Di saat wilayah wilayah dan kota kota masih terjangkit ‘penyakit’ yang mematikan yang bukan hanya satu, namun bermacam macam penyakit mematikan, eh ternyata calon dokternya juga kena penyakit, kamu, iya kamu mahasiwa perencana di Indonesia yang nama kerennya sih planner. Kalau calon dokternya nya aja penyakitan, terus yang ngurusin pasiennya nanti siapa?
Suatu awalan paragraf yang bisa teman teman mahasiswa perencana jawab dalam sanubari masing masing syukur syukur muncul pertanyaan, “emang penyakit apasih?”
Selama kurang lebih 3 tahun saya menjadi mahasiswa perencana di Indonesia saya melihat terdapat fenomena dimana mahasiswa perencana terjangkit penyakit excusitis atau dapat dikatakan penyakit berdalih akan sesuatu yang membuat mahasiswa perencana merasa kurang percaya diri dan kurang confident akan keilmuan maupun keprofesiannya baik karena substansi perkuliahannya, umur keilmuannya, jatidirinya sebagai jurusan ke-teknikkan, ranah kerja, ketahuan masyarakat luas akan jurusan PWK atau planologi, dll. Di saat profesi ini semakin dibutuhkan di tengah tengah permasalahan perkotaan yang ada saat ini, malah dalih dalih ini terasa semakin mengakar di tengah tengah mahasiswa perencana di Indonesia yang membuat mahasiswa perencana tidak berani bergerak dan tidak berani melakukan aksi.
Setidaknya terdapat 3 dalih yang akan saya bahas satu persatu yaitu dalih intelegensi, dalih usia, dan dalih nasib. Ketiga dalih ini seakan menjadi tameng bagi para mahasiswa perencana untuk malas bergerak bahkan syukur syukur melakukan aksi atau kajian padahal para profesional perencana yang telah lama berkecimpung di dunia perencanaan wilayah dan kota menunggu aksi dan suara suara mahasiswa perencana dalam mengkritisi isu isu perkotaan yang semakin marak di tengah tengah masyarakat di bumi Indonesia kita ini.
1. Dalih Intelegensi “Kami kurang Cerdas”
Terdapat beberapa statement yang mungkin kita sadari seperti “ah jurusan kita kan sepi peminat”, “ah jurusan pwk kan gampang masuknya”, “jurusan kita kan gampang dapet ip 3 nya”, atau “kita kurang teknik yah, gadapet fisika dasar, gadapet gambar teknik gitu gitu” yang terus beredar ditengah tengah mahasiswa perencana yang mungkin sama sama kita sadari statement-statement tersebut muncul disaat kita menjadi mahasiswa baru di universitas/institut kita masing masing yang akhirnya membentuk suatu rasa pesimisme dan ‘minder’ dalam mengawali kehidupan kita sebagai mahasiswa perencana. “iya emang gak salah, tapi ya gabener juga”, malah dalam 5 tahun terakhir keingintahuan masyarakat akan dunia tata kota semakin meningkat. Sudah banyak bermunculan LSM, NGO, maupun CBO dengan tujuan yang kurang lebih sama yaitu menciptakan kota/ wilayah yang lebih baik, sebut saja nama nama seperti ‘petarung’ di Jogjakarta, ‘komune rakapare’ di Bandung dan Surabaya, ‘Kota Kita’, ‘IYMM (Indoesia Youth Meeting Movement)’, ‘Mata Kota’ di Surabaya, dan lain lain merupakan contoh dari banyak organisasi yang tidak jauh jauh dari ranah keprofesian kita. Selain itu juga juga banyak bermuculan tokoh tokoh perkotaan yang hadir seperti Pak Ridwan Kamil di Bandung maupun Ibu Tri Risma di Surabaya yang cukup teruji menyelesaikan permasalahan permasalahan di kota nya masing masing. Bukan hanya tokoh tokoh politik, sudah banyak terobosan terobosan serta temuan temuan dosen maupun aktivis PWK yang dapat menyelesaikan permasalah permasalahan kota saat ini baik melalui pengaplikasian ilmu ataupun pengembangan ilmu keprofesian PWK. Side event di prepcom3 UN Habitat yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu seakan menjadi contoh konkret betapa masifnya gerakan organisasi organisasi di seluruh dunia tentang betapa pentingnya ilmu keprofesian kita.
