Kesahajaan pada Sehelai Kain

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita
Published in
12 min readFeb 1, 2021

Variasi Motif dan Filosofi pada Suat Badui

Kain tenun buatan Masyarakat Adat Badui atau Kanekes yang biasa disebut dengan suat.

Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Suasana menjejaki jalan setapak menuju perkampungan Masyarakat Adat Badui, terasa hening dan tenang. Rumah-rumah dikelilingi hutan dan ladang serta dilintasi sungai. Semakin saya mendekat, terdengar bunyi hentakan kayu yang kian jelas. Suara itu pun terdengar punya ketukan dan irama.

Tak-tak, tak-tak, tak-tak….

Orang-orang mengenal mereka sebagai Badui (Baduy). Tetapi, sebetulnya mereka menamakan wilayah adat mereka dengan Kanekes, sehingga warganya menyebut diri Urang Kanekes. Dalam bahasa setempat, “urang” berarti orang. Meski begitu, warga Kanekes tak pernah menyangkal panggilan “Badui” dari masyarakat luar Kanekes. Dahulu para peneliti dan antropolog Belanda awalnya melekatkan istilah “Badui” untuk menyamakannya dengan penyebutan salah satu suku Arab Badawi yang nomaden. Pada seorang kawan yang kala itu menemani saya berkunjung, saya pernah bertanya dengan sebutan apa sebaiknya saya memanggil mereka.

Ia jawab, “Kalau sudah tahu namanya, panggil saja namanya.” Ia adalah warga Badui Dalam. Namanya Sanip. Saya memanggilnya Kang Sanip untuk menghormati ia yang berusia lebih tua dari saya.

Mengenal Siapa Itu Masyarakat Adat Badui

Secara administrasi, Badui berada di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Orang Badui atau Urang Kanekes sendiri merupakan salah satu Masyarakat Adat yang masih mempertahankan identitas budaya mereka dan tinggal secara turun temurun di wilayah adat di kawasan perbukitan.

Kanekes atau Badui terdiri ke dalam dua corak, yakni Kanekes Dalam (Badui Dalam) dan Kanekes Luar (Badui Luar). Pemisahan itu merujuk pada upaya mereka dalam beradaptasi dengan dunia maupun masyarakat luar tanpa menghilangkan karakter khas mereka sebagai Masyarakat Adat. Badui Dalam relatif memiliki aturan adat yang lebih ketat dibandingkan Badui Luar. Contohnya, mereka yang berada di Badui Dalam, tidak diperkenankan menggunakan kendaraan dan alas kaki dalam melakukan perjalanan ke mana pun. Mereka yang tak mampu menaati atau — sengaja atau tidak sengaja — melanggarnya, maka akan terkena sanksi adat, bahkan bisa saja kemudian menjadi warga Badui Luar. Meski begitu, baik itu Badui Dalam maupun Badui Luar, tetap memiliki aturan utama yang sama-sama dipatuhi. Kita bisa membedakan mereka dengan pakaian yang dikenakan. Badui Dalam dengan tenun putih polos untuk atasannya, termasuk ikat kepala, dan bawahan berupa kain garis-garis hitam. Sementara itu, Badui Luar dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala bercorak batik warna biru (perempuan dengan sarung batik biru atau sarung tenun bergaris biru). Badui Dalam memiliki tiga kawasan permukiman, yakni Cibeo, Cikartawana, dan Cikesik dan dipimpin oleh tetua adat yang disebut Pu’un, sedangkan Badui Luar, sedikitnya terdapat 60-an kampung dan dikepalai oleh para Jaro. Di antara kampung-kampung itulah mereka hidup secara harmonis dengan hutan dan menggantungkan hidup sebagai peladang gulir balik dan pemburu. Salah satu hasil utama buruan mereka, adalah madu.

Sungai di kawasan adat Badui.
Suasana Kampung Badui Luar.

Ketika mengunjungi kampung-kampung Badui, Kang Sanip mengajak saya untuk bertamu ke rumahnya di Cibeo. Di salah satu kampung Badui Dalam tersebut, setiap pengunjung diperkenankan menginap semalam saja. Selama berada di sana, saya harus mengikuti aturan adat mereka, seperti tidak membuang sampah, tidak menyalakan peralatan elektronik atau gadget, tidak mendokumentasikan apa pun, tidak mandi atau menggosok gigi dengan deterjen, dan tidak boleh mendekati rumah tetua adat mereka.

Suasana ketika matahari tenggelam di Cibeo, terasa tenang dan senyap. Saya dapat mendengar samar-samar suara serangga dan burung yang beraktivitas di malam hari. Sesekali ada suara langkah kaki warga yang berjalan terburu-buru. Saat saya izin keluar rumah untuk melihat situasi kampung di malam hari, ternyata tidak sepekat yang saya bayangkan. Bulan dan bintang tampak jelas dan bercahaya terang di langit. Dan meskipun tak ada listrik atau sumber penerangan apa pun, Kampung Cibeo tidak diselimuti kegelapan total. Bahkan, pada parit yang dibuat di samping rumah-rumah warga serta tepian sungai, kunang-kunang berterbangan dengan pantat berkedap-kedip memancarkan cahaya.

