Menerapkan Design Thinking di Kehidupan Sehari-Hari

Ta’zirah Marwan
codexstories | CODEX Telkom
5 min readNov 18, 2020

Di artikel sebelumnya, rekan saya Eka Afrianti mengatakan bahwa Design Thinking dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari. Karena itu, dalam artikel ini, saya akan coba mencontohkan penerapan konsep tersebut dalam kehidupan.

Tujuan akhirnya adalah untuk menerapkan kebiasaan Work-Life Balance yang lebih ideal, dengan diri saya sendiri sebagai target pengguna. Mengapa harus menerapkan Work-Life Balance? Karena tim CODEX sedang melakukan Work From Home (WFH) semenjak adanya pandemi Covid-19 ini, sehingga sering terjadi pola kerja dan hidup yang tidak seimbang.

Selain itu, saya pun mempunyai alasan pribadi. Saya sendiri sudah menemukan pola yang tepat untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan, tetapi karena hanya mengandalkan insting saja, terkadang suka bablas terlalu miring ke arah kiri (work). Meski tidak ada masalah di awal, tetapi lama-lama menjadi beban tersendiri. Waktu tidur dan istirahat malah dipakai untuk memforsir pekerjaan, walaupun sebenarnya otak sudah butuh rehat.

Saya pribadi tidak mau seperti itu, karena saya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja.

Walau begitu, bukan berarti saya menyepelekan pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan tetaplah hal yang penting dan harus dipertanggungjawabkan.

Berikut ini adalah langkah-langkahku untuk menerapkan Design Thinking dalam kehidupan.

Langkah 1: Understanding

Foto oleh Dan Dimmock (Unsplash)

Di langkah ini, kita harus memahami latar belakang dari tujuan yang ingin kita capai, apa targetnya, dan apa saja permasalahan yang kita hadapi untuk mencapai tujuan tersebut.

Hal yang ingin dicapai: Kehidupan Work-Life Balance yang lebih ideal dan seimbang.

Kenapa ingin mencapai hal tersebut: Ingin menyeimbangkan kehidupan personal dan pekerjaan. Sehingga, saya bisa menikmati kehidupan pribadi (seperti hobi dan keluarga) dengan lebih maksimal, serta performa pekerjaan juga selalu bagus.

Target pengguna: Diri saya sendiri.

Masalah yang dihadapi dalam mencapai tujuan tersebut:

  • Di luar waktu kerja, terkadang saya suka berpikir untuk menyelesaikan pekerjaan. Entah karena khawatir pekerjaan menjadi tidak selesai jika ditunda, atau iseng, atau kepo ingin coba-coba solusi.
  • Lembur mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya masih bisa ditunda.
  • Efek dari hal tersebut, waktu yang saya pakai untuk bekerja justru lebih dari waktu kerja maksimal yang ideal, sehingga saya menjadi overwork dan lelah mental sendiri.

Langkah 2: Ideation

Foto oleh William Iven (Unsplash)

Di langkah ini, kita harus menjabarkan solusi dari masalah-masalah yang muncul di langkah sebelumnya.

Contoh-contoh solusi yang saya pikirkan:

  • Waktu bekerja tidak lebih dari tujuh jam. Biasanya waktu ideal bekerja bagi saya adalah dari pukul 9 pagi hingga 4 sore.
  • Targetkan pekerjaan harian untuk bisa diselesaikan di batas waktu tertentu. Kalau waktunya kurang, tunda hingga besok (kecuali darurat yang benar-benar darurat, bukan darurat panik).
  • Ketika di luar jam kerja, tunda pekerjaan. Termasuk memikirkan ide-ide terkait dunia kerja. Apabila kamu mendapatkan ide secara tiba-tiba, tampung dulu. Gunakan waktu di luar jam kerja untuk menikmati hidup.
  • Jangan habiskan seluruh energi untuk pekerjaan. Apabila dipakai semua, dapat berisiko membuat diri kita terlalu lelah untuk menikmati hal lain dan berisiko mengurangi kebahagiaan.
  • Mengelola pekerjaan untuk hal-hal yang akan dikerjakan hari ini, buat target pribadi. Di tim CODEX memang sudah memakai Jira untuk memantau perkembangan pekerjaan, tetapi saya biasanya juga menulis di to-do list pribadi agar bisa tahu apa saja hal selain pekerjaan yang perlu saya kerjakan hari ini.
  • Ketika sudah mendekati waktu selesai kerja, review pekerjaan yang sudah diselesaikan hari ini dan catat pekerjaan yang ingin dikerjakan besok. Jika misal ada pekerjaan hari ini yang belum selesai, tanya ke diri pribadi: apakah bisa ditunda sampai besok? Kalau bisa, maka tunda.
  • Mencoba memakai teknik Pomodoro untuk mengingatkan diri pribadi agar tidak lupa istirahat dan menghindari kerja non-stop.
  • Memisahkan ruang kerja dan ruang pribadi. Saya memang mempunyai komputer yang biasanya dipakai untuk urusan personal (seperti mengetik artikel ini). Waktu awal-awal saya mau cari gampang, dan memanfaatkan komputer tersebut untuk kerja juga. Hal ini menjadi masalah, karena akses kerja menjadi tercampur dengan akses personal, dan membuat saya sering secara spontan melanjutkan pekerjaan. Parahnya lagi, komputer saya berada di kamar, menjadikan lebih mudah lagi untuk aksesnya.

