Dari Bangkit Academy sampai AWS Community Builder, awal saya kepikiran switch career dari Fisika

Nova Lailatul Rizkiyah
15 min readJan 17, 2023

--

Sebenarnya tulisan ini ditulis tahun 2020, tapi karena keadaan alias malas menulis barulah saya bisa menyelesaikannya di tahun 2023. Ceritanya saat itu saya menjadi anggota perkumpulan Bangkit zaman masih awal dan belum masuk kurikulum merdeka yang khusus untuk mahasiswa menuju tingkat akhir seperti sekarang. Jadi, mari saya jelaskan dulu.

Apa it Bangk!t?

Bangkit Academy adalah sebuah program Machine Learning(ML) -sejak tahun 2021 sudah ada tambahan Android dan Cloud — diinisiasi oleh Google Indonesia yang dikembangkan bersama Gojek, Tokopedia, dan Traveloka, yang kursusnya secara online dan offline di 4 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Denpasar dan Yogyakarta selama 6 bulan di tahun 2020. Gunanya untuk mencetak ML developer baru di Indonesia. Pada tahun-tahun sebelumnya Google menyelenggarakan pelatihan yang mirip dengan nama Kejar yang berfokus untuk mencetak Andoid Developer di Indonesia, infonya disini.

Sumber foto disini

Kembali ke Bangkit, pada november 2019 program ini diluncurkan beritanya disini Hanya 300 orang yang akan terpilih dalam program ini dengan seleksi yang ketat.

Bagaimana saya ikut menjadi peserta terpilih dari Bangkit Academy?

Awalnya saya mengetahui dari postingan di Dicoding tentang Bangkit Academy. Saya tertarik untuk mengikuti program itu karena tahun 2019 saya juga merupakan peserta terpilih dari Program Digital Talent Scholarship, Fresh Graduate Academy, Kementrian Komunikasi dan Informatika Indonesia selama 2 bulan di Teknik Informatika ITB, dibimbing oleh dosen informatika ITB. Waktu itu materi yang saya dapat kebetulan Machine Learning dan Cloud Computing. Saya jadi tertantang untuk mengikuti Bangkit karena materinya sama yaitu Machine Learning dengan benefit di akhir berupa free voucher Tensorflow Developer, plus tentu ada seleksinya, seperti halnya DTS dulu.

Seleksinya menggunakan aplikasi Astronaut seperti ini, kita diberikan 3 soal matematika terkait statistika (mean, median, dll), soal turunan, menghitung kecepatan dan jarak dalam waktu masing-masing 1 menit, selanjutnya diberi 3 soal terkait kenapa ingin ikut Bangkit, bagaimana cara mengatur waktu dan cara menghadapi hambatan, kesemuanya harus dijelaskan dalam bahasa inggris masing-masing dan direkam dalam waktu kurang dari 1 menit.

Ketika sudah selesai menjawab, kita akan mendapat email pemberitahuan seperti ini.

Selanjutnya, pada tanggal 21 Januari 2020, saya mendapat pengumuman bahwa saya diterima menjadi salah satu dari 300 orang terpilih beritanya disini. Seleksinya ketat sekali saat itu. William Florence, salah satu perintis Bangkit dari Google mengatakan bahwa sudah ada 7000 calon, namun yang sampai selesai menyelesaikan ujian sekitar 2000an pendaftar lalu diseleksi menjadi 300 peserta saja. Dan saya beruntung menjadi salah satu peserta di Bangkit.

sumber gambar: disini

Workshop Hari ke-1 dan Hari ke-2 di ITB

William Florence from Google, Sumber foto: Twitter Google Developer Indonesia

William Florence hadir di kelas Informatika ITB, cohort Bandung. Di kelas itu terdiri sekitar 100 orang sebagai siswa dimana teman-teman saya rata-rata merupakan mahasiswa tingkat akhir Informatika ITB dan ada juga mahasiswa Telkom dan beberapa lulusan/mahasiswa dari kampus swasta di Bandung. Ada Adit, teman seangkatan FMIPA 2012, dulu mahasiswa matematika ikut serta. Lalu juga berkenalan dengan Bu Tia, kakak tingkat fisika ITB.

