Usia 25, Amartya Sen, dan Belajar Bersyukur

Gaffar Mu'aqaffi
5 min readJul 30, 2023

--

Photo by Sasha Freemind on Unsplash

Sudah beberapa waktu usia saya menjadi 25 tahun. Meskipun saya tak merasa mengalaminya (atau mungkin belum), quarter-life crisis adalah fenomena yang sering dialami oleh pemuda-pemudi di usia ini. Orang-orang bilang, krisis ini berkaitan dengan ketakutan seseorang atas kualitas hidupnya di masa depan. Di kepala mereka terngiang-ngiang pertanyaan yang rumit: apakah saya mampu memiliki hunian di masa depan? Apakah pekerjaan saya menjamin kesejahteraan saya di kemudian hari? Apakah saya dapat memiliki pasangan dan membangun keluarga yang baik? dan masih banyak lagi. Tentu, pertanyaan yang sulit untuk dijawab ini menimbulkan kecemasan di dalam diri.

Dalam kondisi yang menguras emosi itu, perbandingan nasib menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Kita, entah mengapa, ingin melihat bagaimana progress hidup orang-orang sejawat kita: ada yang sudah memiliki kendaraan bagus, ada yang memiliki bisnis pesat melaju, ada yang karirnya sukses, ada yang bahagia menikah dan memiliki anak yang lucu. Lalu kita akhirnya melihat diri kita sendiri. Ternyata dirasa cukup gelap dan tak semulus individu lainnya. Cita-cita kita pun berguguran seiring dengan tak tercapainya mereka. Kita semakin tak percaya diri.

Karena masifnya quarter-life crisis, termasuk terjadi di teman-teman saya, saya jadi berpikir: mengapa kondisi ini memungkinkan untuk terjadi? Karena kita melihat capaian-capaian ekonomi orang lain, salahkah kita menyamakannya dengan kualitas hidup yang baik? Dan apakah salah ketika kita melakukan perbandingan-perbandingan hidup?

Development as Freedom

Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi 1998, pernah menulis buku yang begitu menggugah kesadaran para ekonom, politikus, dan pembuat kebijakan di dunia mengenai apa itu pembangunan (development). Buku itu berjudul Development as Freedom yang diterbitkan pada tahun 1999, ketika dunia akan memasuki millennium baru. Buku ini begitu berpengaruh karena upaya Sen untuk memaknai ulang kata ‘pembangunan’ yang selama ini selalu diasosiasikan sebagai pertumbuhan ekonomi belaka (misal, GDP dan GDP per kapita).

Sen mengkritik bagaimana dunia saat ini sudah bertambah kaya — secara ekonomi real — tetapi di saat yang sama, kita masih bisa menemukan adanya bencana kelaparan, kematian dini, diskriminasi ras dan gender, hingga ketimpangan yang begitu akut. Mengapa ini bisa terjadi? Sen menunjuk karena kita, meskipun bertambah kaya, melupakan pembentukan kapabilitas manusia. Kapabilitas di sini merujuk pada seperangkat kemampuan manusia untuk memutuskan menjalani hidup sesuai dengan keinginan mereka, bukan lewat paksaan.

Contohnya begini: apa yang membedakan orang berpuasa dan orang kelaparan? Bukankah mereka sama-sama lapar? Bedanya adalah orang yang pertama lapar karena keputusannya sendiri, sedangkan orang yang kedua lapar karena terpaksa. Dalam konteks ini, pembangunan seharusnya diperuntukkan untuk mencetak sebanyak-banyaknya orang tipe pertama: orang yang sebenarnya memiliki banyak pilihan hidup, meskipun pada akhirnya mereka tidak mengambil semuanya. Mereka memiliki kekuatan dan kesempatan luas untuk menjalani hidup sebagaimana yang mereka mau. Inilah yang disebut Sen sebagai kebebasan yang merupakan hasil dari pembangunan.

Lebih jauh lagi, meskipun kebebasan manusia adalah tujuan akhir, kebebasan juga merupakan bagian yang penting dari proses pembangunan. Kita tidak boleh mengatasnamakan ‘pembangunan’ untuk membungkam suara-suara orang lain atau pun mendiskriminasi partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial-ekonomi dan pembentukan kebijakan. Hal ini dikarenakan kritik dan masukan — yang merupakan konsekuensi logis dari kebebasan — sangatlah krusial dalam mendefinisikan dan mengevaluasi ‘pembangunan’ itu sendiri. Jika tidak ada diskusi dan pertukaran gagasan, ‘pembangunan’ ini akhirnya berujung pada proses yang kita sendiri tidak tahu apa fungsinya, atau bahkan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja — seperti halnya proses pembangunan yang terjadi di dunia saat ini.

