Work-Life Balance vs Work-Life Integration

Menjalankan organisasi dengan lebih menyenangkan

Ilham Muzakki
Beranda Pagi
9 min readJan 23, 2021

--

Beranda pagi mencoba terbit lagi dengan bahasan yang baru, mungkin sampai saat ini akan tetap coba dikontekskan dengan organisasi kemahasiswaan, karena pelajaran yang saya dapat masih dari situ.

Work-life balance

Akhir-akhir ini kita sangat sering mendengar yang namanya work-life balance. Hal ini sering dikemukakan karena di lingkungan kita sendiri sudah mulai terasa banyak yang burn out. Mungkin sudah mulai banyak yang terlalu memaksakan kerja dan kurang menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Kondisi pandemi yang memaksa kita work from home pun ternyata bahkan semakin memperparah kondisi psikologis kita menjadi lebih buruk (Dubey et al., 2020; Islam et al., 2020).

Alhasil kita semua mulai mencari cara bagaimana menyeimbangkan antara bekerja, belajar, dan bermain. Menyeimbangkan antara waktu untuk orang lain dan waktu untuk diri kita sendiri. Menyeimbangkan waktu antara yang dihabiskan dengan keluarga dan calon keluarga (eh?).

Menurut Greenhaus (2002) work-life balance yakni adanya kesesuaian fungsi/peran di saat bekerja dan saat di rumah dengan hasilnya terjadi minim konflik antara keduanya. Jadi tidak ada yang tumpang tindih dan bahkan peran kita di rumah dan di saat bekerja, tidak saling membuat ‘konflik’. Ketika salah satu bagiannya tidak seimbang, misal jika menurut White et. al. (2003), terlalu berlebihan dalam bekerja, dampaknya bisa menghasilkan kelelahan dan kegelisahan (serta kondisi psikologis yang lain) sehingga memengaruhi kualitas diri kita saat di rumah dan waktu bersama keluarga.

Berlaku sebaliknya ya.

Keluarga dan diri kita sendiri pada dasarnya memiliki tuntutan yang sama dengan pekerjaan kita. Kita di keluarga kita memiliki fungsi dan perannya masing-masing, begitu juga dengan kita yang harus memimpin diri kita sendiri.

Alangkah indahnya jika kita bisa dengan baik menjalankan peran kita masing-masing pada tempatnya. Kerjaan selesai, keluarga senang, hati pun riang gembira~

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Namun bagaimana jika akhirnya kondisi kita pagi-siang-sore kuliah, malam baru berorganisasi atau nugas, lalu baru tidur menuju pagi. Weekend pun sama, dari pagi sudah kumpul organisasi sampai malam, ya bisa nyempil-nyempil dikit olahraga pagi. Dengan jadwal yang begitu terus setiap hari, jadi berapa banyak waktu untuk diri sendiri?

Apalagi online begini. Bisa 2/3 hari kita habiskan di depan laptop.

Lalu kalau mau mendukung work-life balance, berarti jam malam itu sesuatu yang logis dong karena membatasi organisasi kita menjadwalkan agenda sampe lebih dari jam itu? Coba jika tidak, akan ada saja agenda di kampus yang baru beres jam 2 malam. Bisa-bisa sudah terlanjut lelah, bahkan untuk mengerjakan tugas kuliah.

Jadi harus milih deh, nugas apa tidur. Ya kita tau lah yang biasanya jadi dikorbankan apa… ya tugas lah! Yuk lanjut tidur.

Setidaknya walaupun masih ada yang tetep bisa lewat jam 2 malam, tapi terbatas ya, perlu effort gitu, pindah tempat misal

Atau di weekend seharusnya organisasi kemahasiswaan libur? Masa sih…

Aduh apa jangan-jangan ya wajar aja ya menjalankan segala kegiatan di saat perkuliahan ini dengan kondisi sepadat ini? Kayak bakal penuh banget hidupnya sama yang namanya bekerja. Jadi work-work balance.

Katanya sih biar di-’gembleng’ sebelum masuk ke dunia yang lebih kejam lagi. Dan hal itu merefleksikan bagaimana kita melihat dunia: dunia yang kejam.

