Integritas Ilmiah dan Etika Riset, Ch. 1: Pengantar

Feliks VP Samosir
6 min readJul 17, 2021

--

Ini merupakan ringkasan dari Buku Scientific Integrity and Research Ethics : An Approach from the Ethos of Science (2016) oleh David Koepsell. Ada tiga bab yang akan dituliskan (bab 1, 2, dan 4) dan dimulai dari bab pertama : Pengantar.

Ilmu pengetahuan merupakan sebuah wadah yang dapat bekerja dengan jauh lebih baik ketika para ilmuwannya mampu bekerja sesuai dengan etos kerja sesuai dengan bidang penelitiannya. Etos kerja atau etika tersebut yaitu :

Etos Kerja dalam Ilmu Pengetahuan

Komunal

Ilmu pengetahuan harus universal yaitu kebenarannya tidak spesifik pada satu budaya, waktu, atau tempat melainkan melekat pada alam dan dapat ditelusuri dengan berbagai metode saintifik.

Universal

Ilmu pengetahuan merupakan usaha keras komunal/bersama yang dikejar berbagai macam orang pada berbagai waktu. Observasi, pembuatan hipotesis, uji coba, dan menyusun teori semuanya mengacu pada pekerjaan atau penelitian orang lain. Tidak ada teori final, semuanya merupakan satu kesatuan rangkaian yang saling bergantung.

Skeptisme yang terorganisir

Ilmuan harus tetap skeptis, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok yang terlibat dalam berbagai program penelitian. Ilmuan harus siap sedia mengesampingkan teori yang menjadi kesukaannya dihadapan bukti penelitian baru

Tidak bias dengan motivasi pribadi/netral

Ilmuwan diharapkan tidak boleh terikat pada hasil tertentu dan harus dan harus berusaha hanya untuk mencari kebenaran, terlepas dari bagaimana hasil penelitian mereka. Kebanyakan ilmu pengetahuan berujung pada kebuntuan dan tidak menghasilkan terobosan apapun. Namun, justru hal inilah yang membuat timbulnya penelitian baru. Ilmuwan yang netral akan mengejar kebenaran kemanapun arah proses pembelajaran mereka

Ketiadaan etika ini dinilai akan mampu membuat program penelitian saintifik akan mengalami kegagalan. Penelitian tidak akan mencapai kebenaran, terjadi penundaan penelitian, atau bahkan kemunduran hasil.

Salah satu contoh penyimpangan awal etika dalam ilmu pengetahuan adalah kasus Edward Jenner pada tahun 1700 an. Jenner memiliki hipotesis bahwa cowpox (cacar sapi) dan smallpox (cacar manusia) mirip dan karena itu, manusia yang terpapar cowpox menjadi kebal terhadap smallpox. Hipotesis ini terbukti benar namun cara yang dilakukan Jenner dinilai tidak beretika. Untuk membuktikan hipotesis ini, Jenner mengambil sampel nanah dari pemerah sapi yang terkena cowpox, dan menanamkannya pada James Phipps, anak tukang kebunnya yang dalam kondisi sehat. Hal ini dia lakukan juga pada 17 orang lainnya. Setelah itu, dia memaparkan smallpox kepada mereka. Hasilnya, mereka menjadi kebal dan rentan.

Edward Jenner, Pelopor Vaksin
Edward Jenner

Eksperimen Jenner yang menggunakan manusia bahkan anak dibawah umur dinilai tidak etis karena belum memahami konsensus. Penggunaan subjek penelitian manusia tanpa konsensus dan batasan mengapa harus menggunakan subjek manusia, eksperimen seperti Jenner akan terus berlanjut dan pasti akan memburuk. Penggunaan manusia sebagai subjek penelitian mendapatkan perhatian lebih setelah Perang Dunia II sesudah Persidangan Nuremberg.

Persidangan Nuremberg

Pada akhir Perang Dunia II, pihak Sekutu mengadakan persidangan kejahatan perang. Ada beberapa kasus yang tidak memiliki hukum yang disepakati secara internasional. Hukum yang digunakan untuk hal ini adalah hukum tidak tertulis yang mengatur perilaku moral yang tepat dalam perang yang dapat menunjukkan kejahatan melawan kemanusiaan. Salah satu kasusnya adalah terkait penelitian dengan subjek manusia. Salah satu persidangan terjadi di Nuremberg. Sebanyak 23 dokter Nazi menjadi terdakwa atas kasus penggunaan manusia -khususnya tahanan kamp konsentrasi, sebagai subjek penelitian yang sebagian besar berujung kematian dan lainnya cacat permanen.

Persidangan Nuremberg tidak menggunakan hukum tertulis, namun menggunakan prinsip umum moral yang menekankan bahwa perlu ada batasan moral dalam ilmu pengetahuan sebagai panduan perilaku penelitian. Persidangan ini menemukan bahwa tentunya ilmuwan seharusnya bertindak dalam batasan moral tertentu. Putusan dalam pengadilan ini kemudian dikenal sebagai Kode Nuremberg yang menjadi basis batasan internasional bagi ilmuwan dalam melakukan riset.

