3 Pertanyaan Ketika Saya Pertama Kali Berkenalan dengan Scrum

Adam Mukharil Bachtiar
UNIKOM Codelabs
Published in
3 min readDec 12, 2017

Sama halnya dengan kita memulai perkenalan dengan calon tambatan hati kita, tentunya ketika pertama kali berkenalan dengan Scrum ada banyak pertanyaan yang muncul di benak saya. Dari sekian banyak pertanyaan tersebut, ada 3 pertanyaan yang menjadi pertanyaan unik.

Mulai dari pertanyaan pertama yang muncul di benak saya, yaitu:

Is Scrum the silverbullet in software engineering?

Tentunya bagi orang yang memperdalam ilmunya di bidang Software Engineering akan mempercayai istilah “There is no silverbullet in Software Engineering — Roger S. Pressman”. Tentunya hal ini juga berlaku dengan Scrum sebagai sebuah metode di dalam pembangunan perangkat lunak. Scrum berkemungkinan untuk tidak cocok dijalankan pada suatu kondisi proyek perangkat lunak tertentu atau pada kondisi tim tertentu. Mempercayai scrum sebagai solusi untuk seluruh jenis proyek perangkat lunak merupakan sebuah pengkhianatan terhadap salah satu aturan dalam Software Engineering (minimal dari apa yang saya selama ini pelajari di buku Software Engineering karangan Roger S. Pressman). Akan tetapi bagi saya, nilai dan ide-ide yang ditawarkan scrum merupakan hal yang sangat seksi untuk dipadupadankan dengan metode lain (Baca artikel Scrum atau Waterfall?) dan pada dasarnya jangan takut mencoba terlebih dahulu untuk move on ke Scrum apabila belum pernah menggunakannya.

Pertanyaan kedua yang saya tanyakan ke diri sendiri adalah:

Kapan proses requirement engineering dilakukan kalau saya mau menggunakan Scrum?

Pertanyaan ini muncul karena ketika saya melihat beberapa teori dan simulasi proses scrum dijalankan, proses requirement engineering tidak terlalu eksplisit terlihat(pendapat saya pribadi). Untungnya kembali lagi saya mendapatkan jawaban dari buku Get Agile yang di dalamnya disebutkan untuk tahap requirement engineering bisa dilakukan dalam fase “Discovery Phase” dimana prosedur pelaksanaannya menggunakan konsep sprint yang memiliki masa 2–5 minggu sebelum sprint development dilakukan. Bahkan masa Dicovery Phase ini bisa digunakan juga untuk merekayasa desain UI/UX yang akan ada di solusi yang kita buat.

Dan, here we come, pertanyaan ketiga yang menjadi pertanyaan yang saya anggap unik:

Apakah sebuah sprint boleh diberhentikan ketika ada perubahan kebutuhan atau lebih baik menunggu sampai sprint berikutnya?

Sebuah sprint tentunya sudah memiliki komitmen terhadap sprint backlog yang dibentuk di sprint planning akan tetapi yang saya percayai dari sebuah proses pembangunan perangkat lunak adalah “Satu yang pasti dari Software Engineering adalah perubahan”. Dua klausa yang bertolak belakang inilah yang menjadikan galau berkepanjangan. Untungnya saya mengikuti Scrum Day Bandung 2017, dan di sana saya mendapatkan hasil diskusi yang menjawab hal ini. Pada sesi diskusi ini, memberhentikan sprint di tengah jalan merupakan hal yang kurang bijak karena akan bisa merusak scrum value akan tetapi apabila perubahan kebutuhan dirasa akan mengganggu Potentially Shippable Product maka sprint bisa saja dihentikan di tengah jalan dengan syarat semua anggota tim Scrum sepakat.

Foto di Photo Booth Scrum Day Bandung 2017

Jawaban-jawaban dari pertanyaan yang muncul di tulisan ini murni dari apa yang saya dapatkan ketika perjalanan saya berkenalan dengan Scrum dan tentunya jawaban ini juga bukan merupakan sebuah harga mati yang harus diimani. Kebutuhan untuk selalu berdiskusi dan berkumpul untuk membahas pertanyaan-pertanyaan galau tentang Scrum tentunya menjadi penting. Semoga di Scrum Day Bandung 2018 nanti saya bisa lebih mendapatkan jawaban dan memantapkan hati untuk bisa hidup bersama dengan Scrum.

--

--

Adam Mukharil Bachtiar
UNIKOM Codelabs

Director of Technology and Information System, CEO of CodeLabs and Lecturer at Informatics Engineering UNIKOM