Atau…

Sebenarnya kita selama ini belum tepat dalam menjalankan segala kegiatan organisasi ini? Turnover dan absentees menjadi salah satu masalah yang serius di organisasi. Ibaratnya orang yang seharusnya datang, tapi gak datang. Begitu juga yang udah ada di posisi tertentu, tapi jadi ilang.

Tentu saja itu menjadi masalah juga di organisasi mahasiswa bukan?

Apakah itu semua hanya karena orang tersebut karakternya kurang disiplin dan kurang berkomitmen? Saya rasa dari segi pemangku organisasi, itu variabel yang tidak bisa dikontrol ya (walaupun bisa dibentuk dalam kaderisasi yang baik). Tapi dalam konteks kali ini, saya selalu bilang bahwa orang lain merupakan variabel yang tidak bisa dikontrol.

Kita fokus saja terhadap hal yang bisa dikontrol: sistem organisasi kita.

Poin penting dari cerita di atas yang bisa kita jadikan rumusan masalah: bagaimana kita merancang sistem organisasi kita agar masing-masing peran yang kita miliki di tempat yang berbeda (kampus, keluarga, diri sendiri, dll) tetap terlaksana, namun kita tahu sendiri segala kegiatan di kampus ini begitu padat sekali sampe gaada waktu untuk mikirin itu semua?

Mari berkenalan dengan konsep Work-life Integration.

Work-Life Integration

UC Berkeley’s Haas School of Business mengemukakan bahwa istilah work-life integration mereka pakai agar justru bisa menyinergikan antara keseluruhan aspeknya, yakni life: work, family, personal, etc. Jadi work dan life bukan kedua hal yang terpisah, melainkan bisa saling sinergi antara keduanya.

Gambar diambil dari https://www.facs.org/

Memang selama ini kalau dengar istilah work-life balance, kita sering menganggap bahwa work dan life seakan-akan sesuatu yang berbeda. Bahkan cenderung work itu sesuatu yang melelahkan sedangkan life menyenangkan. Padahal ya emang iya juga sih seringnya kayak gitu.

Cuman kan gak selamanya gitu ya… ada aja yang emang bekerja itu… senang.

Mungkin selama ini lingkungan kita aja yang terlalu membuat ‘bekerja’ itu melelahkan, ya emang sih melelahkan, tapi bisa juga kok seharusnya bekerja itu menyenangkan.

Nah konsep work-life integration menggunakan pendekatan keseluruh bagian dari hidup: keluarga, komunitas, kesehatan, dan karier, harus terintegrasi, harus bersinergi.

Jadi kerja terus dong gak istirahat-istirahat?

Ya gak gitu. Justru sekarang karena konteksnya kita adalah pengurus organisasi, bagaimana pekerjaan dan suasana di organisasi ini benar-benar memerhatikan aspek-aspek kehidupan, bukan cuman disuruh ‘gawe’ doang untuk memenuhi parameter prokernya. Jadi ibaratnya, justru kerjanya yang jadi dimiripkan seperti menjalankan kehidupan biasanya. Jangan sampai organisasi kita malah memisahkan anggota-anggota dari aspek kehidupannya.

Dan tentu saja ini suatu kondisi yang perlu usaha sangat jauh sekali dalam mencapainya. Tapi saya yakin, di organisasi mahasiswa sangat bisa begitu dan memang seharusnya begitu. Contohnya saja, ada saja orang-orang yang mau kajian sampai malam, bahkan sampai pagi dan tidak merasa seperti pekerja kantoran yang sedang lembur. Hal itu tentu saja karena memang yang dikerjakan sesuai dengan apa yang ingin dicapainya dalam hidup.

Saya aja nulis ini gak merasa jadi beban tambahan kok.

Loh ternyata memang ada aja hal-hal yang udah kita lakukan dan sudah sesuai dengan konsep life-integration. Memang. Jadi untuk apa tulisan ini dibuat hhhhh.

Engga deng, justru tulisan ini dibuat agar bisa kita sadari dengan baik bahwa dalam merancang kegiatan kita ke depannya, bisa lebih menghargai seluruh orang-orang yang bekerja untuk kita. Dari rise people, organisasi yang lebih peduli terhadap orang-orang di dalamnya, tentu saja akan meningkatkan trust dari anggota tersebut ke organisasi. Untuk selanjutnya trust akan meningkatkan engagement, satisfaction, dan retention. Lalu jika ketiga hal itu meningkat… ya tau lah ya, organisasi akan lebih menyenangkan. :)

Bagaimana contoh dari life-integration itu? Berikut ada contoh perbedaannya antara work-life balance dan work-life integration

Diambil dari https://www.intelivate.com/

Bisa dilihat bahwa work-life integration akan lebih cocok dengan jam kerja yang fleksibel. Apalagi kita tahu sendiri di organisasi mahasiswa, pelayanannya tidak mengenal libur sama sekali. Jadi cocok sekali bukan dengan konsep work-life integration?

