Ideologi dalam Asmara: The (Real) Architecture of Love

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
13 min readMay 9, 2024

Jika kita sudah bisa mengatasi kenaifan masa lalu dan tidak lagi bertanya-tanya tentang “ada apa dengan cinta?”, maka kini saatnya kita bisa membicarakan cinta-asmara sebagai “the (real) architecture of love”.

Sejak awal kemunculannya di dalam kebudayaan, cinta asmara memang sudah membawa ketidakseimbangan bagi masyarakat. Contoh yang paling jelas, misalnya, bagaimana kritik terhadap budaya tradisional Minangkabau dikemukakan dengan tajam di dalam novel-novel Hamka pada era 1930-an. Di dalamnya kita bisa melihat secara gamblang betapa feodalisme Melayu Minangkabau yang dipelihara salah satunya melalui sistem perjodohan dan poligami, kemudian coba dilawan oleh Hamka melalui cinta asmara dalam kerangka wacana cinta sejati. Cinta asmara di sini digunakan sebagai titik artikulasi perlawanan budaya.

Dalam konteks ini, jatuh cinta adalah perilaku budaya yang sangat modern, dalam arti bahwa cinta-asmara sejatilah yang seharusnya mendasari lembaga perkawinan, bukan aturan perjodohan yang sudah menjadi adat tradisi. Selain itu, kesejatian cinta hanya bisa ditentukan oleh si individu yang jatuh cinta, bukan oleh paksaan tafsir dari pihak lain atau dari masyarakat, apalagi masyarakat tradisional. Karena itu, dalam wacana modern, kesejatian cinta itu sendiri merupakan hubungan yang tak terbagi, hanya berlaku satu-dengan-satu alias monogami. Apa yang dihayati sebagai individualisme pada masa itu pertama-tama terpatri dalam ruang personal ini.

Yang menarik dari kasus Hamka, misalnya, adalah bagaimana dia juga melawan wacana normatif dari agama (Islam) yang digunakan oleh para pendukung budaya feodalisme Melayu Minangkabau itu. Oleh kelompok konservatif, cinta asmara diserang sebagai kebudayaan Barat yang tidak bermoral dan dikonotasikan dengan tindakan seksual atau kecabulan. Tidak heran jika Hamka pernah dihina dengan julukan “kijahi tjabul” (=ulama cabul) atau “Kiai I Love You” karena dianggap mendukung budaya cinta asmara melalui novel-novelnya.

Dalam konteks ini, kita bisa menafsir bahwa novel Di Bawah Lindungan Ka’bah merupakan respons perlawanan terhadap tuduhan semacam itu. Ini jelas diperlihatkan melalui adegan akhir yang melodramatis bahwa Tuhan sendirilah yang sudah melindungi cinta sejati itu meskipun dalam realitasnya sepasang kekasih dalam novel itu tidak bisa dipersatukan dalam perkawinan. Cinta sejati mereka sebenarnya tetap menyatu meski di alam lain, yaitu di haribaan ilahi. Ini modus yang juga pernah ada dalam novel Sitti Nurbaya yang sudah lebih dulu popular. Modus semacam ini yang kemudian ditafsir oleh Armijn Pane sebagai bagian dari pengaruh Romantisisme. Tampaknya perlawanan budaya seperti ini sudah menjadi sifat dasar sastra modern Indonesia ketika dilahirkan pada awal abad ke-20.

Jadi, saya ingin menegaskan di sini bahwa cinta asmara sejak lama sudah menjadi arena pertarungan atau pergulatan wacana dalam masyarakat di antara kelompok sosial yang satu dan yang lain, yang dalam hal ini adalah kelompok pemelihara budaya tradisional versus pengembang budaya modern yang kemudian lebih dikenal dalam pembicaraan sejarah Indonesia sebagai pertarungan antara kaoem toea dan kaoem moeda.

Dalam esai ini saya ingin membicarakan persoalan pergulatan wacana atau sikap kultural itu lebih jauh dengan memperlihatkan bagaimana ideologi tertentu dipatuhi, dinegosiasi, dan dilawan dalam genre cerita roman, dalam kasus ini adalah beberapa versi cerita Cinderella dan komik-komik roman karya Zaldy Armendaris.

