Victim Mentality, Narsistik yang Selalu Ingin Dimaklumi

Intan Aprilia
4 min readJan 22, 2023

--

“A person who believes he deserves special treatment because of how great he is isn’t so different from someone who believes she deserves special treatment because of how shitty she is. Both are narcissistic. Both think they’re special. Both think the world should make exceptions and cater to their values and feelings over others.”

Coy.

Kutipan dari buku Mark Manson berjudul Everything is F*cked: A Book About Hope ini adalah ‘Oh’ moment buat gue.

Masih ada lagi:

“Narcissistic will oscillate between feelings of superiority and inferiority. Either everyone loves them or everyone hates them. Everything is amazing, or everything is fucked.”

Terdengar familiar ya? Mungkin orang di sekitar kita ada yang seperti itu atau bahkan diri kita sendiri.

Merasa paling menderita, merasa dunia nggak adil, merasa nggak mampu, menyalahkan situasi dan orang lain, nggak mau berubah, nggak mau menerima masukan, kesulitan untuk melakukan refleksi diri, dan overall menghadapi dunia dengan sikap yang negatif.

Mereka juga biasanya kesulitan untuk ikut senang atas kebahagiaan orang lain, karena terbiasa dengan, “Lo sih enak, kalau gue kan…”

Itu semua adalah ciri victim mentality alias mental korban yang gue kutip dari WebMD.

Menghadapi orang dengan victim mentality

Photo by Imani Bahati on Unsplash

Gue pernah berteman dan bekerja dengan orang-orang bermental korban. Dulu belum ada label “playing victim”, gue cuma menganggap mereka sering komplain, mencari alasan, dan menyalahkan keadaan.

Namun, apakah mereka memilih untuk jadi orang seperti itu? Gue rasa nggak.

Mental korban biasanya merupakan bentuk respons atas kejadian di masa lalu. Itu adalah cara mereka melindungi diri supaya nggak makin tersakiti, karena mereka belum tahu caranya menghampiri dan mengobati luka tersebut.

Menghadapi orang seperti itu bisa jadi sangat melelahkan untuk kita, apalagi kalau harus berinteraksi setiap hari.

1. Berempati, tapi bukan untuk membenarkan tindakannya

Kita bisa mengerti bahwa tindakan-tindakan mereka merupakan bentuk perlindungan diri dari trauma masa lalu, berempatilah pada faktor tersebut.

Berempati bukan berarti kita memaklumi sikapnya, tapi seperti yang pernah gue tulis di tulisan ini, berempati akan membuat kita lebih tenang dalam memikirkan action plan selanjutnya.

2. Beri tahu sikap mereka yang bertendensi “playing victim”

Jangan secara terang-terangan menyebut mereka sedang “playing victim” di depan wajahnya. Hal itu malah akan membuat mereka merasa kita sedang menyerangnya, kondisi pun bakal makin berantakan.

Di kantor gue dulu, gue punya satu anggota tim yang merupakan the embodiment of victim mentality. Sangat passive aggressive, manipulatif, dan nggak mau mengakui kesalahan—boro-boro memperbaiki diri.

Gue pun point out kejadian-kejadian spesifik yang dia lakukan sebagai contoh dan memberi saran bagaimana cara terbaik mengatasi isu seperti itu.

Namun, siap-siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, ya. Soalnya, akibat kejadian ini gue sadar, memang nggak semua orang siap untuk diberikan masukan. Sebab, saran-saran itu malah berbalik pada gue.

Ketika gue menegurnya akibat unpleasant behavior-nya ke anggota tim lain, dia bilang, “Kan kemarin Intan bilang kalau aku harus ABCD, ya sudah jadi aku melakukan itu.”

Padahal maksud gue bukan itu. Namun, dia menginterpretasi dan memodifikasi saran gue untuk menguntungkan dia.

Cara nomor dua ini gue lakukan karena saat itu posisi gue adalah manager-nya. Jadi salah satu tanggung jawab gue adalah growth anggota tim gue.

Nah, kalau hubungan kita dan orang ini adalah pertemanan, cara ini cukup dicoba satu dua kali. Selalu berikan benefit of the doubt kepada setiap orang, tapi kalau lama kelamaan optimisme kita terhadap mereka malah membuat kita gila, lupakanlah.

Mereka nggak akan berubah hanya karena kita membantu memetakan masalahnya. Mereka harus menemukan jalannya sendiri.

3. Ciptakan boundaries

Jangan terlalu terikat secara emosional dan don’t try to fix them.

Gue pernah terjebak ingin menjadi “penyelamat”, lalu psikolog gue mengingatkan bahwa itu bukan tugas gue, itu adalah tugas mereka dan psikolognya (kalau mereka ke psikolog).

Saat ini, mereka nggak sedang mencari solusi, mereka hanya ingin komplain saja. Ketika kita menawarkan untuk bersama memikirkan jalan keluar, biasanya ada pola berulang yang mereka ucapkan, yaitu, “Iya sih, tapi…”

Ciptakan boundaries dengan mereka. Sesekali nggak masalah mendegarkan keluhan mereka, tapi jangan biarkan mereka menguras energi dan emosi kita.

Ini memang susah ketika berada di office setting, karena mau nggak mau kita bertemu dengannya setiap hari. Gue biasanya akan ubah topik pembicaraan kalau mereka sudah terlalu lama menceritakan penderitaan hidup mereka.

Kalau soal pertemanan, gue akan pelan-pelan menghindar dan mengurangi intensitas berkomunikasi dengan mereka.

Melepaskan hubungan dengan mereka kemungkinan besar akan membuat kita merasa bersalah, karena itu terjadi pada gue. Gue merasa gagal sebagai atasan, gagal sebagai teman. Apakah harusnya gue memberikan effort yang lebih untuknya? Apakah salah kalau sekarang gue sudah nggak memedulikan dia?

Sayangnya, gue bukan orang yang punya ketahanan diri sekuat itu. Melelahkan sekali bila harus selalu mengakomodasi orang-orang bermental korban. Mereka menuntut orang lain harus mengerti dan memaklumi, tapi nggak memberikan usaha yang sama pada orang lain.

Memang kadang cara terbaik untuk menghadapi orang dengan mental korban hanya dengan memberikan mereka waktu untuk sadar sendiri, tapi nggak perlu ditunggu, karena perjalanan mereka bisa jadi berlangsung lambat.

--

--

Intan Aprilia

banyak pikiran selama work from home. follow me on instagram @intanapriliaibr