Ditenggelamkan dan Tidak Diam-Diam Saja

BERGIBAH PODCAST
5 min readSep 13, 2021

--

Oleh Eka Handriana (anggota Koalisi Maleh Dadi Segoro)

“Mengapa Kota Semarang sulit keluar dari persoalan yang sudah lama terjadi?”

Pertanyaan tersebut keluar dari salah satu narator dalam film dokumenter Tenggelam Dalam Diam (TDD) besutan Watchdoc bersama Greenpeace, berkaitan dengan permukiman penduduk Semarang yang tergenang air. Pada bagian itu, suara narator mengilustrasikan catatan seorang fotografer yang tiba di Semarang dalam perjalanannya dari arah timur pesisir utara Jawa. Saat berada di Gresik, Jawa Timur, si fotografer memotret abrasi yang mengancam tenggelamnya tambak-tambak sumber penghidupan warga.

Sebagaimana telah diuraikan dalam kritik berjudul Bahaya Cerita Tunggal Watchdoc dan Greenpeace dalam Tenggelam Dalam Diam yang ditulis oleh Bosman Batubara, salah seorang anggota Koalisi Maleh Dadi Segoro (MdS), film itu membawa pesan berupa cerita tunggal isu global perubahan iklim. Secara eksplisit, isu perubahan iklim itu diucapkan pula oleh narator yang menggambarkan suara fotografer tersebut. Yang bisa saya tangkap, tim TDD datang ke Semarang dengan bekal bingkai pemikiran/narasi perubahan iklim sebagai penyebab garis pantai terus menerus mundur menenggelamkan daratan.

Dalam menjawab pertanyaanya tersebut, film TDD menyuguhkan perbincangan si fotografer dengan seorang sejarawan asal Semarang. Tapi rupanya jawaban sejarawan bukan menyoal perubahan iklim saja. Dia menjelaskan soal rawa-rawa sebagai tangkapan air yang berubah menjadi permukiman seiring perkembangan kota. Keadaan tersebut membuat rob yang semula diredam oleh tanaman di garis pantai, menjadi melebar kemana-mana. Dari penjelasan soal perkembangan kota itu, kalimat sejarawan ini berlanjut ke penurunan muka tanah.

“Dari tahun ke tahun, selain terjadi kemunduran garis pantai, Semarang juga mengalami penurunan muka tanah,” demikian si sejarawan menerangkan kepada si fotografer.

Namun apa yang disinggung oleh narasumber sejarawan tersebut terkait penurunan muka tanah tidak ditelusuri tim TDD. Kalimat sejarawan di atas itu ditutup begitu saja. Watchdoc yang cuek-cuek saja, tidak mengejar lebih jauh dan mendalami soal penurunan muka tanah yang diungkap narasumber sejarawan tersebut. Ini terasa ganjil, setidaknya bagi saya, mengingat citra Watchdoc yang lekat dengan penelusuran investigatif. Apalagi baru-baru ini Ramon Magsaysay Award menganugerahi penghargaan kepada Watchdoc untuk kategori Emergent Leadership dalam bidang jurnalisme investigatif, dimana Watchdoc disebut telah melakukan investigasi jurnalistik yang penuh energi.

Semakin maju ditonton, film TDD terasa semakin ganjil. Saya mengira hal itu karena saking sibuknya TDD menjaga keketatan bingkai perubahan iklim. Walhasil, bukan hanya penjelasan soal penurunan muka tanah dari narasumber sejarawan yang tidak ditelusuri, narasumber warga pesisir pun dibingkai dalam kepasrahan terhadap digdayanya perubahan iklim. Hal itu bahkan ditegaskan dalam judul film dengan kata “Diam”.

Resensi film Moana oleh Robert Flaherty yang ditulis oleh John Grierson (The Moviegoer) di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926, banyak disebut dalam publikasi-publikasi ilmiah tentang film dokumenter yang bertebaran di internet. Istilah dokumenter pertama kali disebut dalam resensi film tersebut, diartikan sebagai film yang menceritakan fakta, mendokumentasikan kenyataan, hingga merekam kejadian saat berlangsung.

Merujuk pengertian tersebut, muncul beberapa pertanyaan saya. Di antaranya, bagaimana fakta pengetahuan orang-orang pesisir terkait penyebab tenggelamnya daratan tempat tinggal? Apakah pengetahuan itu relevan dengan narasi perubahan iklim? Apakah kenyataannya warga pesisir utara Jawa itu diam-diam saja menanti hidupnya tenggelam?

Saya mencoba mencari sendiri jawabannya, salah satunya dengan menengok kembali kritik Bosman Batubara terhadap TDD. Sebelum film TDD beredar penayangannya baik secara luring maupun daring, MdS telah lebih dulu meneliti tenggelamnya pesisir Semarang hingga Demak yang salah satunya diakibatkan oleh pembebanan bangunan-bangunan besar yang menurunkan muka tanah. Publikasi penelitian tersebut dapat diakses secara terbuka di internet.

Lewat membaca publikasi MdS itu, menurut saya ada detil penting yang tidak diceritakan film TDD. Yakni fakta bahwa warga pesisir Semarang-Demak memiliki pengetahuan yang menyebut ada wilayah yang diselamatkan oleh pembangunan insfrastruktur raksasa semacam Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLDS), tapi secara bersamaan ada pula wilayah yang ditenggelamkan oleh pembangunan itu.

