Di Balik Layar Tes Masif COVID-19 di Jawa Barat

Fulca Veda
Jabar Digital Service
7 min readSep 8, 2020

Berada di garis terdepan untuk memastikan setiap orang dengan gejala dapat mengikuti tes COVID-19, ternyata penuh tantangan. Di samping mengejar target pengetesan 1 persen dari total 50 juta populasi, isu ketersediaan logistik dan integrasi sistem masih menjadi pekerjaan besar Provinsi Jawa Barat.

Pandemi yang datang tanpa pandang bulu telah mengubah cara kita menanggapi sebuah krisis kesehatan di abad ke-21. Dengan berbagai batasan yang tercipta di tengah pandemi, kita dipaksa untuk mengandalkan teknologi untuk berinteraksi dengan orang lain, tak terkecuali dalam pelaksanaan Tes Masif COVID-19.

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat terus mengupayakan Tes Masif COVID-19 untuk memutus rantai penyebaran pandemi. (Dok. Jabar Digital Service/Aulia Rifqi)

Bersama Head of Implementation Jabar Digital Service, Biondi Sanda Sima, penulis menghimpun berbagai informasi di balik layar pengujian massal di Jawa Barat. Di tengah kesibukannya, pria yang pernah menempuh gelar Master di Sciences Po Paris dan Peking University Beijing ini bercerita selama lebih dari 40 menit terkait tantangan, inovasi, bahkan rekomendasi tulisan yang menurutnya bisa kamu ‘intip’ karena sangat berpengaruh dalam merespon sebuah pandemi! Yuk, simak obrolan kami di bawah!

Bisa ceritakan peranmu di Jabar Digital Service dan dalam implementasi Tes Masif di Jabar?

Biondi: Halo! Di Jabar Digital Service, saya berperan sebagai Head of Implementation (IMP). Tugas utama tim ini sendiri mulai dari melakukan stakeholders alignment hingga project delivery untuk program-program strategis terkait transformasi digital di Jabar.

Dari keseluruhan tim, yang terlibat langsung di pengujian massal ada seorang Project Officer, dua Monitoring Officer, beberapa Front Office, dan sistemnya didukung dari Divisi IT Dev dan Divisi Analisa. Keterlibatan JDS setidaknya ada di dalam 3 tugas besar pengimplementasian Tes Masif di Jabar. Pertama, pembuatan Sistem Informasi yang end to end mulai dari pendaftaran, periksa mandiri lewat PIKOBAR, penentuan threshold untuk diikutkan pengujian, proses undangan, pengaturan kloter pengujian untuk menghindari penumpukan peserta di lokasi pengujian, hingga pemberitahuan hasil pengujian yang bersifat rahasia kepada peserta tes melalui pesan WhatsApp atau SMS.

Biondi Sima bersama salah satu Project Officer Implementasi JDS saat pelaksanaan Tes Masif COVID-19. (Dok. Jabar Digital Service/Adji)

Kedua, kami juga membantu mengawal data pelaporan dari kota dan kabupaten. Hal ini penting karena Pemprov telah mengalokasikan sumber daya yang cukup ekstensif, termasuk tenaga penguji, logistik pendukung, bahkan hal-hal kecil seperti plastik limbah. Pelaporan BNBA harus dipertanggungjawabkan dan dikawal, sehingga kami tahu apakah pengujiannya tepat sasaran atau tidak, karena yang utama harus mengutamakan suspek sebagai orang yang butuh pengujian, lalu tenaga kesehatan yang potensi terpaparnya tinggi. Terakhir, untuk beberapa kasus pengujian di beberapa Kabupaten/Kota, relawan non kesehatan kami bantu rekrut melalui PIKOBAR.

“…Pemprov telah mengalokasikan sumber daya yang cukup ekstensif, termasuk tenaga penguji, logistik pendukung, bahkan hal-hal kecil seperti plastik limbah,”

Kebetulan khusus untuk penanganan COVID-19 ini, saya juga ditempatkan sebagai Wakil Koordinator Sub Divisi Pengujian Massal di salah satu sub-divisi PPM, Pelacakan Kontak, Deteksi Dini, Pengujian Massal, dan Manajemen Laboratorium di Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Tugasnya untuk mendukung penyusunan strategi dan implementasi pengujian massal secara keseluruhan, baik RDT maupun PCR di lapangan.

