Perjalanan Menantang Himalaya (Bagian 1: Pada Awalnya)

Rizal Ramadhan
6 min readFeb 11, 2018

--

Namaste, ini adalah tulisan pertama dari beberapa seri tulisan saya tentang pengalaman tak terlupakan trekking di Himalaya dan mencapai Everest Base Camp di bulan Januari 2018 lalu. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca dan semoga bermanfaat!

Semuanya bermula di satu malam beberapa hari setelah hari ulang tahun ke-25 saya di bulan April tahun 2017 lalu. Saat itu sudah pukul dua pagi, namun entah kenapa sangat sulit untuk tidur.

“Adakah satu momen selama dua puluh lima tahun belakangan yang bisa saya banggakan kelak?”

Jawabannya: not really.

Beberapa menit kemudian, saya berakhir membuka album-album foto lama di Facebook dan menghabiskan waktu melihat kembali kenangan saat masih berseragam sekolah, saat masih aktif bermain musik, saat masih sibuk dengan tugas-tugas kuliah. Waktu berlalu sangat cepat. Rasanya masih seperti kemarin saya mengalaminya.

Time flies.

Kemudian saya membuka album yang berisi foto-foto pengalaman mendaki gunung bersama teman-teman terdekat. Seketika saya rindu akan adrenalinnya, sensasi tidur di atas tanah yang keras, menggigil kedinginan, kehujanan, kepanasan, masuk angin, dan segala ketidaknyamanan jauh dari genteng rumah yang aman dan kokoh.

Saya kemudian melihat ini adalah sebuah kebutuhan lahir dan batin. Saya perlu berada di luar sana kembali karena saya sadar sedang dilanda kebosanan yang sebosan-bosannya.

Saya bosan dengan macetnya Jakarta. Saya bosan dengan brief pekerjaan yang itu-itu saja. Saya bosan dengan playlist-playlist di Spotify. Saya bosan dengan ayam geprek. Pada akhirnya, saya bosan dengan keputusan-keputusan yang saya ambil tiap hari untuk mengatasi semua kebosanan ini.

Tapi, mau ke mana, ya?

Mendaki Merapi (atas) di tahun 2015 dan Arjuno (bawah) di tahun 2011.

“Himalaya!” celetuk saya, dalam hati.

“Gila! Mati, woy!”

“Mati yaudah, sih”

“Tapi ke mana? Himalaya luas.”

“OK, Everest Base Camp.”

Kenyataan bahwa saya malam itu akhirnya bisa tidur dengan nyenyak nyatanya sama sekali tak membuat esok harinya lebih baik. Saya bangun dengan perasaan gelisah. Letupan ide tentang trekking ke Everest Base Camp tadi malam perlahan berubah menjadi obsesi yang mulai lengket di kepala.

Selama beberapa minggu tidur saya tak nyenyak karena sibuk berpikir. Berangkat atau tidak? Berangkat atau tidak? Berangkat atau tidak?

Ok, berangkat!

Bagaimana cara menuju ke Everest Base Camp?

Terdapat dua rute pendakian populer menuju puncak Everest, yakni melalui Tibet (North Face) dan Nepal (South Face). Ini berarti terdapat pula dua base camp yang berbeda.

Setelah membaca banyak informasi, trekking ke Everest Base Camp melalui Tibet ternyata cukup rumit lantaran saya harus siap berurusan dengan banyak birokrasi perizinan. Namun bagi Anda yang tidak ingin trekking terlalu susah, pilihan ini jadi lebih masuk akal. Everest Base Camp di Tibet dapat dicapai dengan menyewa jeep dan berkendara selama tujuh hari, ditambah satu hari trekking yang mudah.

Tetapi jika Anda tengah haus petualangan, serta mengetahui fakta bahwa Anda akan terbang dari Kathmandu dan mendarat di salah satu bandara paling berbahaya di dunia (Tenzing-Hillary Airport, Lukla), berjalan kaki sejauh kurang lebih 130 kilometer selama 12 hari, dan menghadapi risiko kematian terserang Altitude Mountain Sickness sama sekali tidak membuat nyali Anda ciut, maka trekking ke Everest Base Camp via Nepal adalah pilihan yang cocok. Saya memilih jalur ini.

Pergi sendiri atau menggunakan jasa operator tur?

Awalnya, saya berniat trekking sendirian dan memilih acuh soal bahaya yang akan senantiasa berada di sekeliling saat berada di jalur trekking. Namun pada akhirnya saya sadar tengah bersikap sangat arogan terhadap diri sendiri. Saya sadar ini akan menjadi kali pertama menjejakkan kaki di barisan pegunungan paling tinggi sejagat yang membentang sepanjang lima negara (Pakistan, India, Bhutan, Tiongkok, dan Nepal) dan perjalanan ini mustahil tanpa risiko.

Saya pun memilih menggunakan jasa operator tur.

