(Katanya) Tidak Pernah Lagi : Raphael Lemkin dan Peringatan Hari Pencegahan Kejahatan Genosida (Part II)

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
10 min readDec 21, 2020

Penulis: Irfan Fadilah

“Honourable Judges, every genocide that has occurred in history has had its own causes, unique to its historical and political context. But one thing is certain, genocide does not occur in a vacuum. It does not suddenly spring up or appear overnight out of the blue; it is preceded by a history of suspicion, mistrust, and hateful propaganda that dehumanizes the other, and then crystallizes into a frenzy of mass violence, in which one group seeks the destruction, in whole or in part, of another”

– HE. Aboubacarr Marie Tambadou, Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Gambia dalam Persidangan Mahkamah Internasional, Case concerning Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (The Gambia v. Myanmar)

Sumber: https://cutt.ly/QhOnsjX

Di tulisan pertama kita sudah membahas mengenai Raphael Lemkin dan warisannya terhadap Konvensi Genosida. Pada tulisan ini, kita akan membahas mengenai mengapa pada akhirnya warisan Lemkin tersebut penting dan juga akan membahas mengenai genosida dalam rumusan hukum dan sebagai sebuah tahapan yang dapat dicegah.

Kejahatan Tanpa Nama itu Akhirnya Diberi Nama

Winston Churchill, PM Inggris pada waktu Perang Dunia II pernah bilang bahwa kekejaman yang dilakukan Nazi (dalam ini Holocaust) sebagai sebuah kejahatan tanpa nama (a crime without a name). Mungkin pertanyaan yang timbul di benak pikiran kita adalah, kok bisa ya kejahatan sebesar dan sehancur Genosida dibilang sebagai sebuah “kejahatan tanpa nama?” di sini terlihat bahwa Lemkin sendiri memiliki jasa yang BESAR (that’s right, pake capslock karena memang benar-benar besar jasanya, I’m not even joking). Emangnya, sebenarnya sebesar apa sih jasa beliau dalam memperjuangkan genosida sebagai sebuah kejahatan berdasarkan hukum internasional? Nah di subbagian ini, kita akan coba membahas mengenai genosida tidak hanya sebagai sebuah gagasan, namun sebagai bagian dari rumusan hukum yang bersifat definitif.

Kejahatan genosida sebelum akhir Perang Dunia II memang bukan merupakan sebuah kejahatan yang secara definitif diatur menurut hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional, meskipun ketika kita melihat kepada fakta sejarah, kekejaman serupa pada dasarnya telah berulang kali terjadi, bedanya hanya siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban.

Perlu dipahami bahwa kejahatan sebesar Genosida umumnya (walaupun tidak selalu) dilakukan di bawah arahan, atau setidaknya dari pembiaran oleh negara di mana hal tersebut terjadi. Atau dalam kata lain, seringkali dilakukan karena adanya landasan kebijakan negara (state policy). Konsekuensinya? Well, let’s say bahwa kemungkinan adanya penuntutan terhadap siapa yang jadi pelakunya jadi sangat kecil (ya iyalah masa dia yang ngelakuin terus dia sendiri yang bilang bahwa dia sendiri harus dihukum?).

Makanya, fenomena kelembaman hukum (tidak mampunya sebuah sistem hukum untuk mengadili kejahatan) ini pada akhirnya tidak banyak membantu supaya pelaku ini dapat dimintai pertanggungjawabannya. Ditambah lagi pada waktu sebelum terciptanya konvensi genosida, kekejian ini tidak bisa ditindak Karena adanya benteng besar yang namanya kedaulatan (sovereignty). Perdebatan ini pernah Lemkin temui sewaktu kuliah di kota Lvov (sekarang Lviv, Ukraina) pada saat mendiskusikan mengenai pembunuhan massal yang dilakukan oleh Talaat Pasha (Menteri Dalam Negeri Turki) dalam pelaksanaan Genosida Armenia yang memakan korban hingga 800.000 hingga 1.2 juta etnis Armenia pada 1915. Sang profesor yang pada saat itu mengajar Lemkin memiliki analogi unik untuk menjawab mengapa kejahatan semacam ini tidak dapat ditindak secara hukum.