Adakah tantangan dan kendala selama mengorkestrasikan Tes Masif di Jabar?

Biondi: Tantangannya pertama terkait logistik. Ada beberapa bahan dalam proses ekstraksi, pengujian, dan analisa, yang langka di pasaran. Ini membuat beberapa labkes kesulitan, jadi harus dihemat bahannya. Secara logistik, ini challenge yang besar, resources terbatas, target populasi banyak.

Ilustrasi logistik medis dalam pengujian COVID-19. (Dok. Jabar Digital Service/Aulia Rifqi)

Kedua, masalah integrasi sistem. Beberapa laboratorium satelit punya sistem informasi sendiri, dari pusat juga ada sistem allrecord, dan dari Provinsi pun ada sistem manajemen lab sendiri lewat PIKOBAR. Konsekuensinya bisa berpengaruh ke manajemen tenaga admin. Tenaga yang bekerja jumlahnya sedikit, dengan insentif yang terbatas dan load pekerjaan yang besar. Data yang diinput juga tidak sedikit, di Jawa Barat, 40% spesimen pengujian diekstrasi di Labkes Jabar. Setidaknya ada 5.000–7.000 spesimen yang dikelola setiap harinya. Tentu ini pekerjaan yang melelahkan, penyelesaian integrasi sistem perlu dipercepat, agar ada harmonisasi data hasil pengujian antara Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pemerintah Pusat.

Terakhir, isu di lapangan. Masalah persepsi dan resistensi masih terjadi, mungkin Kota/Kabupaten yang lebih sering menghadapi hal ini. Masalah besar lainnya bukan hanya karena pandeminya, tapi juga kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelengkapan dan kejujuran saat mengisi formulir registrasi pengujian. Kami pernah menemukan peserta yang membawa barcode milik orang lain untuk bisa ikut serta dalam pengujian massal.

“…dari situ kita tahu bahwa data dan isu digitalisasi sangat terekspos dalam krisis ini. Betapa kita sulit mengelola sebuah pandemi tanpa sistem informasi yang terintegrasi, dan tanpa masyarakat yang juga sadar akan pentingnya penggunaan data di masa sulit ini.”

Adakah inovasi teknologi yang dibuat teman-teman JDS untuk mengatasi tantangan ini?

Biondi: Inovasi Periksa Mandiri di PIKOBAR, I believe kita paling pertama di Indonesia. Sistem pengundangan dan kloter lewat teknologi QR Code itu juga diakui, bahkan Melbourne belajar dari kita. Teknologi ini tak hanya untuk mengurangi penumpukan tapi turut meyakinkan peserta dari sisi keamanannya, mereka hanya butuh datang sesuai jadwal tak perlu takut gak kebagian.

QR Code menjadi salah satu inovasi Jabar Digital Service untuk memastikan keamanan data peserta Tes Masif COVID-19 dan menghindari penumpukan peserta di lokasi pengujian. (Dok. Jabar Digital Service/ Adji)

Kita turut sertakan panduan setelah menerima hasil pengujian, baik anjuran kesehatan maupun bentuk konseling. Ini inisiatif yang kita lakukan sendiri lewat benchmark dari negara lain. Kita juga punya inovasi PCR Portable yang sudah disalurkan ke 27 Kabupaten/Kota dan sifatnya bisa dijinjing dibawa ke pelosok-pelosok, hasilnya bisa diterima dalam 40 menit. Jadi gak perlu dibawa ke laboratorium untuk ekstrasi di kota.

Tes Masif di Jabar masih belum berakhir nih, dengan berbagai risiko dan tantangannya, bagaimana sih cara kamu membangun optimisme di IMP untuk memaksimalkan keberhasilan kegiatan ini?

Biondi: Dalam pandangan saya, anggota tim JDS punya internal motivation. Umumnya anak-anak [divisi] Implementasi commit dengan tugas ini, dalam arti mereka paham meskipun ini berat, tapi kerja keras mereka punya impact ke masyarakat. Jadi, knowing that your work has meaning, bisa jadi motivasi. Terutama, PCR ini salah satu dari 3 komponen kunci untuk memutus penyebaran pandemi ini, kalau kita tidak melakukan tes, kita tidak bisa identifikasi kasus konfirmasi, kalau tesnya ada namun datanya berserakan, kita juga tidak bisa analisis untuk membuat strategi penanganan COVID-19 selanjutnya.

