Perjalanan Menantang Himalaya (Bagian 2: Kathmandu yang Syahdu)

Rizal Ramadhan
6 min readSep 10, 2018

--

Kuningan, Jakarta Selatan
5 Januari 2018 (21.25 WIB)

“Mas, mau naik gunung ya? Gunung mana? Saya dulu waktu muda juga suka naik gunung, lho” kata bapak pengemudi ojek daring yang saya tumpangi dari rumah kost menuju Stasiun BNI City.

Saya tengah khawatir ketinggalan kereta terakhir menuju bandara malam itu. Tak hentinya saya memandangi jam tangan yang telah menunjukkan pukul 21.25. Itu artinya, saya hanya punya 20 menit untuk sampai di stasiun.

Jika tidak…

“Eh, maaf, Pak. Ehm, anu, mau ke Nepal,” jawab saya terbata-bata, sadar mendiamkan pertanyaannya beberapa detik.

“Hah? Nepal? Itu di mana, Mas? Itu nama gunungnya?” tanyanya lagi.

“Bukan, Pak. Itu nama negara, deket India. Pak, maaf bisa ngebut sedikit, nggak? Saya buru-buru nih,” kata saya, dengan nada sedikit tinggi.

Tanpa ada pertanyaan lagi, si bapak lantas beralih fokus ke jalanan, menutup kaca helm, dan menambah kecepatan. Di dalam hati, saya merasa tak enak. Tak seperti biasanya saya menghindari obrolan-obrolan ‘pemecah es’ dengan pengemudi ojek seperti ini. Saya orang yang ramah, tetapi tidak malam itu.

Waktu menunjukkan pukul 21.40 saat akhirnya tia di stasiun. Si bapak melakukan pekerjaannya dengan baik dan ia pantas diganjar bintang lima, serta sedikit tip. Bergegas saya masuk ke dalam dan mendapati suasana stasiun sudah sangat sepi. Di depan mesin cetak tiket, saya mencoba memasukkan kode pemesanan, kemudian tertulis:

Maaf, kereta Anda telah berangkat.

Tapi, tak apa. Penerbangan saya menuju Kathmandu masih besok pukul enam pagi.

Saya jadi merasa bersalah ke bapak ojek tadi. Hehe.

Terminal 2D Bandara Soekarno Hatta, Tangerang
Sabtu, 6 Januari 2018 (05.00)

Beberapa menit sebelum boarding, perasaan cemas datang lagi menghampiri. Bisakah saya melakukan semua ini? Apakah sudah benar keputusan saya untuk melakukan perjalanan berbahaya ini?

Ah, sudahlah. Semua akan baik-baik saja.

Di antara semua tas-tas besar itu, punya saya (pojok kanan, orange) adalah yang paling ringan. Hanya 11kg.

Kuala Lumpur, Malaysia
Sabtu, 6 Januari 2018 (09.30)

Setelah kurang lebih terbang selama dua jam dari Jakarta dengan maskapai Malindo Air, kami tiba di Kuala Lumpur International Airport untuk transit. Karena transit tak lebih dari satu jam, kami pun memutuskan untuk tak keluar kawasan bandara dan langsung menuju ruang tunggu ke pesawat berikutnya.

Ruang tunggu ternyata sudah penuh ketika kami tiba. Kebanyakan dari para penumpang adalah orang-orang Nepal (yang bekerja di Malaysia) yang hendak pulang kampung. Sisanya adalah turis dan trekker seperti rombongan kami.

Transit di KLIA Malaysia sangat nyaman. Free Wi-Fi untuk semuanya, hehe.

Perlu saya ingatkan juga satu hal: Orang Nepal rata-rata sangat jarang bepergian menggunakan pesawat, jadi harap maklum jika mereka tidak terbiasa dengan peraturan dalam pesawat. Pramugari nampak bekerja lebih keras. Bersabarlah.

Kathmandu, Nepal
Sabtu, 6 Januari 2018 (12.15)

Meskipun matahari bersinar sangat terik ketika kami mendarat di Nepal, suhu dingin tanpa malu-malu seketika menyambut. Tertulis 12 derajat celcius di layar handphone ketika saya mengukurnya. Maklum saja, musim dingin belum usai di sini.

Tribhuvan International Airport, Kathmandu

Sebelum bisa mengangkut bagasi dan keluar dari bandara, kami terlebih dahulu menuju counter pengurusan Visa On Arrival (VOA) dan membayar sejumlah uang. Biaya yang dikeluarkan akan tergantung pada berapa lama Anda akan tinggal: $25 (15 hari), $40 (30 hari), dan $100 (90 hari).