William Florence yang ngomong pakai bahasa enggres cepat sekali berkata bahwa Bangkit hadir untuk menjembatani antara para siswa yang memiliki kemampuan/daya analitik bagus untuk bisa bekerja di startup seperti unicorn company : Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Gojek, bahkan Google ataupun calon startup yang baru dirintis. Hampir seluruh 300 peserta 62% berasal dari siswa/unemployed, selebihnya dari profesional. 26% diantaranya adalah wanita. William mengatakan statistik ini lebih baik dari program Kejar yang sebelumnya dimana perempuannya terlalu sedikit/non diverse.

Mentornya siapa aja?

Apa bedanya Bangkit dengan online free platform di Google? jawabannya karena disini para siswa punya mentor yang bagus dan nyata dimana kita seagai siswa punya privilese berinteraksi langsung dengan mereka.

Sumber foto: pribadi, jalan menuju labtek V, informatika ITB, dekat dengan tempat saya kuliah di fisika ITB

Mentornya bisa orang Indonesia atau orang luar negeri yang sudah bekerja di company selama bebebera tahun. Yang jelas, orang-orang ini sudah tidak asing lagi di kalangan komunitas tech Indonesia.

Kelas di Labtek V, ada Feryandi dkk, sumber foto: pribadi

Selain itu, Bangkit yang merupakan workshop atau semacam Bootcamp yang menggabungkan antara online dan offline course. Karena setiap orang punya kemampuan belajar yang berbeda maka program ini cukup lama yakni selama 6 bulan agar semua peserta punya waktu untuk mengerjakan tugas. Offline di beberapa kota di Indonesia (cohort Jakarta, Bandung, Jogja, Bali) tiap sabtu minggu. Setiap minggunya akan diberi tugas baik itu Tech Topic ataupun softskill.

Menariknya adalah kita mendapatkan custom ID cart (Very impressive : which is have our photo on it, plus lanyard dengan logo Bangkit). Kita juga mendapatkan t-shirt dan bolpoint yang bisa menyala jika dipencet (so tech sekali) dan buku tulis.

Sumber foto: pribadi

Setelah beberapa jam belajar tentang Machine Learning, lalu ada ice breaker menulis bingo di soal untuk tahu/mengenal teman baru.

Bingo kuis, sumber: pribadi
Mencari teman untuk mendapatkan Bingo, Sumber foto: Twitter Google Developer Indonesia

Lalu, kita harus mengerjakan soal berkelompok untuk menyelesaikan studi kasus.

Ada Agi dan Adit, teman sekelompok nanti. Sumber foto: HP Agi
Sumber foto: Slack Grup Bangkit

Lalu, kebersamaan itu tiba-tiba lenyap karena Pandemi yang menghantui. Semua kegiatan berkerumun termasuk acara offline ditiadakan. Jadi, hanya ada acara online online dan online. Kita juga sudah tahu bahwa acara online-online memiliki dampak positif juga dampak negatif.

Bangkit Academy In the Middle of Corona

Acara Bangkit tetap dilanjutkan namun, online saja, baik semua tugas, materi, mentoring sampai tugas akhir. Meski begitu kami bisa tetap antusias sampai akhir. Yang menarik adalah dari sekian banyak yang menjadi peserta, nantinya hanya yang terpilih yang akan mendapatkan free voucher Tensorflow Developer. Alhamdulillah di akhir Bangkit, saya mendapatkan juga free voucher tersebut. Namun, ketika mengerjakan soal di nomor terakhir ketika ujian, laptop saya tidak kuat jadi nge-hang dan gagallah saya memiliki sertifikasi internasional Tensorflow Developer (padahal sudah dibayarin). :”

Crying, Source : here

Tapi saya akan menceritakan hal yang menarik lainnya:

Ketika di kelas offline,materi softskill tentang SMART diagram, SWOT dimana saya secara teori sudah tau. Namun, karena momennya tepat bersama teman-teman yang ambis di kelas tersebut. Suatu kali William Florence, bapak2 Google itu tanya ke saya yang lagi nongkrong di deket tangga waktu istirahat. Kenalanlah ceritanya terus tanya saya berasal darimana, asal, dan kegiatan sehari-hari. Saya cerita pakai bahasa enggress ala kadar kalau saya baru lulus kuliah S2 fisika ITB tahun lalu (2019), dan anak saya belum 2 tahun, untuk bisa ke ruangan dan mengikuti kegiatan tersebut saya harus bangun pagi dan masak dll untuk anak dan suami. Lalu ketika di kelas, ceritalah Pak William itu ke semua teman-teman saya tentang saya hehe…. malu saya sih, tapi disini saya baru sadar, teman-teman saya mostly belum nikah, fresh graduate, dan ambisi setinggi gunung Himalaya sedangkan saya datang ke ruangan itu juga tidak tau mau ngapain selain karena lolos ujian doang.

Disini saya baru sadar bahwa saya tidak boleh lagi melihat dari kacamata teman-teman saya yang yang datang ke kelas yaudah datang aja, bisa fokus ngerjain ini itu tanpa distraksi. Saya tidak bisa pakai pikiran itu seperti saat saya masih lajang dan suka naik gunung Ijen serta punya waktu banyak. Saya harus menyadari keadaan bahwa saya menjadi ibu yang kebetulan punya kesempatan langka bisa bergabung dalam momen itu. Kalau saya terus menerus berpikir zaman masih muda, saya tidak akan maju karena halang rintangnya begitu banyak dan tinggi.

Sumber: venngage.com

Disitulah kami diajarin tentang materi2 SWOT, SMART lalu dikasih tugas. Karena tugas itu perlu ditulis jadi akhirnya saya kebayang semua tantangan beserta opportunity yang ada dalam diri saya. Ditulis lalu dikumpulkan, teman-teman bisa membaca tulisan saya disini. Jadi, jelas kalau saya tidak bisa membandingkan diri saya dengan teman-teman saya di kelas tersebut meski kita mendapat pelajaran yang sama di kelas itu. Istilahnya “we are not in the same boat”.

sumber: gettalkative.com

Demikianlah Aha moment dimana saya akhirnya pertama kali punya mentor orang indonesia (perempuan dan dulunya mahasiswa computer science UI) yang bekerja di Google Jepang. Kalau sekarang ditanya bagaimana caranya saya belajar? saya cuma try everythings that works or not, every single day (although its just in minutes).

Waktu itu email2an dengan mentor saya tersebut,beliau dia bilang gini:

email with my mentor, sumber: pribadi

Saat membaca email ini lagi sekarang (2023), saya senang karena saya sudah punya kepercayaan diri jauh lebih besar daripada saat dulu di Bangkit dimana saya minder dikelilingi teman dan mentor keren. Aha moment yang mengubah pandangan saya terhadap diri saya sendiri sebagai ibu, sebagai manusia yang punya mimpi. Tapi yang jelas, memang progress saya pelan sekali karena saya sampai sekarang pun tidak bisa lari kencang (dalam belajar).

Selanjutnya saya akan menceritakan kenapa akhirnya saya tidak memilih jalur Machine learning/Artificial Intelligent/istilah2 lainnya

Kak Adhi, ketua himpunan informatika ITB pada zamannya di akhir acara kelulusan Bangkit, menceritakan journeynya selama ini untuk tetap berada pada jalur machine learning. Beliau bekerja di tech company di London sambil S3 disana. Karena beliau menceritakan plus minus perjalanan karirnya, dengan cemerlangnya kemampuan beliau pun tidak serta merta perjalanannya menjadi mulus. Ada masa-masa beliau tidak dibayar, ada masa-masa yang menyedihkan yang jika saya pikirkan terjadi pada diri saya, saya tidak bisa menanggung hal itu. Setelah itu barulah saya pikir bahwa saya tidak mau untuk berada pada bidang ML/AI yang saat itu zaman 2019–2020 lagi hits banget, kesimpulannya sederhana: terlalu sulit serta saya tidak punya privilese besar agar saya mampu berada pada bidang ML/AI.

