Teman-teman Kain Kita dari kiri ke kanan, adalah Nurhayati, Cassandra Grant, Nursida, Terry Endropoetro, Harry Setiawan, dan Popie.

Berbagi Cerita Kain Vol. 1

Saling Kenalan, Berbagi Kisah, & Bertukar Keterampilan

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita
Published in
6 min readApr 2, 2019

--

Nurdiyansah Dalidjo

Memang bukan yang pertama buat Kain Kita punya kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman pegiat dan pecinta kain tradisi. Sebelumnya, Kain Kita pernah pula berkolaborasi dengan Pecha Kucha. Tetapi, kali ini tentu berbeda. “Berbagi Cerita Kain” merupakan acara perdana yang diselenggarakan sendiri oleh Kain Kita melalui kolaborasi dengan individu maupun komunitas pendukung secara kolektif, independen, dan swadaya.

Pada awalnya, tak terpikir bagi Kain Kita untuk mempunyai suatu kegiatan yang bisa mengumpulkan orang-orang, terutama anak muda, dengan antusiasme yang sama terkait kain. Selama hampir satu tahun terbentuk, Kain Kita memang hanya terfokus dalam upaya melakukan pendokumentasian dan kampanye dengan pendekatan storytelling melalui media digital. Namun, sejumlah respon pun mulai berdatangan.

Tahun ini, kami telah meluncurkan hadirnya situs KainKitaProject.com. Selain itu, kami juga mulai melakukan kampanye #PakaiKain untuk menggalakkan dukungan anak muda bagi penenun atau pembuat kain sekaligus menunjukkan kebanggaan terhadap seni dan budaya. Dengan memakai kain (tanpa dijahit), kami mencoba mengajak siapa pun untuk bisa terlibat dan bersama-sama memecah stigma bahwa mengenakan kain bukanlah hal yang terkesan kuno, ribet, dan tak modis. Dan kami pun membuat rangkain video tutorial memakai kain melalui YouTube untuk memudahkan siapa pun dapat memanfaatkan dan menampilkan kain-kain tradisi.

Video turotial memakai kain sebagai bagian dari kampanye #PakaiKain.

Saat kami menyebarluaskan foto maupun video #PakaiKain, gagasan untuk melakukan suatu pertemuan pun tercetus. Hal itu disampaikan oleh sejumlah kawan dan pendukung, termasuk mereka yang mengikuti kami melalui media sosial.

Ajarin cara pakai itu, dong!” komentar seorang follower kami terhadap salah satu foto terkait gaya sederhana mengenakan kain tenun.

Sebagian lainnya juga mengungkapkan keinginan untuk bisa saling berkumpul sebagai sesama pegiat dan pecinta kain. Mereka adalah para penulis, peneliti, aktivis, kolektor, dan orang-orang dengan beragam latar belakang. Ada pula yang ingin berjumpa agar bisa saling berbagi cerita tentang kain maupun bertukar keterampilan seputar kreasi memakai kain.

Dalam waktu yang tak begitu lama, Kain Kita berkenalan dengan kawan-kawan dari Rumah Tenun BIFE dan Studio Kawanmain.co. Dari situlah lahir ide dan upaya untuk penyelenggaraan Berbagi Cerita Kain secara bersama-sama dan diharapkan dapat terus ada secara berkelanjutan.

Suasana perkenalan pada Berbagi Cerita Kain Vol. 1 di Studio Kawanmain.com yang berlangsung dengan hangat dan ramai.

Berbagi Cerita Kain Vol. 1

Pada edisi pertama ini, kami terpikir untuk menyajikan suatu topik yang sangat penting untuk dibahas, yaitu mengenal potret penenun di kampung. Bukan suatu kebetulan — tak juga hal yang disulit — bagi kami untuk bisa menghadirkan kawan yang dalam tiga tahun terakhir ini intens berhubungan dengan kelompok penenun. Annisa Hendrato atau akrab disapa Nisul, adalah salah satu pendiri sekaligus sosok di balik brand Noesa — sebuah studio yang mengkolaborasikan perpaduan seni, budaya, dan alam. Nisul juga bagian dari Kain Kita yang telah memberikan kontribusi bagi awal mula kelahiran Kain Kita. Bersama rekannya, Nisul mendedikasikan banyak upaya terhadap penguatan perempuan sebagai penenun dan pengembangan tradisi kain tenun pewarna alam komunitas adat Watubo di Watublapi, Maumere, NTT.

Selain Nisul, kami pula meminta bantuan seorang kawan lagi. Yakni, Feby Bramandewi dari Ageman untuk memfasilitasi sesi praktik mengenal teknik-teknik tradisional dan kontemporer memakai kain.

Mulanya, kami hanya terpikir untuk menyediakan kursi sekitar 15 orang. “Bisa terisi penuh semua saja sudah syukur,” begitu awalnya kami berkomentar.

Ternyata, hanya dalam waktu tiga hari saja setelah kami menyebarkan poster undangan, sudah ada sekitar 25 orang yang menyatakan ingin hadir. Dengan kapasitas ruang maupun pelayanan yang terbatas, kami pun terpaksa menutup kepesertaan melampaui angka itu.

Nisul berada di tengah (belakang proyektor) sedang memaparkan cerita dan pembelajarannya bersama penenun di Watublapi, NTT.

