Bagaimana supaya film kamu laku?

Ryandipp
7 min readApr 20, 2018

Tulisan ini dibuat untuk dua tujuan; pertama, memenuhi tantangan dari netizen, kedua sebagai respon terhadap tulisan Mas Andi Boediman dalam laman mediumnya.

Salah satu cara cari-cari masalah di Instagram. Saat artikel ini ditulis, jumlahnya sudah 15 vs 24.

Kepada para netizen di akun instagram aku, sebelum menjawab pertanyaan bagaimana agar film kamu laku, mari kita sepakati dulu definisi laku yang aku gunakan dalam tulisan ini.

Aku memahami ada dua jenis laku; 1) banyak penonton di bioskop, 2) banyak pendapatan yang didapat dari sebuah film.

Dalam tulisan ini aku akan membahas laku yang pertama; banyak penonton di bioskop.

Dengan asumsi, kamu merencanakan pendapatan terbesar dari penjualan tiket di bioskop dan untuk menyederhanakan pembahasan. Karena pendapatan sebuah film, bukan hanya dari jumlah penonton di bioskop, namun dapat juga dari product placement, kekayaan intelektual, merchandise, dsb, yang masing-masing memiliki dinamika yang berbeda, dan aku masih terlalu bodoh untuk membahasnya dengan baik.

Dengan berbekal beragam sumber, aku merumuskan informasi yang aku pelajari sesederhana mungkin, menjadi prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Pahami Penonton Kamu

Tugas produser yang unik dari peran lain dalam sebuah produksi film adalah, memahami penonton dengan baik dan benar. Sebelum sebuah ide film dikembangkan, akan sangat baik untuk memiliki rencana distribusinya, siapa yang akan menonton, berapa banyak, dimana saja, karakternya seperti apa, dan bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Sehingga memudahkan untuk meyakinkan investor, donatur, sponsor, distributor, dan teman-temannya karena memiliki cukup bahan untuk kemudian memanajemen resiko dan mengatur strategi yang sesuai dengan filmnya nanti.

Menurut data dari dokumen Theatrical Market Statisctic dari Motion Picture Association of America tahun 2016, potensi daya beli penonton Indonesia menempati peringkat ke-15 untuk pasar Box Office dunia, atau senilai 4 triliun rupiah.

Berdasarkan data yang aku temukan di filmindonesia.or.id pada tahun terbaik Indonesia, 2016–2017, jumlah penonton tertinggi berjumlah 30 juta orang, bila dikalikan dengan harga tiket bioskop yang seharga 35 ribu, maka daya beli penonton senilai 1 triliun, hanya 25% dari potensi daya beli penonton.

Artinya, terdapat sekitar 3 triliun yang belum dieksplotasi, atau sekitar 86 juta penonton dari total 200 juta total penduduk Indonesia, yang masih akan terus berkembang jumlah dan PDB-nya.

Nah, loh. Ini dari BPS loh.
Ini juga.

Besar dong ya. Pertanyaan berikutnya, siapa dan bagaimana sih manusia-manusia dibalik angka-angka ini?

Analisa dari film terlaris Indonesia beserta grafiknya, dari filmindonesia.or.id dan Ideosource, bisa kamu pelajari di sini. Penonton Indonesia memiliki kecenderungan untuk genre tertentu dan memiliki perilaku yang menarik untuk dipelajari.

Sebagai sedikit ilustrasi, Film AADC2 awalnya mendapatkan 180 layar dapat menggeser Captain America: Civil War yang mendapatkan 500 layar.

Artinya, film serta penonton Indonesia memiliki daya saing dengan Hollywood!

Menurut Mas Dimas Jayasrana dalam sebuah artikel oleh tirto.id, penonton Indonesia adalah sebuah aset yang perlu dibentuk, dipertajam, atau dikembangkan.

Bagaimana caranya?

Menurutku, mulai dari sadar untuk melakukan market dan business analysis yang bagus dalam produksi film, karena membuat film yang bagus saja masih kurang. Atau, bila dikemas dalam kalimat yang lebih bersahabat, “kan sayang film bagus-bagus capek-capek dibuat kalau ga ada yang nonton kan?”

Namun ini artinya, perlu memahami penonton lebih dari preferensi persoalan artisitik, estetika, dan filosofis.

