Mengenal Bong Joon-ho, Sutradara Jenius dari Kor-Sel

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
7 min readAug 5, 2017

“Saya membuat film yang ingin saya tonton”- Bong Joon-ho-

Bong Joon-ho

Tanyakanlah siapa itu Bong Joon-ho kepada sembarang orang di jalanan Korea. Mereka pasti tahu. Semua orang kenal Bong. Tidak hanya para cinephil, tetapi juga orang awam. Koran, majalah, TV, dan media massa lainnya berjasa besar dalam mempopulerkan nama Bong. Bahkan ia lebih terkenal ketimbang beberapa artis Korea. Pernyataan ini saya kutip dari seorang youtuber Korea kala meresensi Bong Joon-ho. Media di Korea memang mengekspose Bong sebagai sutradara Korea terbaik saat ini.

Bong tumbuh di ekosistem kesenian keluarganya. Ayahnya seorang desainer, sedangkan kakeknya adalah penulis kawakan di Korea. Bong memutuskan untuk menjadi sutradara kala masih SMP.

Ia lahir 14 September ’69 di Daegu. Di akhir ’80 ia adalah mahasiswa yang bergiat di klub film Yonsei University. Meskipun Bong muda kuliah di jurusan sosiologi, namun kegandrungannya kepada film membuat Bong kenyang melahap film-film dari sutradara Edward Yang, Hou Hsiao-hsien and Shohei Imamura. Bong muda bahkan berulang kali menonton film-film tersebut demi mempelajari teknik-tekniknya. Ia hampir hafal seluruh shot film-film idolanya ini. Bong berujar dalam sebuah wawancara, “Jika syarat menjadi cinephil adalah menonton banyak sekali film, maka saya tidak tidak akan masuk.” Karena ungkap Bong, apabila ia suka dengan suatu film, Bong akan mengulang-ulang menontonnya.

Permulaan ’90, Bong menyelesaikan program 2 tahunan di Korean Academy of Film Arts. Tempat dia membuat film pendek menggunakan kamera 16mm. Film kelulusannya (film pendek) Memory of My Frame dan Incoherence diundang untuk skrining di Vancouver dan Hong Kong International Film Festivals.

Pascalulus, lima tahun lamanya Bong menghabiskan waktu bekerja dengan sutradara lain. Dia berkontribusi dalam penulisan skenario Film bersama (kompilasi) Seven Reasons Why Beer is Better Than My Lover (1996), sebagai penulis skenario dan astrada untuk film debut Park Ki-yong’s Motel Cactus (1997) dan satu dari empat penulis (bersama dengan Jang Jun-hwan sutradara film, Save the Green Planet! untuk skenario Phantom the Submarine (1999). Bong Joon-ho menjadi buah bibir di Korea, baru setelah filmnya di rilis tahun 2003. Memories of Murder. Namanya segera digadang-gadang sebagai Sutradara Korea unggulan.

Berikut di bawah ini beberapa film Bong sesuai urutan kronologisnya.

Barking Dogs Never Bite (2000)

Poster Film Barking Dogs Never Bite
Tampilan Apartemen dan Hutan di Belakangnya

Film yang berlatar apartemen di Korea ini adalah film panjang Bong yang pertama. Menurutnya, ini adalah perwujudan sekaligus transisi dari film-film pendek Bong sebelumnya. Mengambil tema dari kehidupan sehar-hari di apartemen, Bong lantas mengolahnya menjadi film drama, komedi gelap, yang ada sentuhan laganya sedikit. Ide film ini menurut Bong adalah kehidupan awal pernikahannya yang tinggal di apartemen. Barking Dogs Never Bites memang tidak sukses secara komersil. Penonton film ini di bioskop hanya sekitar 70.000 penonton. Kecil untuk sebuah film panjang di Korea. Akan tetapi film ini akan menjadi makanan pembuka jika kita ingin menikmati sajian film-film Bong. Dalam film ini Bong membuat kita tertawa dengan ganjil. Kalau istilah asingnya bitter aftertaste. Film ini sarat dengan black comedy dan satir. Di film ini, isu sosial seperti korupsi, hidup bertetangga di apartemen, dan kehidupan suami istri dengan tekanan ekonomi menjadi konteks film ini.