Tentara Armenia yang menunggu eksekusi. Sumber: https://cutt.ly/hhY482l

Dalam diskusi tersebut sang profesor itu menganalogikan sebuah petani yang memiliki beberapa ekor ayam di kandangnya. Kemudian, si petani tersebut kemudian membunuh ayam tersebut untuk dimakan (atau bahkan buat ritual aneh-aneh? Ya gapapa sih). Apakah kita boleh ikut campur dan melarang si pemilik tersebut buat menyembelih ayam tersebut? Tentu tidak bisa, mengingat ayam tersebut merupakan properti si petani tersebut.

Lemkin tentu menyadari bahwa contoh diatas merupakan contoh dari pemahaman yang sempit mengenai makna kedaulatan. Bagi Lemkin, ide mengenai kedaulatan tidak dapat diartikan bahwa negara dapat berbuat apapun terhadap rakyatnya (“propertinya”). Kedaulatan, menurut Lemkin adalah “conducting an independent foreign and internal policy, building of schools, constructing of roads, in brief, all types of activity directed towards the welfare of people, ….and shall not be conceived as the right to kill millions of innocent people”.

Nah atas pemikiran ini seharusnya tergambar bagaimana situasi masyarakat internasional memandang kejahatan genosida, di mana kejahatan ini pada intinya bersembunyi dibalik benteng yang bernama kedaulatan negara. Makanya, sebenarnya ide Lemkin sendiri penting dalam artian bahwa Konvensi Genosida yang merupakan penjelmaan atas terciptanya kaidah baru hukum internasional, dimana setidaknya dengan telah ditetapkannya Genosida sebagai sebuah kejahatan internasional, narasi kedaulatan yang absolut setidaknya menjadi tidak lagi sepenuhnya relevan.

Tadi kita sudah berbicara mengenai kenapa dulu kejahatan ini sempat tidak punya nama. Nah sekarang, sebenarnya Genosida itu artinya apa sih kalo berdasarkan konvensi ini?. Singkatnya, ada tiga hal yang menjadi pilar dari konvensi ini. Pertama, konvensi ini mengatur bahwa Genosida merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, sekelompok bangsa, etnis, ras, atau kelompok keagamaan tertentu, dimana hal ini dapat dilakukan dengan cara;

  1. Membunuh anggota dari kelompok tertentu;
  2. Mengakibatkan kerusakan fisik atau jiwa terhadap anggota dari kelompok tersebut;
  3. Secara sengaja menciptakan kondisi kehidupan terhadap suatu kelompok yang mengakibatkan adanya kehancuran fisik seluruhnya atau sebagian;
  4. Menerapkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran suatu kelompok; atau
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kedua, Konvensi ini mengatur bahwa Genosida merupakan sebuah tindakan yang dapat dihukum, baik dalam keadaan perang maupun damai. Mengapa rumusan ini penting? Karena hal ini penting untuk membedakan antara narasi mengenai kejahatan perang yang memang membutuhkan pembuktian adanya konflik bersenjata (baik internasional maupun non-internasional). Ketiga, Konvensi ini juga memberikan kerangka yang memberikan kewajiban terhadap masyarakat internasional untuk menindak dan menghukum mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan ini. Pengaturan ini sendiri memiliki arti penting untuk mencegah adanya impunitas akibat tidak dapat bertindaknya masyarakat internasional atas kejahatan ini.

Tidak Berada di Ruang Hampa

Kejahatan sebesar dan sekejam genosida sendiri bukan sesuatu yang terjadi dalam semalam sebagaimana kejahatan pada umumnya. Ia melibatkan perencanaan yang matang dan sistematis dari tiap aktornya mulai dari tingkat yang paling atas hingga pelaksana di tingkat lapangan. Semenjak (resmi) menjadi sebuah kejahatan internasional, studi mengenai Genosida mengalami perkembangan yang lebih pesat. Fenomena ini tidak hanya menjadi monopoli bagi para ahli hukum (khususnya hukum internasional) sebagaimana Lemkin. Akan tetapi, studi mengenai genosida telah berkembang secara multidisipliner yang menghasilkan pengkajian dengan aspek yang lebih beragam dan dapat menghasilkan pengetahuan yang komprehensif terhadap fenomena ini.