Filmmaker perlu belajar pula memahami manfaat disiplin ilmu lain; ekonomi, bisnis, pemasaran, operasional, teknik industri, planologi, dan sosiologi, yang lebih dari intuisi. Cukup paham prinsipnya saja, paham ilmu itu apa dan untuk apa, agar lebih mudah bekerjasma dengan produser serta tim produksi yang sesuai.

Initp aja dulu. Ulik lebih dalam yang sedang diperlukan.

Berikut beberapa referensi textbook yang aku pikir dapat membantu; Thinking Fast and Slow yang telah membantuku menampar sikap gemar melakuan loncatan kesimpulan, Bankroll untuk pembahasan hingga ke legal, paperwork dan adminsitratif yang pasti luput kalau tidak punya ilmunya, Marketing Research Kit for Dummies untuk alasan yang sudah tampak dari judulnya, serta beberapa buku lain untuk melatih memperluas perspektif dan memperdalam cara melihat, interaksi penonton dengan film kamu.

2. Pahami Film Kamu

Berikutnya adalah memahami film kamu, melebihi teks, sub-teks, dan konteksnya.

Bukan soal tersurat atau tersirat saja, namun juga persoalan branding, positioning, valuasi secara bisnis, agar memiliki posisi tawar yang baik bagi ceruk penonton yang menjadi target kamu.

Singkatnya, bagaimana untuk menjawab pertanyaan, “apa saja yang film kamu miliki untuk membuatnya mendapat penonton?”

Ada banyak cara menjawabnya.

Menurutku yang paling mudah adalah dengan membaca preferensi penonton untuk 5 dan 10 tahun terakhir. Lalu memproduksi jenis film yang paling laris. Cari naskah yang sesuai hasil analisa pasar, kembangkan, produksi, jual.

Cara yang sedikit lebih sulit adalah dengan membaca perilaku penonton untuk 5 dan 10 tahun terakhir, lalu menganalisa silang data tersebut dengan strategi bisnis yang dilakukan film terlaris dalam rentang waktu yang sama.

Cara yang lebih sulit lagi adalah memasukkan tambahan variabel politik, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi decision making para penonton ke dalamnya.

Udah mules belum? Aku sih yang nulis mules. Kok kayak yang banyak banget pr-nya.

Serta cara-cara apa pun, yang dapat kamu lakukan untuk memudahkan kamu melakukan valuasi dari ide film kamu; agar kamu tahu apa yang kamu cari dari sebuah naskah, agar kamu paham potensi dari film kamu, dan bagaimana menggalinya dengan efektif.

Berikut adalah rekomendasi buku yang aku pikir dapat membantu membentuk kerangka berpikir kamu; The Independent Film Producer’s Survival Guide untuk gambaran umum tentang apa saja yang perlu dikenali dari film kamu beserta referensi caranya, Tipping Point sebagai bekal untuk memahami momen atau bagian dari proses produksi yang memiliki potensi menyebarluas dengan sedikit usaha, dan favorit aku pribadi, Creativity, Inc. karena akan memberikan perspektif untuk melihat kemampuan kreatif dan bagaimana memprosesnya dengan bijaksana.

3. Produksi Film yang Sesuai

Tentu saja! Setelah memiliki kemampuan mengenali penonton dan film yang akan kamu produksi, berikutnya adalah memproses pengetahuan tersebut ke dalam strategi produksi: bagaimana untuk mengembangkan ide film kamu agar diserap pasar dengan baik.

Singkatnya, manajemen resiko.

Kelemahan dari semua ilmu yang kamu miliki sampai tahap ini adalah, semua hanya kemungkinan. Kelebihannya adalah, kemungkinan ini dapat diukur dengan angka-angka dan dapat dimitigasi resikonya.

Sehingga dapat melakukan strategi produksi yang efisien. Tidak mubazir sumber daya karena kamu sudah kenal penonton, potensi film kamu, dan seberapa besar kemungkinan gagal dari strategi yang kamu gunakan.

Wrap selalu menyenangkan, sesaat lupa akan kemungkinan gagal yang perlu dikelola.

Menurutku bahan bacaan yang akan sangat membantu merangsang pembentukan pola pikir yang baik dalam hal ini adalah; The Art of War, yang seperti kitab suci yang dikunjungi berkali-kali untuk memahami prinsip-prinsip manajemen resiko dalam perang, Think Like A Freak untuk melatih ulang otak kamu dalam berpikir lebih kreatif dan juga rasional, dan ini yang paling praktikal, Execution, karena dapat membiasakan diri untuk selalu tepat menetapkan dan mencapai target.