Sabtu siang itu, Nisul yang hadir sebagai pembicara memulai kisahnya. “Awalnya, kami jatuh cinta pada warna. Tepatnya, warna-warni alam pada kain di Watublapi. Itu yang ngga bisa buat kami tidur,” ucapnya. Ia dan rekannya pun melakukan riset kecil-kecilan dari mana warna itu bisa diperoleh.

Lantas, siapa yang menyangka ketika kemudian mereka pulang dari liburan panjang di NTT tersebut, Nisul dan rekannya justru tak bisa berhenti untuk mengeksplorasi asal usul warna dan tenun ikat. Noesa pun lahir. Dan sampai kini masih terus hadir dengan berbagai inovasi yang tampaknya belum akan menemui akhir.

Dari warna, langkah Nisul bersama Noesa terus berlanjut. Banyak dari kita mungkin sudah akrab dengan produk semacam tali kamera bernama Sangkut atau dompet Sampul yang begitu populer. Keduanya bermaterial utama berupa kain tenun ikat pewarna alam buatan kelompok perempuan penenun. Lebih dari itu, Nisul dan tim melakukan banyak hal. Mereka kini tak hanya berhasil mendokumentasikan tradisi tenun ikat dengan beragam motif dan teknik, melainkan ikut mengupayakan pengembangan beragam warna alam bersama mama-mama di Watublapi.

“Kami (Nisul dan rekannya) kembali (ke Watublapi) dan tinggal selama tiga bulan. Tidur di dapur dengan kasur…. Dan mempelajari warna-warna yang berasal dari tumbuhan di sekitarnya (kebun dan hutan di sekitar Watublapi). Kami berguru dengan mama-mama Watubo.”

Tentu saja, ada banyak tantangan bagi Nisul sebagai “anak muda Jakarta” yang tengah belajar dan menjalin kerja sama dengan kelompok perempuan adat. Ia berbagi pengalaman mengenai pendekatan kultural dalam menjembatani kesenjangan bahasa dan budaya. Itu bukan proses yang mudah. Tapi, bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Dan yang lebih penting lagi, adalah bahwa investasi sosial dan pendekatan unik (not business as usual) yang mereka lakukan tersebut, merupakan kunci bagi inovasi dan keberlanjutan terhadap Noesa.

Diskusi bersama Nisul berlangsung seru hingga lebih dari satu jam. Teman-teman yang ikut hadir, tak sedikit pula yang melakukan kerja-kerja bersama penenun dan terkait dengan kain. Kami juga kehadiran teman-teman penenun dan perempuan adat dari Tano Batak, Sumatera Utara dan Kajang, Sulawesi Selatan. Mereka adalah kawan kami dari PEREMPUAN AMAN — organisasi sayap AMAN yang beranggotakan individu perempuan adat anggota AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Pada sesi itu, kami saling bertukar pembelajaran, ide, dan pendapat tentang kain.

Setelah diskusi, kemeriahan justru kian pecah. Feby mulai mengajak teman-teman yang hadir untuk mengeluarkan kain-kain tenun maupun batik yang dibawa. Saat itulah praktik tutorial #PakaiKain dimulai secara langsung dan interaktif. Feby tak hanya berbagi pemahaman dan keterampilan, tapi juga mempersilakan teman-teman lain untuk menunjukkan teknik yang mereka ketahui dan bertukar cara-cara kreatif memakai kain.

Belajar mengkreasikan kain batik tulis dari Lasem (berwarna kuning) untuk pakaian atau atasan lapisan luar.
Feby sedang mengajarkan Cass bagaimana cara memakai kain batik.
Teman-teman sedang mengkreasikan variasi mamakai kain tenun sebagai bawahan.

“Acaranya sederhana, namun sangat mengena serta membahagiakan kalbu,” kata Yongky Suadi, seorang pecinta dan peneliti kain. Ia mengaku menyukai Berbagi Cerita Kain karena bisa langsung berinteraksi dengan para sahabat baru dalam suasana yang hangat dan akrab.

Rade Eva, juga pegiat kain, berpendapat kalau acara Berbagi Cerita Kain menyenangkan sekali. “Terutama lihat antusiasme teman-teman. Semuanya saling memperhatikan… dan ternyata acara yang diadakan secara kolektif, efektif bikin kebersamaan makin hangat.”

Sementara teman kami yang lain, ada Terry Endropoetro, seorang blogger, mengungkapkan kalau ia jadi dapat pelajaran baru tentang cara-cara menggunakan kain untuk dipakai sehari-hari.

Foto bersama teman-teman Kain Kita.

Kain Kita adalah gerakan kolektif dan independen yang bekerja untuk upaya-upaya terhadap pendokumentasian cerita-cerita unik atau storytelling tentang kain tradisional maupun kain adat di Indonesia.

Kami percaya pada mimpi bahwa pengumpulan data dan informasi kebudayaan adalah hal yang penting. Itu tidak hanya menjadi suatu kekuatan, melainkan pula hal yang bisa dilakukan untuk keberlangsungan dan pemajuan kebudayaan itu sendiri sekaligus kesejahteraan masyarakat secara luas.

Lebih lanjut mengenai kami, dapat di baca melalui KainKitaProject.com atau ikuti media sosial kami untuk update Berbagi Cerita Kain Vol. 2 melalui Medium, Instagram, Twitter, dan YouTube.

--

--

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita

Telling stories through the indigenous and traditional textiles of Indonesia.