Ideology is blah blah blah … (Slavoj Žižek)

1. Ideologi Gender dalam Cerita Cinderella

Dongeng Cinderella sebenarnya merupakan bagian dari cerita rakyat yang sudah ada lama sekali, dibuat dalam tradisi kebudayan lisan (pra-modern). Cerita dari mulut ke mulut itu menyebar dari satu wilayah ke wilayah lain di dunia tanpa kita tahu lagi dari mana asal-usulnya. Baru pada tahun 1893, seorang ahli cerita rakyat dari Inggris, yaitu Marian Roalfe Cox, mencoba merintis pencatatan cerita lisan Cinderella itu. Dia mengumpulkan dan mencatat berbagai versi cerita Cinderela dari banyak wilayah dunia. Pada saat itu dia baru mendapatkan 345 buah versi. Sampai sekarang para ahli folklor memperkirakan sebenarnya masih banyak versi yang belum tercatat karena versi cerita Cinderela yang paling tua yang dapat diketahui ternyata sudah ada sejak abad pertama sebelum Masehi, yaitu cerita tentang Rodhopis. Namun, versi yang sangat terkenal yang sampai sekarang menyebar dan diterjemahkan ke seluruh dunia adalah versi Charles Perrault (1697) dan Grimm Bersaudara (1812). Industri film Hollywood yang berdiri sejak awal abad ke-20 kemudian terus-menerus membuat versi modern yang sinematis atas cerita Cinderela untuk membentuk dan menyesuaikannya dengan selera penonton film pada awal abad itu sampai sekarang.

Sejak kemunculan teori sastra feminis pada tahun 1960-an, genre dongeng seperti cerita Cinderella itu mulai dikritik oleh para ahli sastra-feminis sebagai cerita yang memelihara ideologi patriarkis karena di dalamnya tokoh perempuan cenderung diposisikan sebagai pihak korban yang lemah yang kemudian akan diselamatkan oleh tokoh laki-laki yang gagah-perkasa. Posisi hierarkis seperti ini memperlihatkan oposisi- biner korban dan penyelamat. Secara historis, hierarki tersebut pada dasarnya mencerminkan ideologi patriarkis dalam masyarakat feodal/kerajaan. Melalui struktur cerita dongeng itulah perasaan cinta asmara digambarkan sebagai bagian dari proses penyelamatan, yaitu putri diselamatkan oleh pangeran. Struktur seperti ini terus berlanjut dalam genre cerita asmara di zaman modern. Meskipun struktur masyarakat feodal/kerajaan sudah tidak dominan atau sudah hilang, tetapi ternyata ideologi patriarkinya masih tertinggal sampai sekarang.

Dalam cerita Cinderella, misalnya, hubungan hierakis itu dapat ditafsirkan dari penggambaran tentang betapa para gadis dari bangsawan rendah harus berusaha sedemikian rupa untuk mendapatkan peluang menjadi istri sang pangeran dalam acara pesta dansa di istana. Dalam versi Grimm Bersaudara bahkan mereka digambarkan rela memotong jari kaki atau mengiris tumitnya agar kakinya cocok dengan sepatu emas yang tertinggal di pesta tersebut. Namun, tentu saja pangeran harus memilih istri yang tepat, yaitu tepat dalam pandangan ideologi patriarki-feodalistik itu, yang tidak lain adalah seorang gadis baik hati yang selama ini sudah menderita. Dengan pilihan tersebut, sang pangeran sudah membebaskan dia dari penderitaaan dan dia akhirnya berbahagia selamanya.

Dalam versi Charles Perrault, unsur kengerian dari adegan memotong jari kaki dan tumit itu dihilangkan. Dari segi ideologis, penghilangan ini berfungsi untuk mengurangi suasana kekerasan dalam persaingan mendapatkan cinta sang pangeran. Dengan kata lain, kebrutalan ideologi patriarki itu sendiri dikurangi efeknya. Hal ini juga berlangsung melalui gambaran yang lebih kuat tentang kebaikan hati Cinderella yang pada akhir cerita digambarkan memaafkan segala perilaku jahat dari saudara tirinya. Dibandingkan dengan versi Grimm Bersaudara, versi Charles Perrault memang lebih halus dalam menyembunyikan ideologi patriarki itu.

Di zaman sekarang, ketika kesadaran feminis sudah mulai berkembang, adaptasi terhadap cerita Cinderella dikerjakan dengan lebih kritis. Ketika cerita Cinderella itu diangkat ke layar lebar, misalnya, para pembuat film mulai mempertimbangkan kritik terhadap ideologi patriarki itu. Karena itu, dalam film versi Disney tahun 2015, tokoh Cinderella digambarkan sebagai perempuan yang cerdas dan mandiri. Pertemuannya pertama kali dengan pangeran dibuat bukan di acara pesta dansa, melainkan di dalam hutan ketika pangeran sedang berburu. Adegan pertemuan di dalam hutan ini dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan gender yang relatif setara sehingga ideologi penyelamatan yang biasa ada dalam versi yang lebih konvensional dapat dikurangi dalam versi sinema ini.