Perkembangan ini pada akhirnya menghasilkan sebuah paradigm bahwa kejahatan seperti genosida sebagai sebuah hal yang dapat diobservasi. Hasilnya? Kita dapat melihat fenomena seperti ini sebagai sesuatu yang dapat dicegah. Gregory Stanton, seorang pakar yang menekuni studi tentang genosida dan penemu Genocide Watch — sebuah NGO yang berkecimpung di bidang pencegahan kejahatan genosida — menguraikan bahwa kejahatan genosida sendiri pada dasarnya terdiri dari sepuluh gejala krusial yang dapat diprediksi, namun bukan merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Tanda-tanda tersebut yakni;

  1. Klasifikasi, yakni tahap dimana mulai terjadi perpecahan antara “kita” dan “mereka”. Atau dalam hal ini, “pelaku” dan “korban” (misal: Etnis Hutu dan Tutsi di Rwanda, Orang Jerman dan Yahudi)
  2. Simbolisasi, yakni tahapan dimana perpecahan tersebut mulai dimanifestasikan dalam bentuk asosiasi sekelompok orang dengan lambang tertentu (misal: Etnis Tutsi diidentikan dengan suatu ciri fisik tertentu, dan orang Yahudi diberikan tanda Bintang David berwarna emas di depan rumahnya pada saat holocaust)
  3. Diskriminasi, yakni tahapan dimana grup yang menjadi pelaku menggunakan institusi hukum, masyarakat, politik, dan institusi ekonomi untuk menghalangi kelompok korban dari haknya. Dalam tahap ini, kelompok yang menjadi korban misalnya dilucuti hak-hak sipilnya, atau dalam hal yang paling ekstrim, dilucuti dari kewarganegaraannya.
  4. Dehumanisasi, yakni suatu tahapan dimana terdapat usaha untuk merendahkan suatu kelompok dari kodratnya sebagai manusia. Pada tahapan ini, kelompok pelaku mulai melihat kelompok korban sebagai kelompok yang tidak sederajat, sehingga berhak untuk “dihilangkan” (misal: dalam konteks genosida Rwanda, Etnis Tutsi digambarkan sebagai inyenzi (Kecoa) yang harus ditumpas oleh Etnis Hutu)
  5. Organisasi, yakni suatu tahapan yang mulai masuk kepada perencanaan yang sifatnya lebih konkrit untuk memulai tindakan genosida. Kalau dalam tahapan 1–4 sifatnya masih bersifat ideologis, dalam tahapan kelima ini kita sudah melihat perencanaan yang lebih teknis yang mengarah kepada pelaksanaan pembantaian secara langsung.
  6. Polarisasi, yakni tahapan dimana sudah terdapat perpecahan secara lebih tajam antara kelompok yang bertikai. Propaganda yang menyiarkan kebencian sudah mulai tersebar di berbagai media massa. Pada tahapan ini pula, mereka yang memiliki stance moderat di kedua belah pihak merupakan yang paling rentan dari serangan, ditengah adanya urgensi untuk mengambil sikap
  7. Persiapan, yakni tahapan dimana setelah perencanaan oleh pelaku sudah dianggap matang dan mulai mengacu kepada konsolidasi untuk memulai pelaksanaan genosida. Narasi yang lebih konkrit untuk memulai pembantaian mulai dirancang dibawah premis tertentu seperti “pembersihan etnis”, “pemurnian”, hingga “kontra-terorisme”
  8. Persekusi, yakni merupakan tahapan terakhir sebelum pelaksanaan pembantaian. Pada tahap ini, korban sudah diidentifikasi dan dipisahkan dari masyarakat secara umum Karena etnisitas atau identitas keagamaannya. Korban biasanya mulai dikonsentrasikan pada suatu tempat dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Orangtua mulai dipisahkan dari anak-anaknya, dan laki-laki dan perempuan mulai dipisahkan untuk mencegah adanya potensi perlawanan.
  9. Pemusnahan, yakni tahapan pelaksanaan kejahatan genosida. Pada tahapan puncak ini, segala hal digunakan untuk memusnahkan sebagian atau seluruh kelompok. Pemakaian regu tembak secara massal, pemerkosaan, penganiayaan, hingga metode lainnya digunkaan untuk melancarkan aksi kejahatan ini. Pada tahap ini, sudah banyak sekali korban yang jatuh bergelimpangan, dan hanya intervensi yang cepat dan luar biasa yang dapat menghentikan aksi ini.
  10. Penyangkalan, merupakan tahapan terakhir yang terjadi setelah genosida terjadi. Pada tahapan ini, pelaku berusaha menyembunyikan jejak kejahatannya, seperti membangun kuburan massal, pembakaran jasad, hingga hal-hal seperti perusakkan alat bukti dan intimidasi terhadap saksi. Pelaku menyangkal telah terjadi kejahatan tersebut dan seringkali memutarbalikkan fakta seolah-olah mereka merupakan korban, bukan merupakan pelaku.

