#Minimalism Ada Keresahan Dibalik Gaya Hidup Minimalis

Thalita Jacinda
4 min readNov 29, 2017

--

Hi!

Melanjutkan cerita tentang gaya hidup minimalis di post sebelumnya (in case you haven’t read it, just visit here), kali ini saya akan bercerita tentang awal mula menjalani gaya hidup minimalis, yang mana dimulai secara tidak sengaja sekaligus ‘tanpa sadar’.

Sejak sebelum lulus kuliah, karena cuma mikirin skripsi, saya jadi punya lebih banyak waktu untuk memikirkan hidup, memikirkan masa depan, memikirkan tentang banyak hal di luar perkuliahan, termasuk hal-hal yang selama 4 tahun merantau kerap membuat ‘resah’.

Resah dalam artian, ‘I know I can do better with this’. Salah satunya adalah resah mengunakan kendaraan pribadi. Sebelum lulus, saya memang sudah malas pakai kendaraan sendiri dan memilih untuk nebeng sana-sini. (terima kasih sobat gaul kuliah yang udah mau memberi tumpangan). Resah di sini bukan tanpa sebab, melainkan karena pemikiran saya sudah cukup rumit tentang berkendara, terlebih seorang diri.

Saya resah memikirkan kapan harus isi bensin-bayar pajak-clean up-service, saya resah bahan bakar yang saya gunakan ternyata hanya untuk saya pakai secara pribadi, saya resah tidak bisa menyapa sekaligus kenal dekat dengan tetangga karena untuk pergi ke warung aja saya bergantung pada kendaraan, saya resah karena saya sudah ketagihan naik kendaraan umum, saya resah karena ternyata saya menikmati menjadi pejalan kaki, saya resah harus beradu dengan polusi kendaraan setiap harinya, dan saya semakin resah setelah menyadari kalau sayalah salah satu penyebab polusi itu ada. [sigh]

Karena keresahan demi keresahan terus berlanjut, saya memutuskan untuk tidak lagi memakai kendaraan pribadi. Sejak saat itulah saya mulai menyingkirkan satu per satu hal-hal yang membuat saya… resah.

Ada banyak lagi keresahan lain yang tidak saya lanjutkan di sini, tapi mungkin di lain kesempatan. Yang pasti ada beberapa hal lain yang setelah dipikir-pikir dan tanpa disadari mempengaruhi saya untuk menjalani gaya hidup minimalis ini.

Pesan-pesan yang membuat resah

Dari kecil bahkan hingga sekarang, Ibu seringkali berpesan:

“pakai barang itu sampai benar-benar rusak baru diganti” atau “kalau mau beli, pakai uang sendiri, nabung.”

Well, saya bukanlah anak yang bisa minta apa-apa terus langsung dikasih walaupun keluarga saya bisa dibilang sudah lebih dari berkecukupan.

Waktu kecil saya juga sempat berpikir, “kenapa ya aku gak seperti anak lain yang di dalam sinetron-sinetron? Apa-apa punya, apa-apa dibeliin.” LOL korban sinetron emang.

Tapi lama-lama saya bisa menerima dan belajar hal penting dari situ. Saya jadi bisa menabung dan setidaknya beli handphone selalu pakai uang sendiri.

Begitu juga Bapak. Waktu nonton hollywood di rumah, Bapak pernah bilang:

“Lihat, orang bule aja pakai pakaian begitu (santai), tapi kita (orang Indonesia) kalau ketemu orang lain harus pakai pakaian rapi, bersolek, malah waktu menghadap Tuhan (ibadah) pakai pakaian jelek.”

Jleb.

Ada banyak lagi pelajaran dan pesan-pesan terutama dari orangtua saya tentang hidup sederhana dan gak neko-neko.

Anak rantau = Master of life-hack

Selain kebiasaan yang diajarkan orangtua sejak kecil, menjadi anak rantau bikin saya jadi master dalam hal per-life-hack-an. Mengubah sesuatu yang sulit jadi lebih mudah dan melihat banyak hal yang tidak mungkin jadi mungkin. Dan ini ternyata jadi hal penting dalam membangun mindset minimalist lifestyle.

Merantau pada awalnya membuat resah. Tapi, tinggal jauh dari keluarga itu bisa dibilang masa-masa serba kepepet yang kasih banyak pelajaran berharga. Bahkan sejak kuliah, entah kenapa isi kepala saya yang suka nyeleneh ini bisa berprinsip ‘aku gak apa-apa hidup susah sekarang mumpung masih kuliah, biar bisa sekalian belajar tentang rasanya jadi rakyat jelata.’

Well, mungkin ini berlebihan. Rakyat jelata yang saya maksud di sini itu lebih ke mandiri, kayak nyuci baju sendiri, belajar urus rumah sendiri, sampai ke mana-mana sendiri.

Kenapa saya menyebutnya rakyat jelata?

Karena selama 16 tahun tinggal seatap dengan keluarga, saya merasa hidup bak putri raja. Pakaian dicuciin, makan minum disediain, rumah dibersihin, sementara saya tinggal tidur dan ongkang-ongkang kaki.

Saat di perantauan, semua itu berubah 360 derajat dan lucunya saya melihat itu sebagai sebuah tantangan yang menyenangkan. What a brand new life, putri raja vs rakyat jelata.

Tapi, demi meminimalisir tugas dan urusan rumah tangga sebagai ‘rakyat’ (alias gak mau ribet), saya berusaha menyingkirkan hal-hal yang rumit di dalam hidup dan lama kelamaan hal itu terus berlanjut. Percayalah, pernah merakyat akan membuat kita lebih tahu diri.

Beberapa keresahan-keresahan yang pernah terjadi di hidup saya tersebutlah yang mengantar saya pada gaya hidup ini sekaligus membuat saya tidak mengalami banyak kesulitan dalam menjalaninya.

So, masih banyak hal yang ingin saya bahas tentang gaya hidup ini, but for now, cukup sekian dulu. Semoga menginspirasi ☺

Tulisan saya soal minimalis: https://thalitajacinda.com/

--

--