Perjalanan Menantang Himalaya (Bagian 3: Bandara Paling Berbahaya di Dunia)

Rizal Ramadhan
7 min readOct 6, 2018

--

Kami berkumpul di lobby hotel dan melakukan checklist terakhir sebelum berangkat menuju bandara Tribhuvan. Sambil minum teh hangat, saya memberi kabar keluarga di rumah bahwa saya hendak berangkat. Sampai dua hari ke depan, tak mungkin bagi saya untuk menghubungi siapapun karena dari awal memang tak berniat membeli kartu SIM lokal dan hanya mengandalkan koneksi Wi-Fi (selama tersedia).

Kemudian kami berkenalan dengan si pemandu. Namanya Amar, usianya masih 23 tahun. Selama beberapa hari ke depan, Amar akan memandu kami, mengatur akomodasi, dan menjelaskan banyak hal di sepanjang jalur trekking.

Tips: Jika membeli kartu SIM lokal, provider yang saya rekomendasikan adalah Ncell atau Namaste. Untuk kuota sebesar 1GB, Anda dapat membelinya dengan harga sekitar NPR 2.000.

Bandara masih ditutup ketika kami datang. Tampak beberapa rombongan trekker yang lain telah mengantre di depan pintu masuk. Apapun yang mereka pikirkan, satu hal yang menjadi harapan semua orang: dapat terbang tepat waktu dan tiba di Lukla dengan selamat. Maklum, penerbangan Kathmandu-Lukla-Kathmandu sangat tergantung dengan cuaca. Ditambah lagi, predikat Lukla Airport (atau Tenzing-Hillary Airport) sebagai salah satu bandara paling berbahaya di dunia juga menambah kengerian.

Sebelum lepas landas menuju Lukla dari Kathmandu.

Penerbangan Kathmandu-Lukla ditempuh kurang lebih selama 40 menit dengan menggunakan maskapai Tara Air. Pesawatnya kecil, hanya berkapasitas kurang lebih 15–20 orang saja. Selama penerbangan saya merasa sangat mual. Bagaimana tidak, dari sejak lepas landas hingga akhirnya mendarat, penerbangan ini penuh turbulensi. Kesalahan saya juga adalah tidak makan apapun sebelum terbang.

Tips: Datanglah lebih awal ke bandara sebelum terbang ke Lukla. Penerbangan ini sangat tergantung pada cuaca, jika Anda dapat terbang tepat waktu, maka Anda beruntung. Isi perut dan sediakan kantong plastik kecil dan minyak angin di tas kecil Anda untuk berjaga-jaga saat mabuk udara.

Hari 1: Lukla (2.860m) — Phakding (2.610m) — Monjo (2.830m)

Jika Anda mengira akan langsung disajikan dengan pemandangan puncak-puncak raksasa yang putih ketika hendak memulai trek menuju Everest Base Camp, maka Anda mungkin sedikit kecewa. Trek dimulai di desa kecil di bibir lembah yang hijau. Daripada penduduknya, desa ini nampak lebih padat karena trekker dan turis. Tak heran jika terdapat beberapa bakery yang menyediakan menu western, lodge yang nyaman, dan bilik-bilik ATM tersebar di beberapa sudut. Perpaduan menarik antara yang modern dan yang lama.

Selamat datang di Lukla.

Tenzing-Hillary Airport, salah satu yang paling berbahaya di dunia.

Kami menyantap sarapan terlebih dahulu dan melakukan persiapan terakhir di salah satu lodge, The Nest at Lukla. Seperti yang sudah diduga, harga makanan di sini lebih mahal dan akan bertambah mahal seiring bertambahnya ketinggian.

Amar kemudian menuturkan bahwa perjalanan hari ini akan sangat mudah karena didominasi dengan turunan. Meskipun demikian, ia menyarankan kami tetap berjalan normal dan tidak terlalu buru-buru. Ia tak ingin satu pun dari tim-nya terkena AMS.

Amar (paling kiri) nampak malu-malu dengan kamera.

Di sepanjang jalur trekking, saya melihat banyak bendera warna-warni (prayer flags) digantung di mana-mana, seperti halnya di Thamel. Batu-batu raksasa yang bertuliskan mantra agama Budha — yang kemudian saya tahu namanya adalah Mani Stone — juga sering saya jumpai.

“Emang arti mantra itu apa?” tanya saya kepada Amar.

“Om Mani Padme Hum, jika kuterjemahkan secara kasar maka artinya “Terpujilah Sang Permata dan Teratainya”,” jawabnya.

Setelah hampir berjalan kurang lebih tiga jam, kami tiba di Phakding dan beristirahat untuk makan siang. Umumnya, para trekker bermalam di desa ini di hari pertama, namun karena rombongan kami tiba lebih awal, kami sepakat akan bermalam di Monjo. Alasan lain, Amar mengatakan agar hari kedua kami lebih ringan.

“Lebih ringan?” tanya saya dalam hati.

Om Mani Padme Hum — All hail to the jewel of the Lotus.

Trekking hari ini memang relatif mudah, tapi lutut kiri saya sudah bermasalah. Bahkan di tanjakan terakhir beberapa meter sebelum Monjo, saya harus pasrah dibantu oleh Amar. Suhu yang makin dingin juga menambah nyeri di sekujur tubuh. Saya tak senang dengan keadaan ini.

Akhirnya kami tiba di Monjo. Sambil menunggu makan malam, kami sempat menghangatkan diri dengan duduk di dekat tungku api di dalam lodge. Uniknya, bahan bakar dalam tungku tersebut bukanlah kayu atau kertas, namun kotoran Yak (kerbau berbulu lebat khas Himalaya). Anehnya, kami tak mencium bau-bau tak sedap sedari tadi.

Nongkrong di perapian kotoran yak.