Saya berpikir kira-kira apa ya yang ingin saya lakukan, mengingat saya juga tidak mau melanjutkan bidang perkuliahan semasa S1 dan S2. lalu saya mendapat jawaban yaitu Cloud Computing. Sebenarnya di 2019 saya pernah belajar tentang hal ini, meski gagal mendapatkan sertifikasi, setidaknya saya pernah belajar dan meski tidak paham banget, barulah di akhir tahun 2020 saya mencoba lagi untuk belajar lagi lebih giat dan berhasil mendapatkan Cloud Practitioner Certification saya sudah menulis disini . Setelah saya mendapatkan sertifikasi, lumayan ada company yang “approach” di Linkedln meskipun saya tahu kemampuan saya masih batas bawah. Tapi, saya senang belajar dan suka tantangan. Selanjutnya yang paling terasa adalah momentum diterima sebagai bagian komunitas Internasionalnya Cloud pertama di dunia, yaitu AWS atau Amazon Web Services, komunitas AWS Community Builder(yang sekarang sedang ada seleksi dibuka sampai tanggal 23 januari 2023!) pada 2021, yang dirintis Jason Dunn pada akhir 2020. Disini terasa sekali proses belajarnya karena saya harus mampu dan berani membuat project seperti tutorial/materi sederhana. Saya memang hanya mampunya seperti itu, tidak seperti teman-teman yang sudah suhu. Tapi nyatanya meskipun berada pada satu grub dengan teman-teman yang super duper jago, saya tidak terlalu minder seperti dahulu. Berikut video tutorial (kebanyakan tentang AWS) di Youtube saya :

Mungkin saya banyak sekali melakukan kesalahan, saya belum juga jago bahasa Inggris tapi setidaknya saya berani tampil dan agak percaya diri. Menariknya karena AWS Community Builder juga saya kebetulan dipilih oleh Shafraz Rahim, untuk bisa berpartisipasi pada AWS Community ASEAN 2021 yang berasal dari Indonesia, video disini. Terima kasih banyak Shafraz!

Setelah itu saya mendapatkan kesempatan seperti bekerja based on project di awal tahun 2022 (Bapaknya tidak mau disebutkan namanya, tapi Terima kasih banyak Pak :D yang sudah memberi saya kepercayaan pada saya untuk bisa menyelesaikan project tersebut). Di tahun 2022 saya fokus mendapatkan sertifikasi internasional yakni Solution Architect Associates (SAA) C-03, saya sudah menulis disini dan saya sudah menjelaskan journeynya di komunitas AWS disini. Juga, setelah saya mendapatkan SAA, saya banyak diwawancara oleh perusahaan baik di Indonesia dan di luar negeri untuk bisa bergabung, sampai saya ditanyakan, kamu maunya seperti apa sih mbak?

Saya jelas jawabannya:

  1. Work from Home karena saya sedang hidup di kabupaten sekarang, saya tidak bisa bekerja di Jakarta ataupun kota2 besar lainnya.
  2. Part-time karena saya tidak bisa bekerja secara full-time karena saya juga ibu rumah tangga tanpa helper/pembantu/ART dengan 1 anak yang sedang bersekolah di taman kanak-kanak, sedangkan suami saya Work From Home, full-time 8 jam perhari. Jika saya 8 jam per-hari bekerja juga maka bisa runyam rumah tangga ini. Saya inginnya 4 jam/hari maksimal.