(Katanya) Tidak Pernah Lagi? : Sebuah Refleksi

Raphael Lemkin memang telah sukses dalam kampanyenya untuk memasukkan genosida sebagai sebuah kejahatan berdasarkan hukum internasional. Sudah 72 tahun konvensi tersebut disahkan dan lebih dari 150 negara meratifikasi (dan mengaksesi) konvensi tersebut, belum lagi dihitung negara yang mungkin tidak meratifikasi tapi “mengamini” definisi dengan mengadopsi secara persis definisi kejahatan genosida berdasarkan konvensi tersebut seperti Indonesia. Tapi, apakah sebenarnya tujuan mulia dari konvensi tersebut, yang digambarkan dengan jargon yang terkenal yakni Never Againtelah terpenuhi?

Kamboja (1975), Rwanda (1994), Srebrenica (1995), Darfur (2003), hingga Rakhine State (2016) pada akhirnya masih menjadi bukti bahwa kejahatan bengis seperti genosida masih ada di dunia ini. Bahkan, perkembangan terbaru menyajikan fakta bahwa dengan semakin banyaknya konflik-konflik lokal maupun regional di berbagai belahan dunia masih memungkinkan potensi genosida lainnya kembali terjadi. Selain masih maraknya konflik horizontal, hal ini juga diperparah dengan masih maraknya pelaku impunitas bagi pelaku kejahatan genosida yang ongkang-ongkang kabur ke luar negeri untuk menghindari penuntutan, apakah penuntutan di depan pengadilan nasional atau di depan pengadilan internasional seperti ICC, ICTY, ICTY (sekarang ICTY dan ICTR sudah diganti dengan IRMCT), dll.

Felicien Kabuga, salah satu penyandang dana dalam Genosida Rwanda yang baru tertangkap setelah buron selama 26 Tahun. Sumber: https://cutt.ly/7hUfwLN

Pasca Lemkin, Genosida memang sudah merupakan sebuah kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional. Akan tetapi, beberapa kondisi yang ada yang memungkinkan pelaku kejahatan ini untuk tidak ditindak semasa zaman Lemkin masih ada. Tameng kedaulatan masih merupakan sebuah basis untuk melindungi (atau bahkan menjustifikasi praktik genosida) dengan berbagai dalih. Belum lagi memperhitungkan praktik masyarakat internasional (atau bahkan negara-negara yang dianggap kapabel untuk mencegah genosida) masih menghitung untung-rugi untuk mencegah sebuah genosida. Selain hal tersebut, selaiknya masalah hukum internasional selagi jaman baheula, yakni mengenai penegakkan hukumnya masih memiliki kendala tersendiri, dimana peranan politik internasional masih lebih kentara proporsinya dibandingkan dengan hukum internasional itu sendiri?

