh. Norma tersebut lahir karena perselingkuhan dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak, serta mengancam keberlangsungan keluarga sebagai unit sosial[18].

Fokus pendekatan struktural fungsional pada fungsi reproduksi serta keharmonisan masyarakat membuat pendekatan ini memiliki pandangan yang relatif sinis, terhadap aktivitas seksual non-reproduktif, dan orientasi seksual yang mempromosikan aktivitas tersebut. Orientasi seksual non-hetero, serta aktivitas seksual non-reproduktif relatif dianggap sebagai penyimpangan.

Bagi pendekatan struktural fungsional, homoseksualitas dan aseksualitas tidak boleh dipromosikan secara luas, karena jika kedua hal ini menjadi dominan di masyarakat, maka keberlangsungan umat manusia akan terancam.

Pendekatan Konflik
Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional, pendekatan konflik justru menganggap kehadiran gender — khususnya peran gender yang kaku — sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak individu, dan menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan[19]. Sebagai contoh, seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya di rumah akan memiliki posisi tawar yang relatif lebih lemah jika dibandingkan dengan suaminya yang berkerja di kantor.

Hal ini terjadi karena saat berkerja, sang suami mendapat kesempatan untuk mempelajari berbagai hal baru, memperluas jaringan sosialnya, serta mendapatkan sumber daya ekonomi dalam bentuk gaji. Sebaliknya, perempuan yang tinggal dirumah akan terjebak dengan tugas-tugas yang repetitif setiap harinya.

Terkait dengan konsep seks, pendekatan konflik relatif memandang jenis kelamin sebagai sumber ketimpangan antara laki-laki dan perempuan[20]. Masyarakat patriarkis, atau masyarakat yang didominasi oleh laki-laki[21], cenderung memandang laki-laki sebagai jenis kelamin yang lebih superior dibandingkan perempuan.

Pandangan yang disebut sebagai seksisme[22] ini tentu saja berbahaya, karena sebagai dampaknya, akses perempuan terhadap lapangan kerja, serta hak politik perempuan dapat sewaktu-waktu dicabut dengan alasan perempuan tidak memiliki kompetensi. Menggunakan pendekatan konflik dalam mengkaji gender dan seksualitas berarti memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan[23].

Sama halnya dengan sikap pendekatan ini terhadap seks, pendekatan konflik juga memandang glorifikasi terhadap orientasi seksual tertentu — dalam kasus ini, heteroseksualitas — sebagai sesuatu yang problematis. Menempatkan salah satu orientasi seksual di atas orientasi seksual yang lain hanya akan melahirkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Oleh karena itu, selain memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, pendekatan konflik juga kerap digunakan sebagai basis untuk memperjuangkan kesetaraan antara kelompok-kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda.

Pendekatan Interaksionisme Simbolik
Pendekatan interaksionisme simbolik melihat gender sebagai panduan interaksi antar individu dalam kehidupan sehari-hari[24]. Gender dimanifestasikan melalui simbol-simbol yang melekat pada diri seseorang: mulai dari pakaian, gestur tubuh, gaya bicara, hingga aroma tubuh. Simbol-simbol inilah yang kemudian dimaknai oleh individu lain, untuk menentukan bagaimana Ia bersikap terhadap si pemilik simbol.

Sebagai contoh, seorang laki-laki relatif akan membatasi kontak fisik ketika berinteraksi dengan perempuan yang mengenakan atribut keagamaan, dan menggunakan terminologi spesifik agama tertentu ketika berbicara.

Individu menggunakan simbol-simbol yang melekat pada dirinya untuk menampilkan identitas gender yang ia inginkan. Untuk tampil sebagai sosok yang maskulin misalnya, seorang laki-laki akan mengenakan jaket kulit dan celana jeans, atau pakaian yang menunjukkan guratan ototnya dengan jelas.

Ketika membahas tentang seks — dalam definisi hubungan seks — pendekatan ini melihat seks sebagai sesuatu yang cair dan terus berubah. Pandangan tentang keperawanan misalnya, berubah sejak ditemukannya alat kontrasepsi[25].

Masyarakat tradisional mengharuskan perempuan menjaga keperawanannya agar sang suami yakin, bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut kelak merupakan buah cinta dari hubungan mereka berdua. Penemuan alat kontrasepsi memisahkan makna “reproduksi” dan “hubungan seksual,” sehingga dalam beberapa masyarakat, keperawanan tidak lagi dipandang sebagai indikator utama yang menentukan posisi tawar perempuan di depan laki-laki[26].

Senada dengan sikapnya terhadap seks, pendekatan interaksionalisme simbolik juga memandang pemaknaan masyarakat terhadap orientasi seksual sebagai sesuatu yang dinamis. Homoseksualitas misalnya, dianggap menyimpang karena masyarakat sepakat untuk memaknai orientasi seksual tersebut sebagai sesuatu yang menyimpang.

Bagi pendekatan interaksionisme simbolik, realitas sosial dibangun berdasarkan konsensus; dan konsensus masyarakat dapat berubah sewaktu-waktu. Sebagai contoh, di beberapa tempat homoseksualitas dan biseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah penyimpangan — dan perbedaan orientasi seksual tersebut malah dirayakan.

Catatan kaki
[1] Nathan Keirns, Eric Strayer, Heather Griffiths, et.al., Introduction to Sociology, (Houston: Openstax College, 2012), hlm. 256.
[2] Loc.cit.
[3] John Macionis, Sociology, (New York: Pearson, 2012), hlm. 170.
[4] Ibid., hlm. 294.
[5] Ibid., hlm. 295.
[6] Nathan Keirns, Eric Strayer, Heather Griffiths, et.al., op.cit., hlm. 257.
[7] Loc.cit.
[8] John Macionis, op.cit., hlm. 175–176.
[9] Loc.cit
[10] Loc.cit
[11] Ibid., hlm. 176–177.
[12] Loc.cit
[13] Nathan Keirns, Eric Strayer, Heather Griffiths, et.al., op.cit., hlm. 257.
[14] John Macionis, op.cit., hlm. 176–177.
[15] Loc.cit.
[16] John Macionis, op.cit., hlm. 308.
[17] Ibid., hlm. 183.
[18] Loc.cit
[19] John Macionis, op.cit., hlm. 309–310.
[20] Ibid., hlm. 185.
[21] Ibid., hlm. 296.
[22] Loc.cit
[23] Ibid., hlm. 310.
[24] Ibid., hlm. 309.
[25] Ibid., hlm. 184.
[26] Loc.cit.

Artikel ini dapat ditulis dan diterbitkan berkat bantuan dari kinibisa.com! Platform digital dengan misi mewujudkan generasi kompeten untuk Indonesia, di era digital. Akses portal kinibisa.com untuk mengetahui berbagai informasi menarik terkait insitusi pendidikan, beasiswa, profesi, dan masih banyak lagi!

--

--

Radian Arfi

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.