Work-life integration pun bisa jadi sebagai kompensasi yang tepat untuk anggota-anggota organisasi. Call back tulisan ini lagi, tentang kompensasi.

Tentunya, contoh-contoh di atas bukan hanya diterapkan atau dilakukan saja untuk anggota-anggotanya. Perlu dilakukan implementasinya secara menyeluruh, secara holistik dari segi organisasi. Seperti membawa anak ke tempat kerja ya kultur dan tempat kerjanya pun harus sudah ramah anak. Dichat jam 10 malam tapi tetep harus bales ya sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, berarti kultur flexibility-nya harus sudah ada.

Jadi tetap, butuh strategi yang holistik untuk implementasinya

Strategi Work-Life Integration

Dalam menerapkan work-life integration sebagai solusi dari permasalahan di organisasi kita, pihak yang bertanggung jawab terhadap rancangan dan suasana kerja perlu merancang strategi secara holistik dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di dalam dunia kerja maupun life-nya itu sendiri (Bailyn et. al., 2001).

Jadi bukan cuman membuat HR Policies secara lokal saja, melainkan memang harus dipikirkan secara holistik satu organisasi.

Sebenarnya di setiap organisasi bisa beragam dalam menerapkannya (kembali lagi). Tapi ada beberapa prinsip yang bisa dijadikan guideline untuk membuat strateginya dikutip dari adp.com:

  • Bagaimana akhirya kita bisa membuat flexible work enivoronment untuk mendukung seluruh anggota dalam menjalankan berbagai lini kehidupannya.
  • Ketahuilah bagaimana rencana hidup jangka panjang anggota organisasi, bagaimana kamu bisa membuat budaya untuk mendukung hal tersebut.
  • Ciptakan healthy work culture yang mendukung orang-orang memiliki healthy habits.
  • Integrasikan pekerjaan dengan teknologi. Misal, bisa meeting secara online, ngatur kerja lewat hp aja (eh emang pas online gini bisa banget kan ya?). Coba pake asana atau trello untuk koordinasi dan laporan pekerjaan.
  • Semua orang di dalam organisasi harus sadar jika organisasi sedang mencoba menerapkan work-life integration.

Dokumen dari MIT ini sangat menjelaskan bagaimana bisa kita mengintegrasikan work-life secara holistik. Jadi silahkan baca saja.

Memang dari saya sendiri ini baru riset awal. Tapi saya yakin untuk organisasi mahasiswa dengan segala sifatnya, perlu menuju ke sini. Masih perlu riset lanjutan untuk menemukan framework yang sesuai dan strategi implementasi yang efektif serta efisien untuk benar-benar menerapkannya dalam organisasi mahasiswa. Pun juga memang sudah diterapkan kan? Tapi kita tetap perlu memikirkan strategi agar bisa dilaksanakan secara sustain.

Tapi ada satu topik terakhir yang menarik untuk dibicarakan di tulisan ini: bagaimana mengatur diri kita sendiri agar bisa mencapai work-life integration itu?

Ada beberapa tips dari Young Entrepreneur Council untuk bisa mencapai work-life integration untuk diri kita sendiri:

  1. Work with a purpose in mind, ketika teman-teman mengambil tanggung jawab, pastikan benar-benar meyakini apa saja tujuannya.
  2. Truly love what you do, kalau gak cinta, percuma akan jadi beban saja.
  3. Take advantage of your phone, jadikan smartphone-mu menjadi your produtive companion.
  4. Blend responsibilities, cari cara bagaimana ketika bekerja tetap bisa melakukan kegiatan-kegiatan self-love.
  5. Find your ideal work environment, bukan cuman secara fisik, melainkan psikis.
  6. Work in short bursts, ini tips yang cukup tricky, kerjakan sesuatu dengan seefisien mungkin, jangan berlama-lama. Misal ketika bekerja bersama temanmu, fokus bekerja 30–45 menit, lalu 15 menit mengobrol. Lalu lanjut bekerja lagi. Coba teknik pomodoro.
  7. Dan masih banyak tips lain pada link tersebut.