“Bekerja menggunakan laptop khusus kerja dan di luar kamar berpengaruh untuk membedakan mindset kerja atau mindset istirahat.”

Langkah 3: Try

Photo by Macau Photo Agency (Unsplash)

Di langkah ini, terapkan ide-ide yang sudah ditulis di langkah sebelumnya.

Yep itu aja.

Percuma ditulis kalau tidak diterapkan kan?

Sembari dijalankan, kita bisa mengetahui apakah ide-ide tersebut berhasil menyelesaikan masalah dan mencapai target yang ingin dicapai. Kalau berhasil rutinkan, kalau tidak pelajari mengapa gagal.

Poin penting dari langkah Try ini adalah, walau kita memiliki target dan ide yang konkret, tetap harus fleksibel. Kalau mau realis, hal-hal yang ditulis di atas tidak selamanya bisa diterapkan.

Contoh:

  • Saya mengatakan bahwa jam kerja adalah dari pukul 9 pagi hingga 4 sore. Namun bisa jadi pada satu hari, karena suatu alasan tertentu (misal kesiangan), saya tidak bisa bangun pagi. Apabila waktu kerja seharian diisi hanya dengan Video Call, maka waktu kerja hingga pukul 4 sore bisa dirasa kurang untuk mengerjakan pekerjaan sesungguhnya.
  • Ada renovasi rumah atau orang tua sedang ada tamu, sehingga mau tidak mau saya hanya bisa bekerja di kamar.

Intinya, tetap fleksibel dan maafkan diri sendiri apabila ada hal yang membuat ide yang sudah ditulis di atas gagal diterapkan di satu hari. Namun jangan lupa untuk melanjutkan pada keesokan harinya. Apabila selalu gagal hampir setiap hari, mungkin memang sudah waktunya untuk menyesuaikan target karena mungkin saja kita membuatnya terlalu ketat.

Hal ini mirip dengan membangun kebiasaan baru, yang mungkin di awal-awal akan membuat frustasi karena bentrok dengan kebiasaan lama. Saat merasa “kok gw ga berubah-ubah ya? gw ga bisa kali ya?” saran saya adalah sabar dan tetap lanjutkan.

Membangun kebiasaan baru adalah sebuah proses, hasilnya tidak akan terlihat dalam 2–3 hari saja seperti paket kilat.

Yep, kira-kira seperti itu. Perlu diingat bahwa langkah-langkah mencapai Work-Life Balance tersebut disesuaikan dengan diri saya sendiri selaku user-nya. Untuk kalian yang membaca, mungkin akan berbeda penerapannya. Bisa jadi kalian termasuk burung hantu (yang lebih optimal bekerja di malam hari), atau kalian tidak punya masalah di kehidupan pribadi tapi justru tidak bisa maksimal dalam bekerja? Nah, hal ini bisa disesuaikan.

Kalian juga bisa menerapkan Design Thinking untuk hal lain, contoh:

  • Merutinkan menulis.
  • Menjadi lebih sehat.
  • Menentukan hal-hal yang ingin dibeli di Sale 11.11 (yep, hal sepele begini juga bisa).

Mungkin kalian bisa sharing bagaimana cara menggunakan pola Design Thinking dalam kehidupan kalian. Silakan bagikan di kolom komentar ya. Semoga bermanfaat.

Beberapa referensi artikel dan video yang berkaitan tentang topik ini:

--

--