Guys, let me tell you, “Gak harus British English kok!”
“Bukan t tapi t. Jadi bilangnya three houses bukan three houses”
Kurang lebih seperti itu percakapan yang kami simak di kelas Phonology 10 tahun yang lalu. Terlahir sebagai penutur bahasa Jawa, kami merasa kesulitan untuk menutup “aib” ketika harus berkomunikasi dengan bahasa lain. Medok yang sempat kami anggap aib ini sangat kentara ketika kami berbicara dalam Bahasa Indonesia meskipun banyak kemiripan dari dua bahasa ini mulai dari kosa kata, intonasi, dan pelafalan. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya kami, penutur bahasa Jawa medok, belajar untuk berbicara dalam Bahasa Inggris yang memiliki banyak sekali perbedaan dengan bahasa asli kami.
Belakangan ini, jamak ditemui iklan yang menawarkan pembelajaran bahasa inggris yang menjanjikan capaian kemampuan aksen seperti native speaker dalam waktu yang cukup singkat. Sebagai anak medok, tentunya ini adalah tawaran yang menggiurkan mengingat perjuangan kami untuk sedikit mengurangi kemedokan ini belum berakhir meski sudah belajar bahasa inggris selama lebih dari dua dekade. Tren yang muncul seakan-akan membangun persepsi bahwa belajar Bahasa Inggris harus terdengar seperti Ratu Elizabeth atau tokoh-tokoh Harry Potter.
Dulu, kami memiliki obsesi yang mungkin sama dengan sebagian besar orang, yakni mampu berbicara seperti orang Inggris dengan menghilangkan semua bunyi “r” di setiap kata yang berakhiran dengan huruf “r” seperti mother, water, flower, dan sebagainya. Belakangan, kami sadar bahwa bahasa inggris lebih dari sekadar pelafalan ala serial Peaky Blinders, tapi bagaimana pesan bisa disampaikan dengan tepat. Mungkin ini sebuah pengakuan bahwa kami gagal menghilangkan identitas medok; tetapi kami meyakini bahwa banyak aspek lain yang harus terpenuhi untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris, seperti penggunaan kosa kata dan tata bahasa yang tepat, pelafalan yang jelas, dan penyampaian ide yang koheren. Yang tidak kalah penting adalah spontanitas dalam berbahasa: apakah kami bisa terlibat secara aktif dan interaktif di situasi yang mengharuskan kami berbahasa Inggris.
Pastinya akan ideal sekali apabila cita-cita memiliki aksen (yang dianggap seperti) British ini tercapai, tapi mengingat banyak sekali aspek-aspek standar dalam berkomunikasi, elokkah apabila misi yang dijadikan patokan hanya terpaku pada “supaya terdengar seperti orang bule asli?”.
Pengajaran Bahasa Inggris telah mengalami perkembangan dalam metode-metode atau pendekatan pembelajarannya, contoh pergeseran dari metode ALM (Audio-Lingual Method) ke CLT (Community Language Teaching) atau CLL (Communicative Language Learning). Melihat sejarahnya, metode ALM bertujuan untuk meningkatkan komunikasi lisan. Namun, setelah dikaji, metode ini kurang menekankan pada aspek-aspek interpersonal dalam komunikasi, sehingga bahasa yang dihasilkan terdengar tidak alami. Salah satu teknik yang digunakan guru di kelas adalah memberikan teks dialog dan pembelajar diminta untuk membaca dan mempraktikkan dialog tersebut. Tentunya dengan materi dan metode semacam ini, serta pengulangan yang dilakukan secara rutin, pembelajar bahasa akan mampu mengingat rangkain frasa atau kalimat yang ada dalam dialog tersebut; dan apabila kebetulan pengajar menekankan pembelajaran pada aksen tertentu, pembelajar akhirnya mampu memperoleh aksen yang diajarkan. Sayangnya, karena kurangnya konteks dan keterkaitan dengan tujuan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, maka pembelajar tidak bisa menransfer apa yang sudah dihafal di dalam kelas untuk berkomunikasi secara spontan. Hal inilah yang menjadikan metode ini kemudian sedikit demi sedikit ditinggalkan dan hanya digunakan pada situasi pembelajaran yang membutuhkan “drilling”. ALM memiliki unsur yang berpusat pada aktivitas seperti mimicry, memorization of set phrases, dan overlearning yang menyebabkan metode ini memiliki kemiripan dengan keinginan untuk menjadi seperti bule asli. Obsesi ini bisa jadi merupakan warisan dari pelaksanaan pembelajaran ALM karena metode ini menekankan pada capaian pronunciation dan adanya tendensi untuk memanipulasi bahasa dan menomor-duakan konteks (Larsen-Freeman, 2000).
Pelafalan (pronunciation) dan akses (accent) adalah dua hal yang sering dianggap sama atau dua istilah ini saling menggantikan, namun secara linguistik, pelafalan dan aksen memiliki perbedaan yang cukup jelas. Pelafalan terkait erat dengan artikulasi yakni bagaimana kata dilafalkan, jeda, tempo, dan intonasi diberikan, serta bagaimana suku kata ditekankan. Sementara aksen merupakan pelafalan khas yang terkait erat dengan identitas sosial tertentu. Preferensi dan keinginan untuk bisa berbicara dalam satu aksen Bahasa Inggris tertentu boleh saja namun yang lebih penting dari pada aksen adalah pelafalan.
Sebagai orang Jawa, medok bukan penghalang untuk berkomunikasi dengan jelas selama kita mampu memenuhi standar-standar pelafalan. Dan apabila menjadi seperti bule adalah sebuah obsesi yang sehat, mengapa riset lebih cenderung menganjurkan pembelajaran bahasa yang berbasis konteks, bukan ke pembelajaran yang menekankan kefasihan dan keglamoran satu aksen tertentu?
Catatan tambahan:
Jika teman-teman adalah pengajar Bahasa Inggris, sangat penting untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang bagaimana kita melafalkan kosa kata tertentu sesuai dengan standar pelafalan. Misal pada kalimat yang kami tulis di awal: “Bukan t tapi t. Jadi bilangnya three houses bukan three houses”
Pelafalan yang seharusnya untuk Three houses adalah /θri:/ /haʊzɪz/
Kami melafalkan Three houses sebagai /tri://haʊsis/.
Terdapat beberapa kesalahan pelafalan kalimat tersebut:
untuk bunyi /θ/ pada kata three [bunyi “t” yang saat itu kami ucapkan bahkan tidak memenuhi bunyi /t/ yang merupakan plosive sound, tetapi /t/ standar bunyi bahasa Jawa atau bahasa Indonesia yang tidak menghasilkan letupan udara saat bunyi dihasilkan
untuk bunyi /s/ pada kata houses seharusnya dilafalkan dengan /z/ sound pada bentuk jamaknya.
/t/ plosive (voiceless)
/θ/ fricative (voiceless)
Reference:
Larsen-Freeman, D. (2000). Techniques and principles in language teaching. Oxford: Oxford University Press.
About the Authors:
Febriana Lestari serves as an ESL/EFL instructor specialized in adult learners. Ahmad Affandi works for the ELT content of an edutech company.