Poster film Cinderella (2015)

Kritik terhadap ideologi patriarki terhadap dongeng Cinderella itu juga dilakukan oleh Intan Paramadhita, salah seorang pengarang Indonesia saat ini, melalui cerpennya yang berjudul “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” tahun 2005 yang dicantumkan dalam buku kumpulan cerpennya yang berjudul Sihir Perempuan. Cerpen ini lebih keras dalam mengkritik struktur patriarki yang ada dalam dongeng Cinderella yang konvensional. Bahkan, cerpen ini berupaya menggeser genre cerita Cinderella yang sebenarnya bergenre cerita roman menjadi bergenre horor. Cerpen ini menggesernya dengan cara lebih menekankan adegan pemotongan ibu jari dan pengirisan tumit serta adegan pematukan mata oleh burung gaib. Penekanan ini terasa lebih kuat juga karena sudut pandang penceritaannya diambil dari pihak salah seorang saudara tiri Cinderella. Bagian awal cerpen ini saja sudah memperlihatkan perubahan penekanan tersebut:

Mari, mari, Nak. Duduk di dekatku. Yakinkah kau ingin mengetahui bagaimana aku menjadi buta? Ah, ceritanya mengerikan sekali, Nak. Terlalu banyak darah tertumpah seperti saat hewan dikurbankan. Kau tak akan menduganya karena kejadian buruk ini melibatkan orang terdekatku yang mungkin sangat kau kenal.

Aku telah disembelih, ya, bisa dikatakan begitu. Dan aku pun sempat menyembelih diriku sendiri. Mataku ini buta karena dipatuki burung. Mereka bilang ia burung merpati dari surga, namun sesungguhnya ia gagak hitam yang menggerogoti kerak neraka. Aku berteriak, memohon agar ia berhenti, namun ratapanku tertelan suara paraunya hingga tak kukenali lagi apa yang mengalir: darah atau air mata. Si gagak hanya taat pada pemiliknya, yang tidak akan puas sampai mataku benar-benar bolong.

Dulu, dulu sebelum aku menjadi buta, aku tinggal bersama ibu dan dua orang adikku. Adik bungsuku ini bukan adik kandungku, melainkan anak dari ayah tiriku. la bernama Sindelarat. Kau mengenalnya? la sudah sangat melegenda, jadi mungkin kau tak akan percaya kesaksianku.

Dari segi plot, cerpen Intan ini sebenarnya tetap mengikuti versi Cinderella yang konvensional. Namun, terdapat penambahan yang mengejutkan pada awal dan akhir ceritanya. Penambahan ini sebenarnya dimaksudkan untuk menekankan kekerasan dan perendahan terhadap perempuan dalam masyarakat patriarki-feodal. Di sana diperlihatkan betapa sebenarnya ibu tiri Cinderella (atau Sindelarat dalam versi ini) juga mengalami kekerasan dan perendahan patriarki itu. Dia kemudian mengulangi tindakan yang sama terhadap Sindelarat. Kemudian, pada akhir cerita, Sindelarat digambarkan tidaklah berbahagia selamanya, seperti dalam versi Grimm dan Perrault, tetapi justru tetap mengalami kekerasan patriarki di dalam istana setelah menikah dengan pangeran. Jadi, pengulangan kekerasan patriarkis ini pada dasarnya mengubah seluruh gambaran indah tentang kehidupan kerajaan dan hubungan asmara yang romantis dalam genre dongeng yang konvensional itu sehingga kita dapat menafsirkan bahwa cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” ini mengandung kritik tajam terhadap ideologi patriarki. Jika kita ingin menggunakan istilah “amanat cerita”, maka amanat cerpen ini cukup tajam, yaitu berhatilah-hatilah dengan ideologi patriarki karena Anda akan menderita di dalamnya.

Sampul buku Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha

Dari analisis terhadap empat versi cerita Cinderella di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa versi Perrault dan Grimm Bersaudara cenderung memelihara ideologi patriarki, sedangkan versi Intan justru melawan ideologi patriarki itu. Adapun, versi Hollywood itu cenderung melakukan negosiasi terhadap ideologi patriarki, yaitu mengkritiknya sebagian sekaligus tetap memelihara sebagian yang lain.

