Ga ada judulnya, nanti diciduk.

The Rain
3 min readMar 30, 2017

--

Pada 7 Februari 2017 silam, Saya “mengkaji” sebuah drama cosplayer yang nampaknya tidak penting untuk dipermasalahkan. Kali ini, Saya akan membahas (atau curhat) tentang kasus pada foto BAPERWAVE.Apa sih yang terjadi? Kok jadi panas gitu masalahnya?

Akar dari masalah.

Mengenal apa itu “joke” dan permasalahannya.

“A joke is a display of humour in which words are used within a specific and well-defined narrative structure to make people laugh. It takes the form of a story, usually with dialogue, and ends in a punch line.” (Wikipedia, 2017)

Dalam penjelasan tersebut, jelas bahwa sebuah “joke” merupakan manifestasi dari sebuah cerita dengan beberapa struktur yang dapat membuat orang-orang tertawa. Yang jadi masalah saat ini adalah, apakah semua joke itu dapat diterima dalam khalayak umum? Tentu saja setiap orang memiliki selera humor yang berbeda-beda. Dalam kasus ini, admin PENAHAN RASA BERAK memilih joke sempit yang notabene tidak mudah diterima di khalayak umum (dalam kasus ini, rape joke). Pada saat itu juga, page Mengekspos Misoginis membuat keadaan yang sangat panas.

Joke sempit, bukan?

Telaah masalah yang terjadi.

(sumber : http://jolamble.com/wordpress/wp-content/uploads/2012/02/argue.jpg)

Justifikasi merupakan hal yang valid dilakukan. Memaparkan beberapa data faktual, serta memberi penjelasan mengapa joke tersebut tidak dapat diterima oleh netizen seluruhnya, jelas merupakan hal yang benar. Namun yang menjadi permasalahan adalah: Mengapa page tersebut menscreen-capture segala hal-hal yang dirasa membuat page tersebut membuat keadaan menjadi “Lihatlah! Mereka menyerangku!”?

Jika saya perhatikan baik-baik, kebanyakan perdebatan yang muncul dalam page tersebut tidak menawarkan solusi yang jitu, malah menggunakan ad-hominem sebagai senjata untuk melumpuhkan para troll, meski pada tingkatan yang tidak signifikan. “Tingkatkan selera humormu, pleb.” atau “Humormu gak lucu, pleb.” banyak ditemukan dalam komentar-komentar / post tentang joke ini. Seperti yang sudah saya sebutkan pada paragraf sebelumnya, parameter “lucu” tidaknya sebuah joke merupakan sebuah subyektifitas yang tidak dapat ditentukan. Memukul rata penggunaan rape joke di internet memang bukan hal yang bijak, namun hak apakah yang dapat menyuruh seseorang untuk meningkatkan selera humornya? Bukannya “tinggi” atau “rendah” itu merupakan sebuah subyektifitas juga? Lalu harus berbuat apa dong? Hal seperti ini hanya akan membuat masalah tidak berujung.

Saran penulis.

Sebagai netizen yang bijak, kita memang bebas untuk mengekspresikan berbagai hal yang terjadi, melakukan tindakan apapun, asalkan kita bisa bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan di internet. Hal ini pun berlaku pada tatanan kehidupan sehari-hari di dunia nyata. Dengan menggunakan joke yang bisa memicu beberapa pihak tertentu, maka yang menggunakan harus bertanggung jawab dengan sedang terjadi. Menganggap hal ini angin lalu, atau menanggapi hal ini dengan serius, itu semua keputusan yang melakukan, kita hanya bisa berdoa semoga keadaan makin membaik.

Kolom pribadi penulis.

Kenapa sih demen banget manas-manasin internet :/ maaf kalo menyinggung, tapi cuma heran aja sih. Saya percaya bahwa semua gender menanggung privilege dan penderitaan yang sama. Mengklaim bahwa “perempuan terus yang disalahkan” atau “laki-laki terus yang disalahkan” menurut saya itu hal yang kurang sreg untuk diucapkan. Toh, kita kan ga sepenuhnya tau apa yang dialami orang-orang (terutama di internet) yang sebenarnya.

Akhir kata, semoga laprak & jurnal kimia ini dapat dikerjakan dengan segiat mungkin.

Reihant, beberapa bulan lagi menjadi mahasiswa semester 3.

--

--