2 Syarat itu ternyata susah sekali dikabulkan di perusahaan Indonesia. Mungkin itu terkait dengan perundang-undangan, masuknya freelancer bukan pegawai. Karena itulah saya belum bisa diterima meskipun bapak pewawancara sangat welcome, terima kasih banyak pak/kak!

Akhirnya saya berlabuh di perusahaan tech jepang, kantornya di Osaka, itu karena diajak teman saya yang dahulu bekerja disana (Terima kasih teman fisika saya yang selalu jago!), dimana kantornya butuh seorang SAA agar perusahaan menjadi AWS Partner. Sejak bulan November 2022, saya bekerja secara WFH dan Part-time, dua syarat itu sudah bisa dikabulkan di perusahaan ini. Meski saya bekerja secara kontrak (yang diperbarui tiap beberapa bulan), bagi saya itu tidak menjadi masalah karena saya bisa bekerja dan berkarya di bidang tech, menariknya lagi yang saya kerjakan kebanyakan hal yang sudah saya pahami terkait Cloud Computing di AWS. Selain itu, saya belajar mandiri atau otodidak untuk bisa terus mengasah hal-hal yang perlu saya pelajari terkait tech. Termasuk belajar selain Cloud Computing dan sabar jika proses belajarnya pelan. Saya juga harus bersiap diri jika kontrak berakhir termasuk belajar teknologi apa yang sedang viral di komunitas tech, atau skill yang perlu lebih saya tajamkan di tahun 2023 ini termasuk memperbarui portofolio.

Jadi, ketika membaca tulisan tentang pindah haluan di tahun 2020 lalu saya memang sudah setengah jalan dalam proses belajar dan yakin untuk tetap di bidang tech karena alasan fleksibilitas yakni bisa bekerja dari rumah (penting untuk ibu seperti saya), di lain sisi sebenarnya saya di tahun 2019 tidak berekspektasi banyak tentang perjalanan saya di dunia tech dengan background fisika, yang saya pahami bahwa saya diberikan petunjuk untuk tidak berkarir di bidang perkuliahan saya, dan masalahnya saat itu saya tidak tau mau kemana. Jadi, awalnya teman saya mengajak ikut kegiatannya DTS, lanjut Bangkit, lanjut AWS CB (rentang waktu 2019 sampai 2023 sekarang) saya ikut kemanapun angin membawa saya melangkah. Yang menjadi tantangan menurut saya adalah kelemahan diri untuk bisa konsisten belajar tech tahap demi tahap, pelan-pelan setiap hari, itu sangat sulit dan lama. Jadi sebenarnya saya berhadapan dengan kemalasan saya sendiri. Dan karena sekarang sebagai pegawai, tentu saja jika Pak Bos Jepang memberikan kerjaan baru, sebisa mungkin saya mengerjakannya dengan baik, kalau ada salah dan kurangnya pasti diberi tahu, saya senang mendapatkan feedback. :D

Terima kasih Bangkit Academy, AWS Community Builders, semua teman-teman dan komunitas yang mendukung saya dalam proses belajar sejak 2019 sampai tahun 2023 ini. Saya beruntung memiliki teman hidup/suami yang mendukung saya untuk waras dengan cara bekerja seperti ini, dan kebetulan bidangnya di tech juga. Di tahun 2021 laptop saya oleh suami diubah OS-nya dari Windows ke Linux Ubuntu, dimana saya pusing sekali hanya untuk sekedar install, mau tidak mau saya harus belajar karena meskipun suami saya seorang engineer, dia tidak mau membantu saya karena masalah saya harus dihadapi oleh diri saya sendiri :”)) dan latihan seperti itu membantu saya ke depannya ternyata.