Apartemen abu-abu yang bersebelahan dengan hutan yang hijau bisa dibilang menimbulkan kesan unik. Sebuah latar yang cukup kontras (kalau tidak bertolak belakang). Di apartemen ini seorang dosen yang stres karena ingin promosi menjadi profesor (agar bisa mengajar), ditambah lagi stresnya dengan gonggongan anjing tetangga yang selalu mengganggunya. Ia memutuskan menculik anjing itu. Namun masalah bukannya menjadi selesai, tetapi justru makin runyam.

Seekor anjing, yang bagi sang dosen adalah sebuah gangguan, tetapi bagi seorang anak kecil pemilik anjing itu adalah kesayangannya. Kemudian bagi seorang sekuriti apartemen, anjing adalah makanan kesukaannya. Anjing kemudian, punya sisi beda dalam benak masing-masing orang di apartemen.

Adegan demi adegan di shooting dengan sederhana tetapi menegangkan. Kejar-kejaran di apartemen yang sempit, dll. Karakter Park Hyun Nam yang diperankan oleh Bae Doona juga brillian. Sebagai pegawai yang sehari-hari melakukan pekerajaan monoton di balik meja. Memeberi cap stempel (legalisasi) poster yang akan ditempel di sekitar apartemen (termasuk poster kehilangan anjing si anak kecil). Park Hyun Nam yang lugu dan inosen sedari awal, sampai akhir film pun demikian. Trivia yang menarik adalah Bae Doona bersedia tidak di make-up untuk film ini. Sebuah kesediaan yang amat jarang diperoleh dari aktris Korea lainnya.

Memories of Murder (2003)

Poster Film Memories of Murder

Beberapa calon produser menertawakan Memories of Murder manakala membaca skenarionya. Bagaimana mungkin film pembunuhan berantai akan laku jika sampai akhir film identitas si pembunuhnya tidak diungkap?

Namun bukanlah seniman namanya jikalau cuma berpikir laku atau tidak bukan? Bong tetap berpegang pada prinsipnya. “Saya membuat film yang saya suka menontonnya. Saya membuat film yang saya rasa belum dibuat oleh orang lain. Dan akan puas karenanya. Film yang diangkat dari kisah pembunuhan berantai di Korea ini mendapat pujian di Korea dan dunia. Pujian bermunculan terhadap film panjang kedua Bong ini. Baik dari segi sinematografi, penyutradaraan, skenario dan temanya. Film ini Korea banget lah kata para kritikus.

Tahun 2003 memang ada 2 film Korea yang menyentak perhatian: Oldboy-nya Park Chan-wook dan Memories of Murder. Old Boy memenangkan Un Certain Regard di Cannes sementara Memories of Murdernya Bong Joon-ho memiliki kelebihan dengan menyajikan kondisi masyarakat Korea akhir ’80-an di bawah rezim diktator. Sedangkan Oldboy, yang dibuat remakenya oleh Hollywood itu lebih universal, tidak mesti terjadi di Korea.

Latarnya berbeda sungguh dengan film pembunuhan Hollywood. Jika di Hollywood adalah sudut-sudut kota yang gelap, sementara Memories of Murder ini di sebuah pedesaan yang terpencil: Hwaseon, sebuah desa pertanian. Area sawah dan bentang alam. Secara tema, film ini mirip dengan Zodiac (2007), sebuah film pembunuhan berantai juga tahun 2007 oleh David Fincher.

Dua tokoh utama: Seorang polisi lokal dan seorang detektif yang didatangkan dari Seoul berjibaku memecahkan misteri ini. Polisi lokal yang tidak cakap dalam interogasi, barang bukti yang gampang saja rusak dan hilang, lantas komedi ironis, ketika tidak ditemukan jembut pemerkosa pada kemaluan korban, polisi langsung memutuskan kalau pelakunya shaved lantas ia mencarinya di pemandian umum.

The Host (2006)

Cover DVD film The Host

The Host laku keras di Korea, tiketnya terjual lebih dari 13 juta lembar. Majalah Sinema terkenal dari Perancis, Cahiers du Cinema memuji Bong dengan sebutan Woody Allen-nya Asia, karena bakatnya dalam memadukan unsur-unsur yang heterogen dengan cara yang halus lagi mulus.