Sesudah makan kami langsung menuju kamar masing-masing, menggelar sleeping bag, dan beristirahat. Sebenarnya, saya masih memikirkan perkataan Amar tadi pagi. Apakah besok adalah hari yang berat?

Tips: Usahakan tubuh Anda terhidrasi dengan baik sepanjang waktu. Minumlah air putih sebanyak 4–6 liter per hari. Ini penting jika Anda tak ingin terserang AMS.

Hari 2: Monjo (2.830m) — Namche Bazaar (3.440m)

Kami bangun pukul 5 pagi hari ini dan bergegas berkemas, kemudian menuju restoran untuk menyantap sarapan. Amar mengingatkan kami untuk tak lupa meminum Diamox, guna mencegah AMS. Selain itu, di tengah hari kami tidak akan makan siang lantaran setelah Monjo, tak akan ada desa untuk singgah hingga Namche Bazaar. Makanya, Amar juga menyarankan kami untuk membawa makanan kecil.

Pukul 7 pagi kami mulai berjalan. Lutut kiri saya sepertinya membaik hari ini. Belum ada mual atau pusing yang saya rasakan. Sepertinya hari ini akan baik-baik saja.

Trek diawali dengan turunan dari Monjo hingga ke tepian sungai Dudh Kosi. Warna air sungai ini biru dan seakan bercampur dengan susu. Amar menjelaskan, sungai ini tak terbentuk dari mata air melainkan lelehan Khumbu Glacier dari Gunung Everest.

Di sini kami beristirahat sejenak sambil minum teh yang sudah dingin. Dari bawah kami melihat trek yang akan kami lewati. Amar menunjuk ke atas, ke dua jembatan yang terlihat kecil dari tempat kami duduk.

Perjalanan sebenarnya baru saja dimulai.

“Kita akan naik dari sisi kanan ini dan menyeberangi jembatan yang berada di atas,” terang Amar.

“Kemudian kita tiba di Namche Bazaar? tanya saya.

“Tidak, Namche Bazaar ada di balik puncak sebelah kiri,” jawabnya.

Wow. Itu berarti tanjakan tanpa ampun hingga Namche Bazaar.

Kami pun melanjutkan perjalanan dan mulai menyusur naik ratusan tangga batu menuju jembatan. Di sini saya kembali merasakan nyeri di bagian lutut kiri. Karena harus berjalan dengan pelan, saya pun tertinggal di belakang. Beruntung saya ditemani oleh Mbak Anet dan Mas Yadi.

Di belakang, terlihat tempat kami beristirahat sebelumnya.

Empat puluh menit kemudian kami tiba di bibir jembatan. Meskipun bergoyang seiring tapak kaki yang menginjaknya, jembatan ini sama sekali tak mengerikan. Talinya kokoh dan beralaskan besi-besi yang kuat. Kami berhenti sejenak untuk mengambil beberapa foto. Pemandangan dari sini begitu indah.

“Jadi ini Hillary Bridge yang terkenal itu?” tanya saya kepada Amar.

“Bukan, Hillary Bridge justru yang ada di bawah kita sekarang. Jembatan tersebut sudah lama tak dipakai karena perubahan rute trekking utama,” jelasnya.

“Jadi, jembatan ini apa namanya?” tanya saya lagi.

“Belum ada nama resmi untuk jembatan ini. Jika kau mau, beri pemerintah kami banyak uang dan buat jembatan ini dengan namamu,” canda Amar.

Bukan Hillary Bridge. :)

Di seberang, kami melihat trek naik yang cukup curam. Amar mengingatkan untuk tetap tak buru-buru dan berjalan seperti biasa. AMS bisa jadi mulai menyerang di titik ini. Saya pun teringat cerita Pak Anton yang harus dievakuasi pulang menuju Kathmandu menggunakan helikopter lantaran menderita AMS. Kendati demikian, kami tetap harus tiba di Namche Bazaar sebelum petang.

Alih-alih menghilang, nyeri di lutut saya justru kian menjadi. Beberapa kali saya harus berhenti dan memijatnya sembari mengatur nafas. Mbak Anet dan Mas Yadi masih menemani saya sambil mengabadikan beberapa gambar, sementara yang lain sudah jauh berjalan di depan.

Membiarkan gengsi begitu saja runtuh diinjaki kuda-kuda Himalaya.

Jika di hari kedua saja sudah tersiksa sebegitunya, apa kabar saya di beberapa hari ke depan?

Di titik ini sempat terbesit penyesalan di kepala saya. Saya bisa saja memilih berkeliling Tokyo dan tidur di kamar hotel yang hangat. Atau mungkin sekadar pulang ke kampung halaman; berkumpul dengan keluarga dan teman-teman.

Apapun yang saya pikirkan hanyalah kenyamanan yang mungkin saja saat ini saya nikmati. Kenyataannya, kini saya berada jauh dari semua itu. Saya merasa ditipu diri sendiri.

Jam menunjukkan pukul 17.00 saat saya akhirnya tiba di Namche Bazaar. Benar adanya, ia terletak di balik bukit yang mati-matian saya taklukan beberapa jam terakhir. Bangunan di desa ini nampak seperti menempel ke sekeliling dinding bukit dan menyajikan pemandangan yang tak biasa.

Keindahan Namche Bazaar, secangkir teh susu hangat, dan sepiring nasi goreng tuna yang lezat seolah menjadi permintaan maaf semesta atas apa yang dilakukannya kepada saya hari ini.

Decak kagum saja rasanya bukan respon yang pantas untuk menikmati indahnya Namche Bazaar

Bersambung.

Punya pertanyaan seputar pengalaman saya trekking ke Everest Base Camp? Boleh sekali kita bercakap via email. Semoga beruntung dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

--

--