Pahami penonton dulu atau film dulu?

Ryandipp
4 min readApr 27, 2018

--

Mengenai artikelku sebelumnya tentang cara agar film kamu laku, aku telah keliru untuk beberapa hal. Mas Dipo Alam, temanku, mengatakan bahwa aku tidak bijaksana dengan mengurutkan prioritas seperti yang aku tuliskan.

Perasaan antara pusing dan senang.

Setelah berdiskusi, kami sepakat bahwa cara seperti itu, akan menghasilkan kemungkinan lebih besar untuk memberi dampak buruk bagi film dan filmmaker dalam jangka panjang.

Akan lebih baik jika, urutan prioritas pertama dan kedua ditukar. Artinya, yang seharusnya menjadi prioritas pertama adalah, pahami film kamu, lalu pahami penonton kamu.

Artikel ini aku tulis berdasarkan hasil diskusi dengan Mas Dipo dengan tambahan beberapa referensi baru yang aku temukan. Mari kita bedah.

1. Pahami penonton, lalu film kamu

Dalam jangka pendek, memahami penonton, lalu film, tentu akan memberikan penghasilan yang besar. Hukum supply-demand biasa, ada kebutuhan, lalu ada yang memenuhinya, terjadi transaksi ekonomi.

Dalam jangka panjang, hal tersebut akan menciptakan pasar yang jenuh, atau bahasa sombongnya, saturated. Karena akhirnya sebagian besar film yang diproduksi adalah yang sesuai kebutuhan, menjadi seragam, sedikit variasi. Artinya, ruang filmmaker untuk berkreasi dan matang menjadi sempit.

Akan sangat sulit untuk memproduksi film yang original atau tidak sesuai template kebutuhan pasar.

A company’s growth is also inhibited by market maturity. Over time, markets follow more predictable patterns as buyers become familiar with and loyal to particular brands. Eventually, as the market becomes more crowded, prices tend to stabilize, reducing the ability to grow through price increases. Finally, some markets reach a saturation point either because of limited demographic growth or commoditization of products. Taken together, these product and market life cycle forces all put pressure on the typical sources of growth for marketing and sales.

Ron Ashkenas dalam Harvard Business Review

Dan itu yang sedang terjadi sekarang. Terutama di televisi; produksi sinetron, ftv, dan reality show.

Namun hal ini tidak semerta-merta menihilkan fungsi dari riset kepenontonan yang baik atau menggagapnya sebagai praktek yang buruk. Hanya prioritasnya saja yang dirubah. Justru, riset tentang kepenontonan yang dilakukan Budi Wibawa, Mohamad Ariansah, dan Bawuk Respati, serta tentang perilaku pengambilan keputusan penonton oleh Dyna Herlina, perlu dipertahankan dan dikembangkan agar pemahaman filmmaker tentang penonton semakin tajam seiring berkembangnya lansekap sosial-politik-ekonomi Indonesia.

2. Pahami film, lalu penonton kamu

Dengan menempatkan memahami film sebagai prioritas pertama. Dalam jangka pendek, akan melelahkan karena akan menghasilkan kurva belajar yang terjal, maksudnya, butuh waktu dan tenaga yang besar, dalam mengasah keahlian memahami film, dalam konteks artisitik juga bisnis.

Namun dalam jangka panjang, keahlian filmmaker secara keseluruhan akan meningkat, semakin matang, dan menghasilkan karya film yang beragam.

Sehingga secara tidak langsung, masyarakat akan belajar memilih, matang preferensinya, dan semakin terdiferensiasi. Penonton jadi cukup cerdas untuk memilih mana film yang disukai, karena ada banyak pilihan yang berbeda.

Kekurangannya, semakin sulit membuat film yang fit for all, tiap film memiliki penonton dengan skala yang lebih kecil.

Kelebihannya, selalu ada perkiraan terukur untuk setiap jenis film. Mudah melakukan estimasi jumlah penonton yang setia untuk berbagai jenis film.

Aku menemukan sebuah kutipan menarik dari catatan diskusi Arus Bawah di Kineforum yang aku pikir mendukung argumenku, “Singkatnya, masyarakat Indonesia itu beragam. Tidak terbatas pada masyarakat kelas menengah urban yang umumnya dibayangkan sebagai penonton film panjang Indonesia. Selain kaya sumber daya alam, kita juga tidak pernah kekurangan masalah buat difilmkan.”

Bila menggunakan analogi ekosistem, strategi ini lebih sustainable, berkelanjutan.

Saat jumlah katak berkurang, maka ular punya pilihan untuk makan tikus, sehingga jumlah ular tetap terjaga, sembari membiarkan populasi katak bertambah lagi untuk dikonsumsi ular nantinya, saat tikus nanti sudah sulit ditemukan bagi ular. Begitu seterusnya.

Penonton adalah ular, dan film kamu adalah tikus atau katak. Kalau film kamu bukan tikus atau katak, mari anggap saja, film kamu rusa, ular tidak makan rusa, harimau yang makan rusa.

Maka selama kamu paham film kamu adalah rusa, kamu tidak akan menempatkan dirimu untuk dimakan ular, di hutan, tapi di savana agar dimakan harimau. Dan hal ini bisa lebih kompleks lagi, menjadi rantai makanan, yang saling menjaga keberadaan satu sama lain.

Arief Ash Shidiq, dalam diskusi Yang Luput Dibicarakan Ketika Menonton Film Indonesia mengkonfirmasi, “Produser film juga luput, kalau bukan tidak punya kemampuan, untuk menyadari keberagaman masyarakat Indonesia. Padahal, jika mereka memiliki kesadaran tersebut, praktis mereka bisa membuat film tentang apa saja karena pada akhirnya bakal selalu ada masyarakat yang merasa terwakilkan.”

Nah, hal tersebutlah yang penting. Keberagaman adalah kekayaan yang berharga.

Dengan menempatkan pemahaman film sebagai prioritas pertama sebelum pemahaman penonton, maka keberagaman akan tercipta. Dan ekosistem menjadi sustain.

Bisa nulis sampai sini udah lega.

Ada tiga buku yang terpikir untuk aku rekomendasikan berhubungan dengan artikel ini; Ecology, untuk dasar-dasar prinsip ekologi dan biodiversitas, The Lean Startup, untuk referensi sudut pandang menangani kreatifitas dengan produktif dan efisien, dan Krisis dan Paradoks Film Indonesia, dalam mempelajari sejarah serta pola perkembangan film di Indonesia.

Kesimpulan

Maka poin dari artikelku yang ini berubah sedikit. Urutan pola pikir supaya film kamu laku kini menjadi:

  1. Pahami Film Kamu
  2. Pahami Penonton Kamu
  3. Produksi Film yang Sesuai
  4. Ciptakan Engagement yang Berkelanjutan
  5. Berdoa

Dan akan terus begitu sampai aku mendapat feedback dan ilmuku atau kamu berkembang. Mari diskusi!

Tentang Teman Diskusi

Dipo Alam telah menggeluti dunia audio visual sejak tahun 2004 dan telah berpengalaman menangani produksi program tv, video klip, tvc, dokumenter dan film panjang. Pengalamannya membawanya pada sebuah ide untuk mendirikan Layar Nusantara, sebuah usaha pemutaran film melalui medium layar tancap. Dia percaya pentingnya menghidupkan kembali ekosistem layar tancap yang telah terbukti efektif mengantarkan film kepada penontonnya.

--

--