Jadi, ada beberapa tantangan bagi ibu rumah tangga yang bisa saya simpulkan:

  1. Bersiap-siap bahwa perjalanan mungkin akan panjang dan lambat, solusi yang saya kerjakan adalah dengan memiliki jurnal pribadi baik itu ditulis maupun diketik, mana yang berhasil, mana yang gagal disertai time frame, ulangi gagal ulangi gagal koreksi/evaluasi, ulangi lagi.
  2. Meminta dengan jelas dukungan kepada suami untuk bisa bekerja dengan maksimal, serta pembagian pekerjaan domestik serta alur atau ritme hidup keseharian. Makin kesini suami saya sudah lihai mengurus rumah seperti cuci piring, cuci baju pakai mesin cuci, menjemur, menyetrika termasuk mengurus Anak. Meski kadang tidak SNI(Standar Nasional Istri) misalnya membersihkan mejikom bukan dengan busa tapi dengan kawat kasar yang membuat lapisan dalam mejikom terkelupas, atau menyetrika dengan cara menghantamkan setrikaan dari atas ke bawah, bukan dengan menyeret secara halus agar koefisien gesek kinetik lebih besar dibanding koefisien gesek statis, ya sudah tidak apa-apa, kalau sedang waras akan saya beritahu baik-baik, kalau tidak ya ngegas dikit hahaha… maaf. Tapi, terima kasih banyak sudah membantu!
  3. Dukungan dari keluarga besar. Alasan pindah ke kabupaten adalah disini saya ada keluarga. Bagi kami sepertinya sudah cukup hidup merantau beberapa tahun harus apa-apa kuat dilakukan sendiri. Jadi, dengan adanya keluarga besar, saya lebih punya banyak dukungan. Meskipun keluarga kecil kami tidak serumah dengan keluarga besar. Namun, kehadiran keluarga besar sangatlah membantu perjalanan ini.
  4. Anak sekolah. Ini alasan utama saya mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Meskipun anak saya saat itu masih bayi, saya berjuang untuk bisa bekerja secara freelancer dan belajar di acara/kegiatan yang sudah saya sebutkan tadi agar ketika anak saya sudah sekolah seperti sekarang saya sudah punya pengalaman. Saat itu, saya proyeksikan diri saya dalam rentang beberapa tahun, lalu saya tuliskan dengan detail apa yang saya kerjakan, sehingga saya tidak perlu buang-buang waktu untuk belajar dari nol lagi, dan ketika ditanya apa pengalaman saya, saya bisa menjawab dengan tegas, ya meskipun pengalamannya tidak yang wah2 juga sih haha.
  5. Minta petunjuk sama Allah, harusnya ini nomor pertama. Ibu rumah tangga atau khususnya perempuan memiliki bakat/potensi yang berbeda-beda, ada yang bakatnya memasak, ada yang bakatnya domestik bahkan menjadi ahlinya ahli seperti Bu Marie Kondo, ada yang bakatnya guru sehingga membuat kurikulum pelajaran secara otentik kepada anak, ada yang bakatnya jualan dan entreupeneur, ada yang bakatnya harus bekerja dan berkarya dari kantor, dsb. Karena bersifat unik, maka satu dengan yang lain tidak bisa dibandingkan karena jelas tantangannya berbeda. Minta petunjuk sama Allah agar bisa dibulatkan tekad misalnya menempuh jalan yang ini bukan jalan yang itu, dan mungkin perlu juga uji coba yang panjang pula, belum tentu langsung berhasil. Tapi, setidaknya sudah meminta petunjuk sama yang memiliki diri kita itu sudah satu poin keberhasilan.
  6. Menstrukturkan pikiran. Dulu semasa saya kuliah saya bekerja part-time sebagai jurnalis. Karena sudah dilatih terus menerus untuk menulis, saya lebih mudah untuk menstrukturkan pikiran saya yang ruwet agar menjadi rapi sedikit. Menulis adalah cara saya menghadapi Post-Partum Depression(PPD) atau Depresi setelah melahirkan yang luar biasa melelahkan, meskipun jauh-jauh hari saya sudah membaca teori tentang PPD, kenyataannya saat saya menghadapi Depresi setelah melahirkan benar nyatanya bahwa saya tidak bisa mengendalikan diri pada saat tertentu misalnya sedang stres mengurus rumah dan anak. Dengan tulisan, saya tulis apa yang saya rasakan, dan mengapa hal itu terjadi. Memang tidak langsung mencapai solusi, tapi setidaknya saya tahu apa yang sedang terjadi pada tubuh seorang perempuan setelah ia melahirkan (beserta kesakitan dan kebahagiaannya), dan hormon apa yang mempengaruhi. Menulis adalah cara hiling murah dan tools yang ampuh untuk tahu apa yang sebenarnya kita cari, kita gali dari dalam diri. Tapi, bisa jadi menulis bukan satu-satunya cara, ada yang menggambar, bercerita/mendongeng, ada pula yang membuat lagu/puisi/cerpen, apapun medianya tujuannya sama yaitu menstrukturkan pikiran. Funfactnya: dengan saya belajar (diluar dari urusan anak dan domestik) tech ternyata membuat PPD saya lebih menurun. Hal itu bisa jadi karena faktor saya sejak kanak-kanak terbiasa belajar, setelah lulus S2 lalu tiba2 saya tidak belajar (serius & menegangkan, plus ada ujian yang terstandarisasi) maka mengakibatkan lebih mudah stres. Memang belajar pun membuat stres, namun stres karena belajar lebih saya sukai dibanding stres karena bengong ditambah PPD yang banyak overthinking. Karena setiap orang berbeda, bisa jadi tidak ada satu solusi yang sama, saran saya: ketahuilah apa yang membuat diri ibu menjadi senang, apakah dengan belajar terkait materi tertentu, apakah dengan menjahit? atau membuat partai politik hehe? atau bersilaturrahmi dengan teman-teman? dll.