Pengetahuan tersebut tidaklah cocok dengan cerita perubahan iklim yang dipakai untuk membingkai persoalan dalam film TDD. Akhirnya, senasib dengan penjelasan sejarawan Semarang di atas, pengetahuan warga pesisir Semarang-Demak, yang dengan sangat jelas menyodorkan fakta ketimpangan dalam pembangunan di sekitar tempat tinggalnya, hanya menjadi tempelan yang tidak lebih penting dari bingkai perubahan iklim yang dibawa Watchdoc bersama Greenpeace dan para pekerja seni (fotografer, penyanyi, grup band, hingga pencerita kuliner) dari Jakarta dan sekitarnya.

Mengenai penjelasan sejarawan Semarang tentang perkembangan kota, bertaut dengan pengetahuan warga soal ketimpangan dalam pembangunan kota, sedang didalami dengan penelitian MdS yang bertajuk “Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi politis urbanisasi das-das di Semarang”. Saat ini, penyusunan laporan pendalaman yang dibiayai dengan dana patungan yang dimobilisasi lewat platform kitabisa.com tersebut sudah setengah jalan. Cuplikan-cuplikan dari pendalaman tersebut akan ditulis pada bagian setelah ini secara serial, di antaranya tentang: pembangunan Kota Semarang yang menyebabkan wilayah Sayung, Demak tenggelam; beroperasinya pabrik-babrik besar yang memicu tenggelamnya pantai dan tambak di Semarang; hingga hilangnya satu pulau di Semarang yang disebabkan aktivitas industri.

Jawaban pertanyaan saya selanjutnya, tentang apakah warga pesisir diam-diam saja, justru saya temukan di film TDD itu sendiri. Yakni pada bagian ketika film TDD menampilkan grup band dari Bandung yang sedang berada di kampung nelayan Tambakrejo, Kota Semarang. Para anggota grup itu masuk ke rumah seorang warga. Rumah yang tenggelam, semula memiliki tinggi empat meter menjadi tinggal 1,5 meter. Warga Tambakrejo tersebut lahir, tumbuh, dan kini mencari penghidupan di Tambakrejo. Karena itulah dia bertahan. Ketimbang pindah, dia pilih menguruk lantai rumahnya. Antara pindah dengan menguruk lantai rumah, sama-sama membutuhkan biaya. Biayanya sama-sama tidak bisa dibilang sedikit. Sayang sekali, upaya mempertahankan kehidupan itu dimaknai dengan kata “diam” dalam film TDD.

Kenyataanya penduduk Tambakrejo tidak diam-diam saja. Ada upaya pengumpulan bahan peninggian lantai rumah untuk bertahan hidup. Sebagaimana penolakan warga Balong, Kabupaten Jepara yang laut atau pantainya akan dikeruk untuk membangun TTLSD. Warga Balong tidak diam, melainkan menolak ditenggelamkan. Cerita penolakan warga Balong akan menjadi salah satu seri dari rangkaian tulisan ini (lihat peta untuk lokasi-lokasi dalam serial tulisan). Lewat tulisan tentang hilangnya Pulau Tirang dari Kota Semarang, juga akan diketahui upaya perlawanan warga. Kendati pada akhirnya kalah dan Pulau Tirang tetap lenyap, namun ini bukan pasrah. Pulau Tirang tenggelam dalam melawan.

Lokasi-lokasi dalam serial tulisan.

Masih banyak cerita lain yang datang dari penduduk pesisir yang tidak diam-diam saja. Beberapa waktu lalu, lewat dinding Facebooknya, Sekjen Persudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah mengunggah video yang cerita perlawanan warga Timbulsloko, Kabupaten Demak dengan tajuk Timbulsloko Menolak Tenggelam. Seorang kawan nelayan dari Kendal juga bercerita tentang upaya penolakan terhadap penggusuran para nelayan dari Pantai Sendang Sikucing oleh pengembang. Bergerak ke arah barat, para nelayan dan petani Serang, Banten, sudah sejak lama menolak penambangan pasir di laut Serang untuk kepentingan reklamasi di Jakarta. Penambangan ini merusak ekosistem laut, menyebabkan abrasi pantai, dan menurunkan pendapatan nelayan.

Cerita-cerita perlawanan seperti itu ada dimana-mana, di sepanjang pesisir utara Jawa. Kita semua menolak tenggelam, kita tidak diam-diam saja. Kita tentu tidak mau jika perlawanan untuk mempertahankan hak hidup ini dikemas begitu saja dengan narasi “diam” yang datang entah dari mana. Menjadi sangat penting disadari di sini, bahwa narasi bukanlah melulu soal realitas, tapi juga soal siapa dan apa kepentingan orang/kelompok yang menceritakannya. Untuk mengangkat narasi-narasi perlawanan yang, melalui kasus peninggian rumah dalam film TDD, telah terbukti terpinggirkan oleh narasi “tenggelam dalam diam” dan gemuruh apresiasi terhadapnya, rangkaian selanjutnya dari tulisan ini akan terus menunjukkan perlawanan-perlawanan terhadap upaya penenggelaman; menjadi perlawanan terhadap narasi diam. Sekaligus, tulisan ini adalah undangan terbuka bagi siapa saja untuk menuliskan cerita perlawanan serupa dalam serial ini.

— —

Catatan:

  1. Ada komentar salah seorang kawan dari Bergibah Podcast mengenai paragraf yang menyebutkan istilah film dokumenter pertama kali digunakan. Masukan kawan tersebut menyebutkan penulis risensi film Moana oleh Robert Flaherty, John Grierson. Penulis menerima masukan itu, sehingga telah dilakukan perubahan pada paragraf tersebut pada 13/09/2021.

--

--