Film perjuangan melawan monster dikemas Bong dengan tidak biasa. Bong memulai dengan menyoroti pencemaran di Sungai Han di inti jantung kota Seoul. Sungai yang menjadi simbol bunuh diri juga di Korea. “Saya mau ke Sungai Han” adalah semacam gaya bahasa di Korea untuk menyebut ingin bunuh diri. Bong membuat film ini unik dengan perjuangan sebuah keluarga melawan monster mutan tersebut. Ya keluarga. Jika umumnya film tentang monster akan melibatkan pemerintah beserta armada tentaranya untuk melawan monster. Di film ini justru pihak keluarga-lah yang melawan monster itu.

Si monster mutan mesti berurusan dengan sebuah keluarga ketika ia menculik sang anak kecil di keluarga tersebut. Setelah pengungsian, pemerintah mengumumkan jikalau sang anak sudah mati. Sementara sang ayah yang diperankan brillian oleh aktor top Song Kang-ho tidak percaya. Alih-alih pemerintah mau membantu, sang ayah justru dicurigai depresi sampai gila. Sang ayah berjuang bersama keluarganya demi membebaskan sang anak.

Jangan dibayangkan akan ada senjata canggih macam pedang laser atau pistol laser atau senjata-senjata hi-tech. Tidak, cuma ada panah (karena ada atlet panahan), bom molotov dan perkakas sehari-hari lainnya semisal sapu dll.

Dibuka dengan fakta pencemaran sungai Han oleh bahan kimia melalui adegan pembuangan formal dehyde berbotol-botol oleh seorang warga Korea. Nah menariknya, warga Korea ini diperintah atasannya, seorang amerika di pangkalan militer Amerika di Seoul. Beberapa kritikus berspekulasi The Host ini Korea sendiri, yang menjadi inang bagi si parasit: Amerika. Aksi pelemparan bom molotov juga menandakan simbol protes terhadap pemerintahan Korea yang bobrok.

Mother (2009)

Poster Film Mother

Sebuah misteri thriller yang indah. Bong seperti mencampur drama ibu-anak ala Pedro Almodovar dan thriller Alfred Hitchcock dalam komposisi perfekto. Mother menyajikan daya-upaya seorang ibu dalam membela anaknya. Berkisah tentang keluarga ibu dan anak yang kesulitan ekonomi. Sang anak yang terbelakang mental dituduh melakukan pembunuhan terhadap seorang gadis. Sang Ibu tidak percaya dan berjuang kesana kemari demi membuktikan anaknya tidak bersalah. Thriller kasih sayang. Saya awalnya mengira film berjudul Mother ini adalah model film-film penguras air mata. Ternyata saya menganggap remeh Bong. Jelas film ini membalikkan dugaan awal saya. Film ini menampilkan konflik batin yang disusun rapi lengkap dengan porsi misteri. Menggunakan lapis-lapis cerita yang lezat, dan teknik sinematografi yang mumpuni. Mother diundang untuk berkompetisi di Cannes 2009 di kategori Un Certain Regard.

Snowpiercer (2013)

Poster Film Snowpiercer

Snowpiercer adalah film transnasionalnya Bong (Korea-Ceko). Diadaptasi dari komik Perancis, novel grafis perancis Le Transperceneige karya Jacques Lob, Benjamin Legrand dan Jean-Marc Rochette. Film berlatar dunia post-apokalips. Dunia distopian kala planet bumi sudah membeku (kembali ke zaman es) dan terancam punah. Tersisa hanya kereta api yang memutari bumi berulang-ulang dengan energi abadi. Energi abadi ini menariknya dimiliki oleh sebuah perusahaan (dan dipuja-puja). Konflik kelas antara gerbong yang mewah dan melarat, rencana dan impian tentantg revolusi, coba diramu Bong di dalam set sebuah kereta api. Pertempuran bermuka-muka, polemik selama revolusi dan keinginan-keinginan pribadi.

Okja (2017)

Mija dan Okja

Okja hmm.lihat di sini aja ya.

--

--