Kembali lagi kepada kritik Sen tentang terlalu fokusnya kita pada hal-hal ekonomistik pada pembangunan. Sen memberikan contoh komparasi kondisi hidup orang-orang kulit hitam di Amerika dan penduduk di Kerala, India. Secara pendapatan, jelas seorang Afro-Amerika memiliki uang yang jauh lebih banyak dari pada satu individu di Kerala. Meskipun demikian, setelah ditelaah lebih lanjut, angka harapan hidup orang kulit hitam Amerika ternyata lebih rendah dibandingkan rekan sejawatnya yang berada di India, yang notabene lebih miskin. Orang-orang kulit hitam lebih cepat meninggal karena berbagai penyebab seperti kriminalitas, akses kesehatan dan pendidikan, dan masih banyak lagi.

Kita lihat dalam konteks Indonesia. Saya akan membandingkan kehidupan orang-orang di Jakarta dan Jawa Tengah. Secara pendapatan, pekerja formal Jakarta memiliki uang yang lebih banyak dibandingkan Jawa Tengah. Ini bisa dilihat dari Upah Minimum Provinsi (UMP): di tahun 2023, pekerja Jakarta mendapatkan gaji minimal sebesar Rp 4.901.798, dan Jawa Tengah hanya Rp 1,958,169. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Jakarta memiliki kondisi lingkungan yang memprihatinkan, terutama dalam hal kualitas udara yang menyebabkan banyak masalah. Merujuk pada artikel Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta, Indonesia, diketahui jika buruknya kualitas udara di Jakarta menyebabkan lebih dari 10.000 kematian dan 5.000 pasien rawat inap di kota ini setiap tahun. Angka harapan hidup orang Jakarta pun juga tidak lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di Jawa Tengah.

Menimbang fakta yang disajikan di atas, lantas apakah gaji dan kekayaan yang seharusnya benar-benar kita cari? Apakah uang berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup dan pembangunan itu sendiri — sebagaimana yang kita khawatirkan saat quarter-life crisis?

Lalu Bagaimana?

Pembacaan saya atas buku Development as Freedom karya Amartya Sen menyadarkan tentang pentingnya memikirkan ulang tujuan masa depan saya. Selain itu, upaya untuk melihat hal-hal yang saya miliki di masa sekarang terasa lebih relevan daripada sebelumnya: selain kondisi ekonomi saya yang memang biasa-biasa saja, hal apa saja yang saya punyai dan kehadirannya sebenarnya begitu penting?

Eksplorasi kepemilikan kita atas hal non-ekonomi ini begitu penting karena, sebagaimana ditekankan Amartya Sen, kualitas hidup seseorang dan masyarakat secara umum tidak selalu perihal ekonomi. Lagipula, meneliti dan memaknai apa yang telah kita punya memiliki manfaat yang signifikan, terutama untuk merencanakan strategi-strategi perubahan hidup kita (lihat misalnya, tulisan saya sebelumnya: Seberapa Cepat Kita Perlu Bersyukur).

Terlepas dari itu, pemetaan kepemilikan yang saya maksud di sini juga berfungsi agar kita dapat memaknai kualitas hidup secara lebih menyeluruh — bahwa hidup kita terkadang tidak semenyedihkan itu jika dilihat lebih dekat. Misalnya saja, barangkali orang lain memiliki penghasilan yang fantastis, tetapi ini tidak disertai dengan persaingan kerja yang sehat dan atasan yang mampu mewadahi kreativitas mereka. Sedangkan di sisi yang lain, gaji kita mungkin tidak banyak, tetapi kita memiliki waktu yang cukup bersama keluarga dan tempat tinggal kita berada di lingkungan yang sehat. Masih banyak hal di luar isu ekonomi yang patut untuk dipertimbangkan (dan tentu, untuk disyukuri).

Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa saya menegasikan faktor ekonomi sebagai hal yang meningkatkan kualitas hidup. Banyak tulisan saya sebelumnya mengenai kepemilikan kapital dan dampaknya pada penciptaan privilese kebanyakan orang. Oleh karenanya, kita harus akui: kekuatan ekonomi perlu tetap diusahakan karena memang meningkatkan kualitas hidup kita, tetapi ini bukanlah faktor satu-satunya.

Usia 25 barangkali dipenuhi dengan kebimbangan dan ketakutan. Tapi toh kehidupan, seperti perjalanan panjang yang berliku-liku, memang akan selalu dihantui perasaan-perasaan itu sampai kapanpun. Rasa syukur mungkin satu-satunya hal yang setidaknya dapat meredam keduanya.

--

--