4. Ciptakan Engagement yang Berkelanjutan

Menurutku, ini tahap yang paling sulit.

Setelah berhasil memutuskan mengembangkan sebuah ide film, strategi produksi, serta manajemen resikonya. Berbekal ilmu yang dimiliki sampai pada tahap ini, berikutnya prinsip ini menjadi perlu dimiliki dan dipahami dengan baik.

Bagaimana caranya untuk memelihara interaksi penonton terhadap film kamu agar valuasi filmnya terjaga sesuai dengan rencana?

Pertanyaan ini menjadi penting untuk merespon keresahan Mas Dimas Jayasrana tentang mengedukasi penonton dalam mengapresiasi film dan analisa Mas Andi Boediman dan Ideosource tentang Value Chain dari Industri Film.

Semakin banyak dan mudah pilihan cara penonton untuk mengkonsumsi konten hiburan menurutku akan memberikan tantangan yang sulit untuk mengambil perhatian mereka. Maka keberhasilan mendapat perhatian, adalah aset berharga yang perlu dikelola dengan baik.

“What information consumes is rather obvious: it consumes the attention of its recepients. Hence a wealth of informations creates a poverty of attention”

— Herbert Simon, A Noble Laureate Economist

Sejauh yang aku pahami dari berbagai buku, artikel, video di internet, pengalaman serta hasil diskusi dengan rekan-rekan dan mentor aku dalam industri film, aku memiliki kesimpulan bahwa penting untuk memiliki mantra, “Ini tentang kamu, bukan aku.”

Dalam industri apa pun, pasar tidak peduli hal yang tidak bermanfaat untuk mereka. Sabodo teuing film kamu bagus, seberapa sulit buatnya, menang festival apa dan dimana, sekeren apa strateginya, apa pesan penting yang ingin kamu sampaikan dan seterusnya seterusnya seterusnya. Pada akhirnya, krusial untuk menguasai perspektif ini, “apa manfaat film kamu untuk penonton, seinstan mungkin.”

Beruntungnya, Gary Vaynerchuk memberikan ilustrasi yang menarik untuk membantu kamu memahami konten dan konteks dalam menciptakan engagement. Kamu bisa mudah mengintip isi otak Gary dari kanal ini, dan berinteraksi langsung dengannya di kanal ini.

Dan kamu bisa mengulik Casey Neistat yang telah membagikan pemahamannya tentang mainstream media dan interaksinya dengan penonton, yang menurutku, banyak prinsip yang menarik untuk dipelajari dalam membangun dan menjaga engagement.

Beberapa buku yang aku pikir telah membantuku dalam topik ini adalah, Your Attention Please, karena bahkan bukunya mudah untuk dibaca saat banyak distraksi, dan Thus Spoke Zarathustra, untuk bantuannya dalam mengenali diriku yang jengkel persoalan interaksi dengan manusia lain disekitarku.

5. Berdoa

Lah, apalagi?

Sampai tahap ini, setelah semua usaha dilakukan capek-capek susah-susah repot-repot, pada prinsipnya bisnis apa pun, termasuk film, ada unsur ketidak-pastian. Paling mentok yang dapat kita lakukan adalah membuat educated guess, strategi terbaik, memitigasi resiko, dan bermain dengan angka-angka probabilitas. Kan? Makanya namanya forecast, ramalan. Membuat ramalan selogis mungkin berdasarakan ilmu dan data yang dimiliki. Sisanya terserah semesta.

Kalau keberatan dengan gaya berpikir dan hidup seperti ini, maka mungkin kamu, 1) banyak skip paragraf dan langsung sampai di kalimat ini, 2) bukan seseorang yang cocok mencari nafkah dari membuat film.

Kalau kamu termasuk yang pertama, aku butuh bantuan kamu untuk memberi saran agar aku dapat menulis lebih baik.

Atau bila kamu termasuk yang kedua, aku butuh bantuanmu untuk menonton film Indonesia yang bagus, agar terus ada yang bagus, dan semakin bagus.

Bagi warganet, dari semua golongan, kalau artikel ini kamu pikir berguna, silahkan untuk membagikannya. Lumayan loh kamu jadi terlihat smart, kan?

Diskusi

Artikel ini telah didiskusikan dengan beberapa rekan profesional dan mendapat perubahan dan atau penambahan sudut pandang. Baca catatan diskusi pertama dengan Dipo Alam disini.

--

--