Setelah berminggu-minggu mencari, akhirnya saya menemukan sebuah agensi perjalanan di Jakarta yang bekerjasama dengan operator tur lokal, yang menawarkan open trip backpacker ke Everest Base Camp selama 16 hari 15 malam dengan biaya tak lebih dari $1.300 untuk keberangkatan awal bulan Januari 2018. Biaya tersebut sudah termasuk tiket return penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur-Kathmandu, tiket return penerbangan Kathmandu-Lukla, pengurusan izin trekking (TIMS), tiket masuk Sagarmatha National Park, serta tranportasi sekaligus akomodasi selama perjalanan. Cukup terjangkau, bukan? Kendati demikian, ternyata saya masih harus membayar biaya-biaya lain seperti visa, asuransi perjalanan, membeli perlengkapan dan obat-obatan, serta menyiapkan uang saku. Detilnya akan saya tulis di bagian lain dari seri catatan perjalanan ini.

Haruskah saya mulai melatih fisik?

Selesai mendaftarkan diri, saya masih mempunyai beberapa bulan untuk mempersiapkan kebutuhan lain, termasuk melatih fisik. Tetapi, saya mengabaikan. Ya, Anda tak salah baca.

Sebenarnya, bukan tanpa alasan mengapa saya tak melakukannya.

Pertama, saya (lagi-lagi) yakin bisa. Sensasi mind over body? Mungkin. Meskipun jarang berolahraga, tetapi saya selalu merasa cukup bugar untuk kegiatan-kegiatan luar ruang.

Kedua, melakukan persiapan fisik tidak menjamin Anda bebas dari serangan Altitude Mountain Sickness. Kuncinya adalah tubuh Anda harus teraklimatisasi dengan baik di ketinggian. Melakukan persiapan fisik juga tidak berarti badan Anda akan bebas dari rasa sakit sama selama trekking. Nyeri di sekujur tubuh adalah sebuah kepastian.

Kekhawatiran saya hanya ada pada kebiasaan merokok. Setiap hari, saya bisa menghabiskan satu bungkus. Ini tentu tidak baik karena akan banyak mempengaruhi pernafasan dan kecepatan saya berjalan (dan benar terjadi). Satu bulan terakhir sebelum keberangkatan, saya pun memutuskan untuk puasa merokok. Saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak merokok sampai saya tiba kembali di Kathmandu, setelah menyelesaikan seluruh kegiatan trekking.

Terlambat? Saya tidak peduli. Saya tetap melakukannya.

Satu bulan sebelum keberangkatan.

Hari keberangkatan tinggal satu bulan lagi. Pihak agensi perjalanan menggelar pertemuan teknis dan mengundang seluruh anggota grup trekking untuk melakukan check-list bersama sebelum berangkat di Lotte Shopping Avenue, Kuningan, Jakarta Selatan.

Saya bertemu Mbak Anet dan Mas Osa, sebagai perwakilan dari operator tur sekaligus pemandu yang akan menemani para peserta pendaki Everest Base Camp. Kemudian saya berkenalan dengan para peserta yang lain: Pak Wunwun, Pak Anton, Mbak Youke, Mas Debi, dan Mas Yadi. Anggota lain adalah Pak Freddy yang berhalangan hadir lantaran tempat tinggal yang jauh, Kota Malang. Untuk pertama kalinya kami bertemu muka setelah berbulan-bulan bercakap hanya lewat grup Whatsapp.

Dari kiri ke kanan: Mbak Anet, Mas Osa, Mbak Youke, Pak Anton, Mas Debi, Pak Wunwun, saya, dan Mas Yadi.

Setelah saling mengobrol, tampaknya saya adalah anggota termuda, dengan kata lain yang paling minim pengalaman. Pak Wunwun adalah Presiden Direktur sebuah perusahaan konsultan dan pialang asuransi di Jakarta yang hobi naik gunung dan pernah aktif sebagai atlet gantole. Mas Yadi adalah summiter Gunung Fuji di Jepang dan beberapa puncak tertinggi Indonesia. Pak Freddy adalah teman mendaki gunung Pak Wunwun dan seorang dokter gigi. Mas Debi adalah seorang pengusaha dan pelanglang buana sejati yang sudah keliling Eropa. Pak Anton adalah seorang atlet lari yang pernah mencoba keberuntungannya menggapai Everest Base Camp di tahun 2013, namun gagal akibat terserang AMS dan terpaksa harus dievakuasi menggunakan helikopter. Jelas orang-orang ini tahu apa yang mereka lakukan.

Saya sempat ciut nyali mendengar cerita Pak Anton tentang ganasnya cuaca di Himalaya. Apalagi kami akan berangkat di musim dingin. Mas Osa yang di bulan Oktober sebelumnya mengantarkan beberapa klien ke Annapurna Base Camp mengatakan suhu di Himalaya bisa mencapai minus 10–15 derajat celcius. Saya tak henti menelan ludah sampai mual malam itu.

Sesaat terbesit niat untuk membatalkan perjalanan ini.

Saya sepertinya tak benar-benar paham ke mana hendak membawa diri.

Punya pertanyaan seputar pengalaman saya trekking ke Everest Base Camp? Boleh sekali kita bercakap via email. Semoga beruntung dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

--

--