2. Dalih Usia “ Kami masih terlalu muda/tua “
“Ah jurusan PWK/Planologi masih muda, wajar keilmuannya kurang diperhatikan”, “keilmuan kita masih muda, masih kalah lah sama jurusan jurusan senior kita seperti teknik sipil, arsitektur, dll”, “iyasih mulai banyak yang sadar, tapikan baru 5 tahun terakhir, masih terlalu dini lah”. Penyakit karena tidak merasa berada pada usia yang tepat, muncul dalam 2 bentuk yaitu, “saya terlalu muda” dan “saya terlalu tua”. Nah kasus serupa juga terjadi ditengah tengah mahasiswa perencana di Indonesia. Dengan penyakit ‘merasa’ masih muda, merasa belom waktunya untuk aksi, merasa belum capable untuk banyak bicara ditengah tengah kemahasiswaan yang keilmuannya sudah lebih ‘tua’ diakui keberadaannya, lalu kalau nunggu lebih tua, mau sampai kapan? Mau kapan implementasinya? Tidak akan ada seorang anak bungsu akan menjadi anak sulung bahkan ketika si anak sulung pun tiada. Ayo para birokrasi sudah menunggu pergerakan kita, teringat akan perkataan pak Bernardus, salah satu pengurus di IAP pusat pada saat seminar bertajuk “Young Planner Talk” di Jakarta beberapa waktu lalu yang menyayangkan mahasiswa PWK yang tidak bergerak di saat isu isu keprofesian yang kian memanas seperti reklamasi di Jakarta, Tanjung Benoa di wilayah Bali, maupun reklamasi di bumi Makassar yang beberapa waktu lalu diutarakan pak Idam salah satu aktivis “Lestari” yang saya temui di UN Habitat lalu. Jangan jadikan umur sebagai ‘tameng’ untuk tidak bergerak. Birokrasi butuh penyeimbang, birokrasi merindukan suara yang katanya calon perencana di masa depan, apa perlu calon perencana Indonesia di masa depan di impor juga sama halnya seperti sapi yang beberapa waktu lalu diimpor besar-besaran?
3. Dalih nasib “sudah hakikatnya kita digariskan seperti ini”
“Tapi mahasiswa / calon profesional kita tuh lain, pokoknya di PWK apa apa tuh nanggung”, “abisnya keilmuan PWK tuh seluas samudera tapi secetek mata kaki”, “ fokusan kita gajelas, gakayak jurusan jurusan lain, jadinya bingung gimana geraknya.”
Saya ingin mengawali pembahasan dalih ini dengan mengutip kata kata David J. Schwartz dalam bukunya berjudul “the Magic of Thinking Big” yang berisi “ada sebab untuk segalanya.” Tidak ada kebetulan mengenai keilmuan PWK yang kita dapat atau yang akan kita pelajari. Kalau saya boleh mengutip kata kata temen sejawat saya dari institut di sebelah barat Indonesia sana yang berkata “tidak ada kebenaran yang kebetulan.” Beberapa kutipan dalih nasib diatas seakan menjadi momok tersendiri bagi mahasiswa perencana untuk membuat dirinya kurang percaya diri terhadap keilmuan maupun keprofesian perencana. Padahal dengan luasnya substansi yang kita miliki, semakin banyak sudut pandang kita untuk menilai maupun menyelesaikan permasalahan perkotaan di negeri ini. Mungkin kata ‘menyelesaikan’ terlalu dini bagi kita mahasiswa, tapi kita bisa mengkritisi isu isu tersebut agar birokrasi maupun stakeholder lainnya dapat terbantu dengan sudut pandang mahasiswa yang katanya wakil dari kaum ”grass root” tersebut.
Pada akhirnya itulah beberapa dalih yang saya lihat dan saya amati selama saya menjadi mahasiswa perencana di Indonesia. Sangat miris sebenarnya ketika dalih dalih ini terus mengakar di tengah tengah mahasiswa perencana di Indonesia, maka dari itu saya mengajak teman-teman mahasiswa perencana di Indonesia untuk memutuskan mata rantai dalih-dalih yang melemahkan pikiran kita para perencana sukses di masa depan. Sudah tidak ada lagi waktu untuk berdalih karena negeri ini butuh pergerakan kita, butuh aksi kita, butuh analisa kritis dari sang mahasiswa perencana. Menurut Prof. Jo Santoso terdapat 3 pilar yang membuat kota di Indonesia akan tidak harmonis yaitu privatisasi, komersialisasi, dan komodifikasi. 3 pilar ini membuat wilayah maupun kota kota di Indonesia akan semakin tidak harmonis, celakanya 3 pilar ini semakin masif dilakukan para developer yang mementingkan kepentingan pribadi. Kita mahasiswa harus segera mengambil sikap, harus segera mengaplikasikan dan mengimplementasikan peran fungsi mahasiswa yang katanya agent of change dan iron stock tersebut. Ayo teman teman mahasiswa baru perencana sebarkan vaksin vaksin ini agar tidak ikut tertular, ayo teman teman mahasiswa perencana bersama memutuskan rantai penyakit excusitis ini.
Jadi, masih berdalihkah kita mahasiswa perencana ?
-Joshua Argentino Tampubolon-
-PWK ITS 2013-
-3/8/2016-
https://medium.com/@joshuatino/kota-pahlawan-tanpa-tanda-jasa-1ffea11e4b24#.k43c0x1p1