Berani Betul BEM UI Menjuluki Jokowi sebagai King of Lip Service

Indra Buwana
Binokular
Published in
6 min readJun 30, 2021

Kritik menjadi alat bagi rakyat untuk menagih janji-janji penguasa. Jalan inilah yang diambil Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) untuk mengkritik Presiden Joko Widodo karena janji-janji Presiden Jokowi tak lekas diwujudkan. Melalui Instagram, BEM UI menyampaikan kritiknya dengan menasbihkan Presiden Jokowi sebagai “King of Lip Service”.

sumber: akun Instagram bemui_official

Ada empat alasan mengapa BEM UI memberikan gelar itu. Pertama, pernyataan Presiden Jokowi mengenai dirinya yang kangen didemo dengan tujuan untuk mengontrol pemerintah seakan memberikan kebebasan dan keamanan bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasannya kepada rezim melalui demonstrasi. Namun, dalam prakteknya, demonstran malah dibalas dengan tindak represif aparat. BEM UI mencontohkan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, demonstrasi Hari Buruh 2021, dan demonstrasi Hari Pendidikan Nasional 2021 yang diwarnai dengan kekerasan aparat dan penangkapan terhadap demonstran.

Kedua, Presiden Jokowi pernah meminta revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena tidak bisa memberikan rasa keadilan. Namun, buah dari pernyataan tersebut adalah revisi yang berpotensi membuat UU ITE menjadi semakin represif dan masih multitafsir.

Ketiga, Presiden Jokowi mengumbar janji akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menambah penyidik. Namun, Presiden Jokowi tidak mampu menghentikan pemberhentian 75 pegawai KPK akibat tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) demi alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Keempat, Presiden Jokowi pernah mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, ternyata pernyataan Presiden Jokowi dimentahkan oleh dirinya sendiri. Presiden Jokowi meminta MK untuk menolak semua gugatan tentang UU Cipta Kerja.

Kritik Didukung, Kritik Dibungkam

Kritik pedas BEM UI yang melabel Presiden Jokowi sebagai pembual langsung mendapat respon tinggi. Terkini, unggahan BEM UI Instagram dengan konten “King of Lip Service” tersebut mendapat 355 ribuan likes dan 31,6 ribuan komentar. Kiriman serupa di akun Twitter BEM UI pun ramai respon dengan 27 ribuan retweet dan 54,8 ribuan likes. Banyaknya respon merupakan bentuk dukungan warganet terhadap kritik yang dilontarkan BEM UI.

Penganugerahan BEM UI kepada Presiden Jokowi tersebut berujung pada datangnya “surat cinta” dari Rektorat Universitas Indonesia. Dari salinan yang berseliweran di linimasa Twitter saya, surat panggilan yang bernomor 912/UN2.R1.KMHS/PDP.00.04.00.2021 ditujukan kepada Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra dan beberapa mahasiswa lain yang tergabung dalam kepengurusan BEM UI dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UI. Surat itu meminta kehadiran para mahasiswa pada hari yang sama pada saat diterbitkan, 27 Juni 2021, untuk bertemu dengan pihak rektorat. Surat itu ditandatangani oleh Direktur Kemahasiswaan UI Tito Latif Indra.

Dari keterangan Leon yang dilansir Tribunnews.com, pada pertemuan pihak BEM UI diminta pihak rektorat untuk menghapus unggahan “King of Lip Service”. Namun, BEM UI bersikap tidak akan menghapus unggahan tersebut karena kritik tersebut memiliki dasar yang kuat. Leon menegaskan bahwa seharusnya pernyataan yang dikeluarkan Presiden bisa dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan secara tegas. Leon pun memberi keterangan bahwa salah satu alasan pemanggilan itu dilakukan karena cuitan Fadjroel Rachman, juru bicara Presiden Jokowi, yang mengatakan bahwa segala aktivitas kemahasiswaan di Universitas Indonesia termasuk BEM UI menjadi tanggungjawab Pimpinan Universitas Indonesia.

Pasca pertemuan itu, Leon dan kawan-kawan mendapat serangan digital. Dari cuitan Leon di Twitter, akun media sosial beberapa pengurus BEM UI mengalami peretasan pada tanggal 27 Juni dan 28 Juni 2021. Peretasan seperti ini beberapa kali terjadi pada pihak-pihak yang melontarkan kritik terhadap pemerintah.

Upaya pemanggilan dan peretasan yang dilakukan kepada BEM UI menjadi katalis yang menambah dukungan terhadap BEM UI. Tokoh seperti ekonom Faisal Basri sempat mencuitkan dukungannnya terhadap BEM UI. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mengamplifikasi dukungannya dan mengecam tindakan yang membelenggu kebebasan berekspresi dan akademik di Indonesia.

