Sudah Berhenti Sebagai Jurnalis, Mengapa Masih Aktif Menulis?

Aditya Hadi Pratama
Idea Picker
Published in
4 min readJan 1, 2019
Photo by NeONBRAND on Unsplash

Sejak bulan November 2018 yang lalu, saya secara resmi meninggalkan posisi sebagai jurnalis di sebuah media startup dan teknologi yang bernama Tech in Asia. Saat ini, saya bekerja di sebuah perusahaan modal ventura yang bernama East Ventures, dengan pekerjaan yang sama sekali berbeda.

Ketika menjadi jurnalis, aktivitas menulis praktis merupakan pekerjaan utama saya. Tidak bisa tidak, setiap hari saya harus menulis. Hingga akhirnya setelah tiga tahun berselang, saya berhasil “menelurkan” sekitar 1.400 artikel. Saya yakin tidak akan bisa menghasilkan artikel sebanyak itu bila tidak bekerja sebagai jurnalis.

Namun dengan pekerjaan baru ini, saya masih ingin tetap menulis.

Tentu saya tidak akan bisa seproduktif ketika menjadi jurnalis, tapi paling tidak saya ingin tetap lebih produktif dalam menulis dibanding kebanyakan orang. Mengapa saya ingin melakukan hal tersebut? Berikut ini alasannya.

Rutin menulis membuat “lapar”

Photo by Thought Catalog on Unsplash

Ketika menjadi jurnalis, dengan “paksaan” harus menulis setiap hari, saya terbiasa untuk selalu memikirkan ide tulisan baru yang ingin saya tulis. Kewajiban tersebut membuat saya mempunyai perspektif yang unik ketika melihat segala hal.

Contohnya ketika sedang mengantri untuk melakukan pembayaran di minimarket, lalu orang di depan saya ternyata sedang ingin membayar cicilan untuk salah satu aplikasi pinjaman online. Orang biasa mungkin hanya akan menggumam “Oohh …”, atau justru merasa sebal karena proses pembayarannya yang lama.

Namun sebagai jurnalis, saya justru tertarik dan memikirkan beberapa pertanyaan.

Mengapa orang itu menggunakan aplikasi pinjaman online?

Bagaimana aplikasi tersebut bisa menggaet orang tersebut sebagai pelanggan?

Apakah fenomena ini juga terjadi di kota lain?

Bila iya, sebanyak apa masyarakat Indonesia yang melakukan pembayaran cicilan lewat minimarket?

Dan banyak pertanyaan lainnya.

Bayangkan, dari satu fenomena saja saya bisa mendapat ide untuk menulis beberapa artikel, atau satu artikel yang memuat banyak informasi seperti di atas.

Bahkan terkadang saya tidak perlu menemui kejadian unik seperti itu. Ide untuk membuat tulisan bahkan bisa datang ketika saya sedang mengetik artikel ini.

Saya tiba-tiba akan berpikir mengapa saya memutuskan untuk menulis artikel ini di Medium? Mengapa saya memilih untuk mengetik dengan Macbook Air, dan bukan dengan perangkat digital lainnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa memicu munculnya artikel-artikel berbeda.

Setelah tidak menjadi jurnalis, dan kemudian saya tidak lagi aktif menulis, saya khawatir rasa penasaran seperti itu akan hilang.

Saya ingin tetap lapar, dan tidak mau sedetik pun merasa kenyang.

Pisau yang sudah tajam harus tetap diasah

Photo by Manki Kim on Unsplash

Tiga tahun bekerja sebagai jurnalis, membuat kemampuan menulis saya lebih baik dibanding kebanyakan orang. Saya tidak mengatakan bahwa saya adalah penulis terbaik, karena saya pun masih mempunyai banyak kekurangan. Tapi bila menganalogikan sebuah pisau, maka “pisau menulis” saya kini telah lebih tajam dibanding sebelumnya, karena diasah setiap hari selama tiga tahun.

Lalu apa yang akan terjadi bila saya berhenti menulis? Pisau tersebut pun pasti akan kembali tumpul.

Itulah yang ingin saya hindari. Kemampuan menulis, seperti juga kemampuan-kemampuan yang lain, merupakan sesuatu yang berharga. Apabila bisa memanfaatkannya dengan baik, saya bisa mendapat keuntungan baik dalam bentuk materi maupun non materi di kemudian hari. Kehilangan kemampuan seperti ini tentu merupakan sebuah kerugian besar.

Berhenti menjadi jurnalis tentu membuat saya kehilangan alat pengasah yang baik. Saya pun harus mengasah dengan cara yang lain. Salah satunya adalah dengan menulis artikel ini.

Ya, benar. Menulis artikel tentang alasan menulis pun merupakan salah satu bentuk latihan menulis.

Tak mau ide dan pemikiran saya menjadi sampah

Photo by Gary Chan on Unsplash

Dalam berbagai kesempatan, saya sering memikirkan ide atau memperhatikan fenomena unik yang menurut saya bisa bermanfaat untuk orang lain. Seperti ketika membaca sebuah buku, membaca berita, atau menonton film dan serial tv. Saya bisa tiba-tiba mendapatkan ide tentang tip membangun startup, membina hubungan dengan lawan jenis, atau menjalin komunikasi dengan orang lain.

Bahkan saya bisa mendapatkan pemikiran-pemikiran itu ketika tengah mengendarai sepeda motor di perjalanan pergi dan pulang kantor.

Sangat disayangkan apabila ide dan pemikiran tersebut tidak bisa saya bagikan kepada orang lain.

Itulah alasan lain mengapa saya ingin tetap menulis. Aktivitas menulis sudah menjadi cara saya untuk membagi ide dan pemikiran kepada orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa bermanfaat untuk orang lain?

Menjaga konsistensi untuk tetap menulis tentu akan lebih berat dengan saya tidak lagi bekerja sebagai jurnalis. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba, kan?

--

--