Kota, “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”

Joshua
4 min readAug 8, 2016

--

source: suntingan pribadi, loc: Dinas Penataan Kota DKI Jakarta

Pahlawan tidak harus berjubah layaknya superman maupun batman, pahlawan tidak harus meruntuhkan gedung-gedung tinggi, membelah gunung untuk menyelamatkan objek lainnya . Siapa saja bahkan apa saja bisa jadi pahlawan. Secara umum pahlawan tanpa tanda jasa ialah pahlawan tanpa pamrih, melakukan suatu hal dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
“Guru pahlawan tanpa tanda jasa”, merupakan rangkaian kata-kata yang menginspirasi saya dalam menulis artikel ini, yang mana guru saya semasa SD mulai meragukan statement tersebut. Kemudian saya sadar betapa kota yang kita pijak, kota yang tempat kita tumbuh tak pelak bak seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak, saya tidak membicarakan Kota Surabaya dengan julukannya sebagai “Kota Pahlawan”, saya membicarakan kota-kota di Indonesia yang tak henti-hentinya di eksploitasi oleh orang orang jahat. kita tidak akan membahas developer, yang setiap proyek pembangunannya selalu dianggap tidak pro rakyat, kita tidak akan membicarakan para birokrasi eksekutif yang setiap kebijakannya dianggap tidak pro rakyat, kita tidak akan membicakan para birokrasi legislatif yang setiap aturannya selalu dianggap tidak pro rakyat, orang-orang jahat yang akan kita bahas ini adalah sosok yang selama ini diberi pangkat ‘rakyat’. Kita, iya, kita yang setiap hari dengan ringan tangannya membuang sampah sembarangan, kita, iya, kita yang setiap harinya dengan tanpa rasa bersalah memijakkan ban kendaraan kita diatas zebra cross saat lampu merah, dan lain sebagainya.
Seakan terlarut akan hegemoni kata ‘merdeka’ yang akan kita sama-sama ulangi ke-71 kalinya saat tanggal tujuh belas Agustus nanti, tak sadarkah kita bahwa, ‘sang pahlawan’ tanpa tanda jasa juga suatu ‘hak asasi perkotaan’? butuh kemerdekaan? Sadarkah kita, bahwa kota yang kita pijak adalah cerminan kita, masyarakat yang beraktivitas didalamnya?

Kota, the ‘Artificial Nature’ of Human?
Dalam presentasinya dalam seminar acara ‘Urban Social Forum’ di Surabaya, seorang profesor mempresentasikan suatu topik menarik, yaitu ‘the origin of city’, dimana dalam presentasinya beliau menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara human dan artficial nature, atau yang kita sebut sebagai kota saat ini. Beliau menjelaskan bahwa artificial nature terbentuk ketika manusia keluar dari alam, membatasi diri, dan membuat space dan place sendiri sesuai dengan keinginannya

Kota, the manifestation of it’s Citizen?
Saya ingin mengawali pembahasan ini dengan membuka sejarah perkotaan didunia. Kota-kota abad ke-11 sampai abad ke-13 tumbuh untuk kepentingan kegiatan perdagangan masyarakatnya (contoh, Kota Paris, Perancis yang tumbuh menjadi pusat perdagangan dunia), kota pada masa renaissance yang terbentuk berdasarkan pemikiran-pemikiran rasional masyarakatnya pada saat itu (contoh, Kota Lingkaran oleh Frater Gioconda), kota Industri yang diawali oleh Kota London, Inggris, Kota Taman yang dicetuskan oleh Ebenezer Howard akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kota-kota industri. Dari contoh-contoh tersebut bisa kita lihat bahwa kota-kota di Indonesia mengalami hal-hal serupa yang tanpa kita sadar terbentuk akibat perbuatan jahat para penduduk kotanya. Sebut saja Jakarta yang terkenal dengan sampahnya, yang mana menurut data pemprov DKI Jakarta terdapat 6000 ton sampah yang bertebaran di kota yang masih memegang ‘mandat’ sebagai ibukota negara Indonesia ini. Atau Kota Bandung yang akhir akhir ini kehilangan jati diri aslinya yang mana terlalu banyak branding kota yang dilakukan walikotanya, yang alasannya sih, supaya branding tersebut menjadi cita-cita dimasa depan.
“Lah, kan, saya gabuang sampah”, “Lho,kan, bukan saya yang branding”, “Ya, kan, tapi…”, “Hmm, yang penting gangaruh ke saya”, “Ah, saya gamerasa tuh,” dan masih banyak lagi alasan yang mungkin muncul dipikiran pembaca saat ini. Teringat kata-kata sang Mendikbud yang baru saja beberapa pekan lalu dicopot dari jabatannya berkata demikian, “ Kita memiliki masalah itu bukan karena semata orang jahat banyak, tapi juga karena orang-orang baik yang ada hanya diam dan mendiamkan kejahatan terjadi.” Kita memang baik-baik sampai kemudian kita juga melihat fakta ini, bahwa masyarakat perkotaan telah melakukan suatu kejahatan, kejahatan terhadap kotanya sendiri. Lantas, jika memang bukan kita pelakunya, apa kita tidak mau menyebarkan ‘virus-virus’ baik tersebut kepada orang lain? Yuk mari sama sama kita pahami bahwa sejatinya kota tidak akan semakin baik jika didalamnya hanya terdapat segelintir orang baik, tapi kota akan semakin baik jika didalamnya terdapat segelintir orang baik dan sadar untuk menyadarkan sesamanya rakyat kota. Jadi, kota pun butuh kemerdekaan, kota butuh aksi nyata kita masyarakat didalamnya. Jika sejarah satu satunya penghargaan yang didapatkan oleh ‘seorang’ kota, apa kita tega kota kita terkenang oleh sejarah dengan branding kota sampah’, ‘kota tak beridentitas’, kota ‘tak layak anak’, dan sebagainya. Kita jangan menunggu mahasiswa perencana sembuh dari penyakitnya, hai mahasiswa yang sampai saat ini disematkan fungsi sebagai agent of change, sudah siapkah kita menegakkan ‘hak asasi perkotaan’ tersebut?

-Joshua Argentino Tampubolon-
-PWK ITS-
-8/8/2016-

https://medium.com/@joshuatino/calon-perencana-kota-indonesia-terjangkit-penyakit-excusitis-1af4218bc329#.gs0o2i769

--

--