Kode Nuremberg berisi rangkaian tanggung jawab ilmuwan pada subjek manusia dan masyarakat. Terdapat 10 poin di dalamnya, seperti yang ditampilkan di bawah ini:

1. Persetujuan sukarela, berpengetahuan luas, memahami subjek manusia dalam kapasitas hukum penuh.
2. Eksperimen harus bertujuan pada hasil positif bagi masyarakat yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain.
3. Harus didasarkan pada pengetahuan sebelumnya (seperti, hasil dari percobaan pada hewan) yang membenarkan percobaan.
4. Percobaan harus diatur sedemikian rupa sehingga menghindari penderitaan dan cedera fisik dan mental yang tidak perlu.
5. Tidak boleh dilakukan jika ada indikasi bahwa hal itu mengakibatkan risiko kematian atau cedera yang melumpuhkan.
6. Risiko eksperimen harus sebanding dengan (tidak melebihi) manfaat kemanusiaan yang diharapkan.
7. Persiapan dan fasilitas harus disediakan secara memadai untuk melindungi subjek dari risiko eksperimen.
8. Staf yang melakukan atau mengambil bagian dalam eksperimen harus sepenuhnya terlatih dan berkualifikasi secara ilmiah.
9. Subjek manusia harus bebas untuk segera keluar dari eksperimen kapanpun mereka merasa tidak mampu secara fisik atau mental untuk melanjutkan.
10. Demikian pula, staf medis harus menghentikan eksperimen kapanpun mereka mengamati bahwa kelanjutannya akan berbahaya

Ada tiga poin pokok yang tercantum dalam kesepuluh Kode Nuremberg ini :

  1. Melindungi integritas subjek penelitian
  2. Menetapkan persyaratan untuk secara etis melaksanakan penelitian kesehatan dengan mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian
  3. Secara khusus menekankan diperlukannya persetujuan sukarela (voluntary consent) dari manusia sebagai subjek penelitian.

Kesepuluh kode Nuremberg tidak serta merta muncul begitu saja. Ada pengalaman-pengalaman dalam sejarah manusia yang berkaitan dengan etika dan moral yang turut membangunnya. Memahami pengalaman sejarah manusia ini akan membantu ilmuwan untuk menghadapi tantangan sosial dan teknis pada penelitian masa depan yang berkaitan dengan etika.

Ada tiga teori besar yang menjelaskan tentang etika, yaitu :

  1. Etika Kebajikan
  2. Etika Deontologis
  3. Etika Konsekuensialis
Tiga teori besar tentang Etika

Etika Kebajikan

Dalam budaya Yunani kuno tujuan hidup yang tepat adalah eudaimonia atau hidup yang baik, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Dengan pengembangan kebiasaan karakter yang baik, maka hal ini dapat dicapai. Plato menyebutkan 4 kebajikan utama yang perlu dikembangkan untuk menghasilkan karakter yang baik, yaitu kehati-hatian, keadilan, ketabahan, dan kesederhanaan. Keempat kebajikan ini perlu terus dipelajari dan dikembangkan.

Seorang ilmuwan yang berbudi luhur, mungkin akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diungkapkan dalam Kode Nuremberg karena prinsip-prinsip itu rasional, dia akan jujur, adil, sederhana, dan bijaksana. Etika kebajikan tetap menjadi teori yang dominan selama ribuan tahun bahkan diadopsi oleh berbagai cendekiawan Kristen seperti St. Thomas Aquinas. St. Thomas Aquinas mengembangkan kebajikan iman Kristen terdiri dari tiga hal, yaitu Iman, Pengharapan, dan Kasih.

Etika Deontologis

Kata deontologis berasal dari bahasa Yunani ‘deon’ yang berarti tugas atau tanggungjawab. Kant mendefinisikan satu-satunya kebaikan sebagai apa yang berasal dari apa yang dia sebut “niat baik” yang datang dari rasa atau kewajiban moral. Manusia memiliki tugas universal. Kant menyebut hal ini sebagai categorical imperative.

Categorical Imperative :

  • Bertindak hanya ketika kita ingin tindakan kita tersebut menjadi hukum universal yang dapat diterapkan pada semua orang dalam situasi yang serupa
  • Bertindak sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan manusia (baik diri sendiri atau orang lain), sebagai tujuan dalam diri sendiri, dan tidak pernah menganggapnya sebagai sarana pemenuhan tujuan pribadi saja.
  • Bertindak seolah-olah Anda adalah anggota pembuat hukum (dan juga raja) untuk menghasilkan hukum yang selaras dengan kebutuhan semua orang.

Kita dapat melihat di berbagai bagian Kode Nuremberg beberapa referensi ke etika deontologis, khususnya tentang pengertian keadilan, tidak menggunakan manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan dalam gagasan tentang otonomi. Hak-hak alam atau deontologi Kant bekerja di belakang banyak lembaga etika dan politik kita saat ini, dan mempengaruhi pengambilan keputusan etis yang diterapkan, terutama dalam bioetika.

Etika Konsekuensialisme

Konsekuensialisme adalah satu aliran dalam filsafat etika yang menekankan bahwa kebenaran suatu tindakan haruslah dinilai dari akibat (konsekuensi) perbuatan tersebut. Sehingga bagi penganut ideologi ini, tindakan yang benar secara moral adalah suatu tindakan yang menghasilkan akibat yang baik. Filsuf Inggris Jeremy Bentham juga mencari etika yang tidak didasarkan pada beberapa perintah ilahi melainkan pada realitas empiris. Kalkulus hedonis yang dibuat Bentham mempertimbangkan jumlah total kesenangan di dunia vs. rasa sakit, dan menyarankan bahwa kita harus memilih tindakan yang meningkatkan kesenangan secara keseluruhan (kebaikan bersih) dibandingkan dengan rasa sakit yang dihasilkan. Pernyataan kasarnya mungkin: lakukan apa yang menghasilkan kesenangan terbesar dan menghindari rasa sakit yang paling hebat.

bersambung ke bab 2…

--

--

Feliks VP Samosir

Lecturer of Informatics at Universitas Pelita Harapan. NLP enthusiast…and history too!