2. Ideologi Gender dan Kelas Sosial dalam Komik Roman Zaldy

Pada tahun 1950-an dunia komik Indonesia cenderung didominasi oleh ekspresi ideologis kepartaian dan pesan-pesan nasionalisme melalui komik bergenre cerita perjuangan nasional dan komik wayang. Dalam konteks tersebut, kemunculan genre komik roman Indonesia pada pertengahan 1960-an sebenarnya dapat dilihat sebagai reaksi atas dominasi tersebut melalui kembalinya ekspresi personal dalam bentuk pengungkapan pengalaman cinta asmara yang sebelumnya cenderung dibatasi atau dilarang. Dengan demikian, pengalaman asmara menjadi arena pergulatan ideologis yang penting bagi anak muda terhadap institusi keluarga dan perkawinan pada masa itu.

Dalam era itu, ada beberapa ciri penting dalam komik roman. Pertama, komik roman menggambarkan tokoh-tokoh yang hidup pada masa kini dan berlokasi di perkotaan, terutama Jakarta. Gaya hidup kelas menengah urban Jakarta menjadi konteks persoalan yang diangkat oleh pengarang komik roman. Kedua, terdapat ciri yang terus berulang bahwa dalam komik roman Indonesia ceritanya cenderung berakhir tidak bahagia, selalu ada halangan yang membuat sejoli yang saling jatuh cinta itu tidak bisa masuk ke dalam lembaga perkawinan dan halangan itu seringkali menyangkut perbedaan kelas sosial.

Tumpukan komik roman 1960/1970-an menunggu untuk dikaji. (Koleksi Perpustakaan Atelir Ceremai)

Karena itu, saya menduga bahwa komik roman ini tidak hanya mengambil posisi tertentu terhadap ideologi gender yang sudah biasa ada dalam cerita percintaan, tetapi juga terhadap ideologi kelas sosial. Bagaimana dugaan tersebut dapat dibuktikan? Saya akan coba memperlihatkannya dengan menganalisis beberapa komik karya Zaldy Armendaris pada era tersebut. Demi kepraktisan acuan, di sini saya akan menggunakan istilah khusus untuk menyebut pasangan kekasih (sejoli) dalam cerita roman, yaitu “jola” untuk pihak laki-lakinya dan “joli” untuk pihak perempuannya. Istilah ini saya turunkan dari bentuk kata majemuk, seperti “pemuda-pemudi” atau “putra-puteri”, dalam bahasa Indonesia.

Saya akan mulai dengan komik Zaldy berjudul Berpisah Menjelang Fajar (1970). Komik ini bercerita tentang Ardyan, putra pengusaha kaya, yang jatuh cinta pada Irina, putri penjaga villa milik keluarga Ardyan. Tentu saja, asmara beda-kelas itu tidak disetujui oleh orang tua Ardyan. Apalagi, mereka sudah menjodohkan Ardyan dengan Florinda, yang merupakan lulusan sekolah mode dari Paris dan berasal dari keluarga kaya rekanan bisnis ayah Ardyan. Namun, karena Irina ternyata sudah hamil, mereka terpaksa menikahkan putranya dengan perempuan kelas bawah itu. Ketika Ardyan pergi beberapa lama ke luar negeri untuk mengurus bisnis, ibunya berencana membuat Irina terusir dari rumahnya. Rencana itu berhasil sehingga ketika Ardyan pulang, ibunya membuat informasi bohong bahwa Irina sebenarnya sudah lama minggat dari rumah dan meninggalkan anaknya begitu saja. Dengan begitu, pernikahan Ardyan dengan joli pilihan orang tuanya, yaitu Florinda, dapat dilangsungkan.

Sebenarnya sampai pada tahap peristiwa pernikahan dengan joli yang baru itu, kehilangan asmara sudah tercapai. Jola telah terpisah dari joli dan terpaksa menikah dengan joli baru pilihan orang tuanya demi kepentingan mempertahankan posisi kelas. Namun, cerita tidak berhenti sampai di situ karena tujuan akhir dari plot ceritanya adalah agar kehilangan asmara itu berdampak dalam kenangan, yaitu sebagai sesuatu yang tidak pantas untuk diterima begitu saja. Karena itu, plot bergerak memperlihatkan upaya Irina untuk menaiki tangga kelas sosial setelah kematian ibunya, minggatnya ayahnya, dan kecelakaan yang menimpanya dirinya sendiri, serta hutang yang melilitnya. Dia menjadi penyanyi bar yang sukses. Keterkenalannya sampai juga akhirnya kepada Ardyan. Pertemuan kembali sejoli ini mulanya dipenuhi salah paham, tetapi kemudian semua rahasia terbongkar. Ibu Ardyan merasa bersalah, begitu pula Florinda.