Berhubung itinerary yang telah disepakati adalah 16 hari, maka kami harus membayar $40 dan menyerahkan formulir serta satu buah foto ukuran 3x4. Prosesnya cukup mudah, dan jika Anda beruntung, antreannya tidak lama.

Di Nepal, mata uang yang umum digunakan adalah Nepalese Rupee (NPR), tetapi hampir tidak ada money changer yang melayani jual beli NPR — Rupiah, baik di Indonesia maupun Nepal. Namun tak perlu khawatir, Anda dapat menukar rupiah ke dolar AS saat masih berada di tanah air, dan menukarkannya ke NPR saat tiba di Nepal.

1 Nepalese Rupee (NPR) = 130 Rupiah

Tips: Jangan tukarkan dolar Anda di money changer yang terdapat di bandara. Selain menghindari kondisi uang NPR yang jelek, kurs-nya lebih bagus jika Anda menukarnya di hotel.

Setelah semua barang bawaan berhasil diangkut, kami pun diantar menuju Thamel, sebuah kawasan turis di pusat Kota Kathmandu yang ramai. Jika tak sempat membeli perlengkapan trekking di tanah air, Anda dapat membelinya di sini. Harganya? Sebenarnya tak jauh beda jika Anda membelinya di Indonesia, namun jika Anda hendak mengakali berat bagasi, membeli perlengkapan trekking di Thamel jadi ide yang bagus.

Saya sendiri membeli celana berbahan fleece yang tebal (namun sangat ringan) dengan harga NPR 200 dan sebuah polarized sunglasses seharga NPR 1.000. Murah, bukan?

Urusan makanan, Anda tak perlu khawatir. Selain dipenuhi toko souvenir dan peralatan trekking, Anda juga akan banyak menjumpai banyak sekali restoran dan kedai-kedai makanan ringan di Thamel. Soal rasa memang relatif, tetapi dijamin tak bikin dompet meringis. Sekali makan, rata-rata saya hanya mengeluarkan NPR 300–500 untuk sepiring Nasi Ayam Biryani dengan porsi jumbo dan secangkir teh susu hangat.

Nasi Biryani Ayam dan sambal kacang khas Nepal. Lapar liatnya? Sama.

Kathmandu, Nepal
Minggu, 7 Januari 2018 (06.00)

Seumur hidup, baru pagi ini saya merasakan suhu udara sedingin 3 derajat celcius. Rasanya nyeri hingga ke tulang. Hidung pun tak berhenti ingusan. Bagi penduduk tropis, tentu hal ini tak bikin nyaman, tetapi saya hendak mencoba sesuatu yang baru: pakai celana pendek dan sandal jepit.

Bodo amat.

Dr. Strange datang ke Nepal dengan harapan bertemu dengan The Ancient One untuk menyembuhkan tangannya yang lumpuh seusai kecelakaan parah. Dari situasi peradaban yang serba modern, skenanya berganti ke sebuah kota padat dengan langit yang cerah. Sampai menjejakkan kaki dan melihat dengan mata sendiri, saya pada akhirnya percaya, Kathmandu bukanlah hasil dari efek-efek spesial Hollywood.

Anda tak akan pernah berjalan sendirian di Kathmandu

Esok adalah hari yang saya tunggu. Saya tak banyak beraktivitas hari ini selain jalan-jalan di sekitar Thamel dan mencoba macam-macam gorengan khas Nepal. Teman-teman yang lain nampaknya menghabiskan waktu untuk belanja perlengkapan yang masih kurang.

Satu lagi, jika Anda kebetulan seorang pecinta buku, jangan lupa berkunjung ke Pilgrims Book House. Meskipun akan banyak Anda jumpai toko-toko buku yang lain, saya pikir toko ini adalah yang terlengkap dan terbesar di Thamel. Saya beruntung karena letaknya tepat di depan hotel tempat kami menginap. Koleksinya dijamin bikin ngiler.

Pilgrims Book House, Thamel

Tips: Anda mungkin bukan pecinta buku, tak masalah, tetapi menyiapkan buku saku yang ringan bisa berguna selama berada di jalur trekking. Bisa tidur nyenyak bukan sesuatu yang mudah saat berada di Himalaya. Membaca buku bisa jadi obat tidur terbaik Anda.

Bersambung.

Punya pertanyaan seputar pengalaman saya trekking ke Everest Base Camp? Boleh sekali kita bercakap via email. Semoga beruntung dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

--

--