Maka, rentang setelah kelulusan dari master di fisika ITB tahun 2019 sampai tahun 2023 saya belajar tentang tech banyak sekali jika ditotal. Tentu saja yang menjadi tantangan adalah bukan hanya karena saya seorang ibu, tapi juga saya belum pernah belajar tentang tech sama sekali. Enam tahun (S1 dan S2) saya habiskan untuk mengerjakan hal terkait fisika, saya hanya memiliki kemampuan analitik dan riset. Ketika saya melihat teman-teman perempuan yang bekerja di tech rata-rata background kuliah sudah mendukung (Computer science program), dan kalau laki-laki rata-rata lebih beragam (ada yang basicnya CS, ada yang juga tidak). Menarik sekali proporsinya, sedangkan ada yang bilang kalau perempuan kuat di rasa, laki-laki di logika, ungkapan umum ini tidak benar. Karena bisa jadi alasannya: para perempuan belum terbiasa dan belum tahu kira-kira harus belajar tech seperti apa dan bagaimana sedangkan laki-laki sudah diberi kesempatan lebih awal belajar komputer karena perkenalan dengan game saat masih kecil. Karena dengan background fisika dan pengalaman riset semasa kuliah, saya membuat alur dan proses belajar saya sendiri dengan cara uji coba alias trial error atau bisa disebut eksperimen, mungkin tidak sempurna, tapi dengan mencoba saya lebih banyak belajar.

Demikianlah cerita atau pengalaman saya dalam belajar tech, tentu saya katakan saya belum berhasil 100%, dan mungkin tidak akan pernah sampai 100% seperti yang saya cita-citakan, tapi saya senang sekali berkarya di bidang tech ini karena alasan-alasan tadi dengan dukungan banyak pihak. Termasuk saat kegiatan Bangkit, saya diberi tahu untuk membetulkan profile Linkedln agar recruiter yang mencari kita (dan benar sekali!), sampai membetulkan Curriculum Vitae (CV) yang masih kacau. Terima kasih teman-teman yang berjasa dalam membantu saya!

Tetap semangat ya kita para perempuan!

Jika ada yang ingin ditanyakan secara spesifik, boleh dm ke linkedln saya, insya Allah saya bisa membantu karena hidup saya sudah dibantu oleh banyak orang. :D

Nova, newbie at everything so that she can learn anything. Cheers!

--

--