Dukungan juga diberikan dari BEM universitas lain. Tercatat ada BEM Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang mengapresiasi sikap tegas yang diambil BEM UI. Secara garis besar, sikap BEM tersebut sama-sama menyayangkan pemanggilan rektorat terhadap BEM UI dan peretasan terhadap pengurus BEM UI. Upaya-upaya membungkam kritik tersebut dianggap mencederai kebebasan berpendapat dalam memberikan kritik ke pemerintah serta kebebasan akademik mahasiswa.

Presiden Jokowi akhirnya buka suara. Melalui kanal YouTube Sekretariat Kabinet, Presiden Jokowi menganggap wajar berbagai bentuk ekspresi mahasiswa dalam memberikan kritik. Namun, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa tata krama dan sopan satun tetap harus dijunjung. Well, mungkin janji yang tidak ditepati tidak termasuk dalam tata krama yang disinggung Presiden Jokowi. Lagipula upaya pembungkaman terhadap kritik BEM UI sudah terlanjur terjadi. Hehehe

Merembet ke Isu Lain

Pemberitaan di media mengenai kritik “King of Lip Service” dari BEM UI kepada Presiden Jokowi dipantau menggunakan mesin Newstensity. Dari pemantauan pada tanggal 26–29 Juni 2021, Newstensity menangkap ada 2.020 berita yang berkaitan dengan BEM UI. Alur linimasa topik ini memuncak pada tanggal 28 Juni 2021 dengan 920 berita, sehari setelah jajaran BEM UI dipanggil oleh pihak rektorat.

Persebaran topik ini tidak merata dalam di seluruh provinsi. Topik ini tersebar di 19 provinsi. DKI Jakarta menjadi episentrum pemberitaan dengan 885 berita yang terbit dari sana saja. Melihat persebarannya yang tidak merata, hal ini mengindikasikan bahwa topik ini bukanlah topik yang urgent untuk disebar ke seluruh provinsi. Topik politik biasa lah.

Ada beberapa isu yang turut mendapat perhatian di samping isu utama kritik “King of Lip Service”. Dipilah berdasar tajuknya, isu pemanggilan BEM UI untuk menghadap rektorat menjadi tajuk yang terbanyak. Isu pemanggilan dari rektorat tampaknya menjadi bola salju yang kemudian merembet ke isu-isu lainnya.

Salah satu yang erat hubungannya adalah isu bahwa Rektor UI, Ari Kuncoro, yang ternyata rangkap jabatan menyeruak kembali. Ombudsman RI pada tahun 2020 pernah memeriksa komisaris-komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) yang merangkap jabatan. Dari temuan Ombudsman RI, Ari Kuncoro menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama/Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia selagi merangkap Rektor UI aktif.

Ada pula isu soal Ade Armando. Ya tahu lah kita Ade Armando berbicara dengan kapasitasnya sebagai pentolan Civil Society Watch yang suka mengawasi organisasi sipil lainnya. Ade Armando pun sempat ditantang berdebat terbuka oleh Delpedro Marhaen dari Blok Politik Pelajar mengenai berbagai pernyataan Ade di Twitter merespon kritikan BEM UI.

Dari analisis Word Cloud pun terlihat bahwa isu-isu turunan dari kritik “King of Lip Service” pun sesuai. Kata “bem” dan “jokowi” sebagai representasi aktor utama pihak pengkritik dan pihak yang dikritik. Kata “king”, “lip”, dan “service” pun muncul di word cloud yang merepresentasikan julukan “King of Lip Service”. Selain itu ada “rektor”, “diretas”, “ade”, “rektorat”, “rangkap”, “bri” merepresentasikan isu-isu turunan yang telah disebutkan sebelumnya.

Belakangan ada kecenderungan bahwa penguasa gampang gatal terhadap kritik. Kritik BEM UI yang memberikan gelar “King of Lip Service” kepada Presiden Jokowi lagi-lagi memperlihatkan hal tersebut. Sayangnya, pemanggilan dari rektorat malah mengindikasikan bahwa kampus tak lagi bisa diharapkan untuk melindungi mahasiswanya. Diperparah dengan adanya upaya peretasan dan pihak-pihak yang menyerang balik pengkritik dengan alasan yang dipaksakan. Ya meskipun pada akhirnya Presiden Jokowi menganggap kritikan itu biasa saja sih, tapi entah dengan yang di belakang.

Kritik demi kritik memang sudah seharusnya dilontarkan sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan. Kan ini juga bentuk rasa sayang rakyat kepada pemerintah. Sebenarnya sih ada cara gampang agar tidak banyak dikritik, yaitu kerja saja yang benar. Nanti kan diam sendiri. Hehehe.

--

--