Terakhir, menurut Kathleen Smith dalam tulisannya “Don’t Save Your Fun for the End of the Day”: kita harus mengintegrasikan waktu istirahat kita, waktu recharge kita, jangan cuman di akhir ketika kita sudah menyelesaikan tugas besar (yang biasa disebut self-reward). Kita berhak bekerja dengan senang, bukan hanya senang ketika sudah selesai melakukan pekerjaan kita semua.

Tulisan ini dibuat salah satunya untuk memperingati Refleksi Akbar KM ITB.

Apakah kemahasiswaan yang seharusnya menjadi bagian dari hidup para anggotanya sekarang, malah menjauhkannya dari kehidupannya? Apakah kita ada di posisi di mana harus memilih keluarga mahasiswa atau keluarga di rumah? Sudahkah kita membuat kehidupan kampus menjadi bagian dari kehidupannya?

Lalu mengapa kita masih mendengar orang-orang yang hilang atau pun tidak suka berada di dalam organisasi ini? Atau bahkan tidak merasa bagian dari KM ITB? Apakah pekerjaan-pekerjaannya masih begitu berat berada di dalam organisasi ini? Apakah yang didapatkan di sini, tidak sesuai dengan hidup anggota-anggota tersebut? Atau memang sudah dari awal, KM ITB hanya milik golongan-golongan tertentu saja?

Lalu kalau bukan untuk mahasiswa-mahasiswanya itu, untuk siapa Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung ini?

Referensi

Bailyn, L., Drago, R. W., & Kochan, T. A. (2001). Integrating work and family life: A holistic approach. Cambridge, Mass. (50 Memorial Dr., Cambridge 02139): Massachusetts Institute of Technology.

Cheng-Tozun, D. (2018, March 14). Work-Life Balance vs. Work-Life Integration: How Are They Different, and Which One Is for You? Retrieved January 23, 2021, from https://www.inc.com/dorcas-cheng-tozun/how-work-life-integration-can-help-you-have-it-all.html#:~:text=According%20to%20UC%20Berkeley's%20Haas,between%20different%20areas%20of%20life.

Delecta, P. (2011). Work life balance. International Journal of Current Research, 3(4), 186–189.

Fannin, K. (2020, May 21). Why Work-Life Integration is the New Work-Life Balance and How to… Retrieved January 23, 2021, from https://www.intelivate.com/team-strategy/work-life-integration-work-life-balance

Heather J. Logghe, M. (n.d.). Work-Life Integration: Being Whole at Work and at Home. Retrieved January 23, 2021, from https://www.facs.org/Education/Division-of-Education/Publications/RISE/articles/work-life

The Impact of the People-Focused Workplace. (2021, January 12). Retrieved January 23, 2021, from https://risepeople.com/blog/people-focused-workplace/

Morris, M. L., & Madsen, S. R. (2007). Advancing Work — Life Integration in Individuals, Organizations, and Communities. Advances in Developing Human Resources, 9(4), 439–454. doi:10.1177/1523422307305486

Stoeva, A. Z., Chiu, R. K., & Greenhaus, J. H. (2002). Negative Affectivity, Role Stress, and Work–Family Conflict. Journal of Vocational Behavior, 60(1), 1–16. doi:10.1006/jvbe.2001.1812

White, M., Hill, S., Mcgovern, P., Mills, C., & Smeaton, D. (2003). ‘High-performance’ Management Practices, Working Hours and Work-Life Balance. British Journal of Industrial Relations, 41(2), 175–195. doi:10.1111/1467–8543.00268

Work-Life Integration: The Evolution of Work-Life Balance. (2019, September 10). Retrieved January 23, 2021, from https://www.adp.com/spark/articles/2018/10/the-evolution-from-work-life-balance-to-work-life-integration.aspx

Work/Life Integration. (2019, March 20). Retrieved January 23, 2021, from https://haas.berkeley.edu/human-resources/work-life-integration/

--

--

Ilham Muzakki
Beranda Pagi

A writer who shares stories from his life and work. Passionate about organization and personal development.