Biondi bersama para relawan Tes Masif COVID-19 Jabar. (Dok. Jabar Digital Service)

Kalau saya pribadi ada 4C untuk bisa empowering internal team. Pertama, Competence, di mana tiap orang harus punya kompetensi untuk mengeksekusi pekerjaannya. Ada user yang kooperatif, ada yang tidak respon, ada yang nyeleneh. Kita berusaha memanfaatkan keadaan di lapangan yang belum sempurna 100% sebagai lahan pembelajaran, kita deploy di lapangan sambil perbaiki sistemnya. Kedua, Consequence, di mana anggota tim paham konsekuensi kalau kita tidak deliver sebuah tahapan proses implementasi.

Biondi bersama salah seorang Project Officer dan Head of Communications JDS, ketika mengimplementasikan Tes Masif pertama pada klaster GBI Lembang. (Dok. Jabar Digital Service/Adji)

Lalu, Choice. Karena kita JDS range usianya milenial, kita berusaha meng-introduce kultur bekerja yang berbeda dari kultur pemerintahan top-down. JDS punya self-drive, tanpa harus diarahkan terlalu banyak, bisa menjalankan perannya sesuai pilihan sendiri. Kita sifatnya bukan diperintah, tapi lebih ke dikonsultasikan agar memiliki ownership terhadap programnya, misal kita ada kebutuhan ini, permasalahannya ini, kalau menurut kamu bagaimana, bisa bantu deliver? C terakhir, Community. Ketika tim diekspos ke sebuah pekerjaan, tetap ada divisi atau squad yang mendukung, meskipun mereka self-driven, they still belong to the community yang akan back-up jika menemui kendala yang tidak bisa diselesaikan secara peer leadership atau bottom-up.

Boleh rekomendasi dong, Political Leaders ataupun Penulis yang argumennya cukup progresif terkait penanganan COVID-19?

Biondi: Kalau sejak masuk di Jabar ya, aku jadi paham figur pemimpin itu sangat penting. COVID-19 betul-betul menjadi ujian bersama, bukan hanya buat pemimpin di Jabar, tapi di seluruh dunia. First of all, menurut saya tidak ada yang dapat nilai A, bahkan di luar negeri pun yang sistemnya sudah lebih mature, ternyata proses penanganannya juga iterative sambil belajar.

Gubernur Ridwan Kamil ketika memantau Gudang Logistik Penanganan COVID-19. (Dok. Jabar Digital Service)

Ridwan Kamil is obviously one of the figures we look up to. Tapi jadi sadar juga, kadang tidak cukup hanya bersandar pada kualitas pucuk pimpinan, tapi juga harus menguatkan pimpinan-pimpinan di bawahnya, orang-orang yang ikut mengeksekusi, itu harus punya kualitas kepemimpinan yang sama baiknya. Kalau orang yang mengeksekusi tidak punya kualitas leadership yang sama, hasil implementasinya justru tidak optimal.

Kalau penulis, hmm. It’s not a book, tapi aku refer ke Tomás Pueyo. Menurutku ada tiga artikelnya yang jadi membuka pandangan kami, bahkan sebelum WHO datang dengan protokolnya. Penjelasannya komprehensif dan data-driven, bahkan Pak Gubernur juga akhirnya mengikuti presentasi terkait argumen-argumen Pueyo. Bisa dibilang artikel Pueyo di awal pandemi jadi salah satu pemantik bagi kami, bahwa pandemi ini sesuatu yang sangat serius and we have to do something about it.

Terakhir nih, ada harapan nggak terkait implementasi pengetesan massal ini?

Biondi: Saya berharap kita bisa melampaui target pengetesan 50.000 spesimen per minggu, sesuai golden standard dari WHO. Harapannya koordinasi juga semakin lancar, sehingga tidak cuma mengejar kuantitas tapi juga memastikan sasaran yang tepat, baik itu untuk semua suspek, nakes, dan profesi lainnya dengan level eksposur keterpaparan yang tinggi. Terakhir, data pengetesannya bisa kami olah dan analisa sehingga strategi pengujian menjadi lebih tajam.

--

--