Namun, segalanya sudah terlambat bagi Irina. Dia memutuskan untuk menarik diri dari keluarga Ardyan karena dia merasa dirinya bukanlah pasangan yang cocok untuk Ardyan. “Aku hanya gadis desa yang rendah dan bodoh”, kata Irina melalui suratnya pada Ardyan. Pada sisi lain, Ardyan tak mampu mengubah situasinya. Yang dapat dia lakukan adalah menyucikan posisi Irina dalam memorinya, “Kau wanita yang suci Irina… Kau membiarkan kebahagiaanmu tertinggal di antara anakmu dan suaminu, dan kau rela menjadi penganggung segala penderitaan yang pahit ini…” (hlm. 127). Dengan demikian, meskipun struktur keluarga kelas menengah jola tak dapat dipatahkan, penarikan diri joli dari struktur keluarga tersebut digambarkan dalam komik ini sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggungnya demi menjaga harga dirinya sebagai perempuan yang lebih matang dan mandiri secara ekonomi setelah mampu menapaki tangga mobilitas sosial. Dalam hal ini, joli diposisikan lebih berdaya (heroik) daripada jola yang pada akhirnya tak mampu melawan kepentingan keluarga kelas menengahnya.

Efek heroisme seperti itu justru tidak terlihat dalam komik Cinta Maria (1965). Jola dalam komik ini, yaitu Rusli, yang mengabdikan dirinya sebagai dokter di daerah perbatasan pada masa Konfrontasi Malaysia justru tidak berdaya menghadapi kehilangan asmaranya. Meskipun tampaknya dia rela menerima keputusan jolinya, yaitu Maria Theresia, untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga, Rusli tetap tak mampu menanggung derita hatinya sehingga kesehatan tubuhnya melemah sampai berakhir dengan kematian. Komik ini memainkan dengan jelas efek ironi melalui dikotomi antara heroisme maskulin dalam bentuk pengabdian profesional jola ke daerah konflik dengan ketidakberdayaan jola menghadapi kehilangan asmara.

Beberapa potongan panel dari komik Cinta Maria.

Pada sisi lain, joli dalam komik ini (Maria) terjebak dalam ikatan moralitas balas budi sehingga dia tidak mampu untuk tetap menolak tawaran perjodohan dari paman dan bibinya, yang selama ini sudah menjadi pengganti orang tuanya yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan. Menurutnya, paman dan bibinya sudah berjasa membesarkannya dan menyekolahkannya sehingga dia bisa menjadi guru SD. Karena itu, joli merasa penerimaannya atas perjodohan itu merupakan tindakan balas jasa yang wajib dia lakukan. Berbeda dengan Irina — joli dalam komik Berpisah Menjelang Fajar (1970) yang sudah dibahas di atas — yang melihat mobilitas sosialnya (menjadi penyanyi bar yang terkenal) sebagai hasil perjuangannya sendiri, Maria memandang mobilitas sosialnya (menjadi guru SD) adalah jasa dari orang tua angkatnya. Dengan demikian, perjodohan dalam komik ini dapat dikatakan sebagai transaksi ekonomi dalam keluarga kelas menengah yang mempertukarkan perkawinan dengan jasa mobilitas sosial.

Sampai di sini persoalan penting yang perlu diajukan adalah sejauh mana tokoh joli digambarkan berdaya di hadapan lembaga perkawinan yang didasarkan pada transaksi ekonomi itu? Fungsi penarikan diri joli tampaknya dapat dipahami sebagai upaya menolak lembaga perkawinan semacam itu. Komik Cinta Pertama (1974), misalnya, memperlihatkan hubungan asmara yang mulanya digambarkan secara sempurna antara Fanny dan Felix. Dimulai dengan perkenalan di pinggir telaga di tengah alam pegunungan, dilanjutkan dengan percakapan demi percakapan yang membangun rasa saling mengerti sehingga kesenjangan kelas di antara mereka dapat dilebur. Felix tidak peduli lagi pada statusnya sebagai anak pengusaha kaya dan lulusan universitas di London, sedangkan Fanny yang berstatus lebih rendah (pelayan di sebuah toko musik) merasa tetap percaya diri dalam hubungan asmara yang setara.