Ok, terus solusinya gimana kalau begitu? Kita harus ngapain?. (Disclaimer: paragraph ini dan dibawahnya mungkin akan terdengar cukup ngawang). Well, pencegahan kejahatan genosida seyogyanya membutuhkan solusi yang komprehensif dari hulu ke hilir. Lemkin memang telah meletakkan fondasi genosida sebagai kejahatan internasional dengan diadopsinya Konvensi Genosida pada tahun 1948. Namun, usaha pencegahan (dan penegakkan hukum) juga tidak logis kalau hanya bertumpu pada mekanisme internasional. Perlu usaha yang dilakukan secara domestik supaya potensi kejahatan seperti ini bisa diminimalisir.

Setidaknya dari lingkup domestik, pencegahan genosida misalnya dapat dilakukan dengan memperkecil potensi konflik horizontal yang dapat berujung kepada konflik terbuka, misalnya setidaknya dalam suatu aspek, penguatan moderasi beragama dan internalisasi nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Selain itu, penguatan mekanisme penegakkan hukum yang menindak kejahatan kebencian (hate crimes) hingga mekanisme peringatan dini (early warning system) terhadap potensi kejahatan genosida dapat dimaksimalkan. Negara juga dalam hal ini dapat memperkuat sistem peradilannya untuk memberi pesan bahwa segala pelaku dan pembantu kejahatan ini pada akhirnya dapat ditindak dengan hukum.

Dari lingkup internasional, sebuah genosida dapat dicegah utamanya melalui penguatan diplomasi multilateral, khususnya dengan memaksimalkan mekanisme HAM PBB , baik yang Treaty Based maupun Charter Based untuk menjalin kerjasama antarnegara. Selain itu, penguatan doktrin responsibility to protect (R2P) perlu benar-benar dipraktikkan murni untuk mencegah kejahatan ini untuk terjadi. Masyarakat internasional dalam hal ini harus memiliki kesadaran bahwa pencegahan genosida, sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Genosida merupakan kewajiban internasional yang sifatnya Erga Omnes. Selain meningkatkan kesadaran bagi masyarakat internasional, penguatan institusi internasional seperti PBB dan organ-organnya, maupun organisasi internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional harus diperkuat dengan political will dari masyarakat internasional sebagai mekanisme yang dapat digunakan untuk menindak dan mencegah kejahatan genosida terulang kembali.

Pada intinya, keputusan kata apakah kata “Never Again” benar-benar terealisasi di masa depan, atau bahkan berubah jadi “Over and Over Again” dikembalikan lagi ke masyarakat internasional dan negara masing-masing. Raphael Lemkin mungkin telah meletakkan pondasinya 72 tahun lalu, apakah kita akan membangun berdasarkan pondasi tersebut, atau malah mengabaikannya, only time will tell. But I sincerely hope that it’ll really never (happen) again

Sumber Referensi:

[1] Schabas, William. Genocide in International Law: The Crimes of Crimes. Cambridge University Press, 2003.

[2] Naimark, Norman M. Genocide: A World History. Oxford University Press, 2017.

[3] Dan Eshet. Totally Unofficial: Raphael Lemkin and The Genocide Convention. Facing History and Ourselves Foundation Inc, 2007.

[4] OHCHR. “Genocide: “Never Again” has beome “Time and Again”” https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/Genocide0918-7808.aspx . Diakses 11 Desember 2020

[5]Genocide Watch. “The Ten Stages of Genocide”. https://www.genocidewatch.com/tenstages. Diakses 11 Desember 2020.

[6] Perserikatan Bangsa-Bangsa. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. UNTS 78 (1948)

[7] Indonesia. Undang-Undang Pengadilan HAM. Undang-Undang №26 Tahun 2000. LN №208 Tahun 2000. TLN 4026.

[8] Mahkamah Internasional. “Case concerning Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (The Gambia v. Myanmar)”. Verbatim Record of Public Sitting (10 December 2019). CR 2019/48.

--

--