Namun, kesetaraan hubungan mereka di alam bebas itu kemudian dipatahkan oleh acara makan malam mereka bersama ayah Felix yang mempertegas ketidakpantasan Fanny dalam kode sopan-santun kelas menengah di meja makan (table manner) dan percakapan yang mempertanyakan asal-usul keluarganya yang miskin. Kesenjangan kelas/status pun terbuka lebar kembali. Apalagi ketika Fanny mengetahui bahwa Felix sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan gadis lain dari keluarga kaya demi menjamin kelanjutan bisnis keluarga Felix itu sendiri, Fanny memutuskan untuk menarik diri dari hubungan asmaranya dengan Felix. Dia kembali pada pekerjaannya sebagai pelayan di toko musik sambil tetap berdedikasi merawat neneknya, yang kemudian meninggal pula, sebagai satu-satunya keluarganya yang masih ada.

Pengalaman kehilangan asmara dan penarikan diri itu pada akhirnya membuat Fanny lebih dewasa dan matang:

“Mengapa aku harus menangis? Akhirnya aku menganggukkan kepala. Ia terus menatapku. Kini ia agak berbeda tidak seperti Felix yang di tepi telaga. Akupun tidak seperti Fanny dari tepi telaga.” (hlm. 183).

Demikian penegasan Fanny atas perubahan dirinya setelah mengalami kehilangan asmara itu, suatu perubahan yang mengarah pada kemandirian sikap. Dalam plot seperti ini, penarikan diri joli dapat ditafsir sebagai sikap moral yang lebih tinggi daripada sikap kepengecutan jola yang tak berani menolak transaksi ekonomi perjodohan yang didesakkan oleh orang tuanya.

Penarikan diri yang lebih terlihat tegas sebagai upaya untuk mempertahankan kemandirian ekonomi dan kebebasan pribadi joli dapat dibaca dalam Interlude (1980). Anie, joli dalam komik ini, berani menanggung risiko yang lebih berat dengan kembali pada pekerjaannya sebagai hostes (pelayan bar yang kadang-kadang juga menjadi PSK) daripada harus meneruskan asmaranya dengan David, kekasihnya, yang sudah dijodohkan dengan gadis lain. Meskipun hidup bersama dengan David selama ini telah memberikannya kesempatan untuk mempelajari pengetahuan, tata krama, dan selera kelas menengah, Anie tetap merasa ada yang hilang dalam kebahagiaan barunya bersama David, yaitu kebebasan pribadi. Maka, ketika dia mengetahui perjodohan David, Anie menarik diri dan menegaskan pendiriannya melalui suratnya untuk David:

Aku menyadari memang aku tidak sepatutnya untuk mendampingi hidupmu buat selamanya. Relakanlah aku pergi, biarkanlah aku membawa diriku ke mana saja atas kehendak hatiku. Aku manusia yang ingin bebas, bebas bagaikan burung camar di angkasa lepas. Tak mudah buatku untuk menyerahkan seluruh hidupku pada seorang laki-laki saja. Relakanlah atas kebebasanku ini. (hlm. 18).

Dari bukti-bukti cerita di atas, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa lembaga perkawinan kelas menengah dalam komik-komik Zaldy tampaknya cenderung digambarkan sebagai transaksi ekonomi yang melumpuhkan kebebasan pribadi para joli dan menempatkan mereka ke ruang domestik perjodohan. Dalam tekanan sosial seperti itu, adakalanya joli tertaklukkan dalam perjodohan melalui legitimasi moral balas budi, adakalanya mereka menarik diri dan berupaya tetap mempertahankan kemandirian ekonomi dan kebebasan pribadinya sebisa mungkin. Adapun jola, sejauh bukti-bukti di atas, tetap terposisi sebagai pihak yang tidak berdaya di hadapan tekanan transaksi ekonomi perjodohan. Jadi, intinya, komik Zaldy tampaknya ingin melawan ideologi gender dengan memperlihatkan perjuangan joli untuk mendapatkan kemandirian ekonomi melalui mobilitas sosial. Selain itu, komik Zaldy juga ingin melawan ideologi kelas sosial dengan memperlihatkan bahwa kegagalan asmara di akhir cerita selalu disebabkan oleh perbedaan kelas sosial di antara jola dan joli.

Jadi, ada apa sebenarnya dengan cinta? Ada kepatuhan, negosiasi, dan perlawanan. Silakan tentukan. Selebihnya adalah blah blah blah….

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.