Doa dari Kaum Perempuan

Keesokan harinya, saya sudah harus meninggalkan Cibeo sebelum siang. Kang Sanip akan mengajak saya mengunjungi beberapa kampung yang memproduksi kain tenun. Warga Badui Dalam sendiri tidak menenun, sehingga mereka perlu membeli atau menukar komoditi untuk bisa memiliki kain tenun dari kampung-kampung Badui Luar. Perjalanan memakan waktu sekitar tiga jam yang ditempuh dengan berjalan kaki melewati hutan dan perbukitan. Bagi Kang Sanip, itu hal yang telah menjadi kesehariannya: berjalan kaki tanpa alas kaki.

Tanda-tanda ketika saya hendak tiba di kampung tenun Badui Luar, mudah ditebak. Suara hentakan alat tenun terdengar kian jelas. Kami sampai di Kampung Cipeler di Badui Luar.

Kang Sanip mengenalkan saya pada Ibu Ina. Selain juga sebagai penenun, Ibu Ina juga mengelola pengumpulan dan penjualan kain-kain tenun secara kolektif di kampung. Kepada saya, Ibu Ina menunjukkan hasil tenunan yang tersedia. Saya bilang mau membeli kain bawahan seperti yang dikenakan Kang Sanip.

Tenun pewarna alam.

“Namanya aras,” kata Kang Sanip memberi tahu saya. Ia bilang memang tak banyak penenun yang mau membuat aras sebab motif itu tak banyak dibeli turis yang berkunjung. Mungkin karena terlalu sederhana. Coraknya hanya hitam garis-garis polos dan hanya kain itulah yang bisa dikenakan pria Badui Dalam sebagai bawahan. Dulu, aras dibuat dari benang kapas pintal tangan dan kemungkinan menggunakan pewarna alam untuk menghasilkan warna hitam pekat. Tapi, kini sangat jarang kain tenun dibuat dengan benang kapas pintal tangan dan pewarna alam. Selain material kapas yang tidak memadai dan prosesnya yang membutuhkan keterampilan dan waktu, benang pabrik kini lebih mudah diakses dan punya banyak warna yang memberikan peluang bagi penenun untuk mengekspresikan selera seninya. Apalagi, kain-kain juga perlu ditenun secara cepat untuk bisa dijual dan memenuhi kebutuhan wisatawan sebagai oleh-oleh.

Saya mendapat sehelai aras seperti yang dikenakan Kang Sanip. Tetapi, Ibu Ina ternyata punya juga aras lain yang ditenun dengan benang pabrik warna. Saya menaksir yang kuning.

“Tunggu sebentar,” jawabnya ketika saya bertanya harga. Ia beranjak pergi ke rumah tetangga. “Kain itu bukan saya yang buat. Orangnya di sana, biar tanya harga dengan dia.”

Tak berapa lama, seorang perempuan muda menghampiri saya. Perangainya malu-malu. Kang Sanip bilang kalau perempuan Badui memang tidak biasa untuk berkenalan atau berbincang dengan orang luar, apalagi lelaki. Banyak dari mereka juga sulit berbahasa Indonesia. Saya menghormati situasi itu dan tidak banyak tanya selain harga untuk kain yang ia buat.

“Tiga ratus ribu,” ucapnya. Kain itu sepanjang dua meter dan saya segera melakukan transaksi dagang.

Hari itu, Ibu Ina tengah sibuk. Saya tak punya kesempatan mengobrol banyak dengannya sebab mungkin ia ada pesanan kain yang harus ia selesaikan. Ia mengizinkan saya mengintip rumahnya. Di dalam, ada karung-karung berisi kain tenun berbagai corak. Kain-kain itu akan ia kirimkan kepada pengepul untuk kemudian dijual kembali kepada pihak lain.

Perkakas tenun Badui.

Kang Sanip menjelaskan pada saya kalau bagi perempuan-perempuan Badui, menenun adalah ibadah, selain tentu saja pergi ke ladang dan mengurus anak bersama suami. Nyaris tak ada perbedaan di kampung untuk tugas atau beban antara lelaki dan perempuan. Keduanya punya pekerjaan yang serupa. Tapi, jika umumnya lelaki berburu madu atau lainnya di hutan, maka hanya perempuanlah yang menenun di Badui. Kain tenun ibarat doa, begitu kesimpulan saya setelah mendengar penjelasan Kang Sanip.

Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Kampung Marengo yang juga memproduksi kain tenun. Di Marengo, saya berkenalan dengan penenun bernama Ibu Narwati. Sayangnya, ia tidak fasih berbahasa Indonesia. Tetapi, Kang Sanip membantu kami mengobrol.

Ibu Narwati mengungkapkan bahwa dirinya sudah mahir menenun sejak usia 10 tahun. Di Badui, anak-anak perempuan belajar tenun dengan ibu atau nenek atau bibinya. Pengetahuan dan keterampilan tentang tenun, mereka peroleh secara turun temurun. Anak-anak Badui memang tidak bersekolah (di sekolah modern yang disediakan oleh pemerintah) selayaknya anak-anak di luar Badui. Namun, meski mereka tidak diperkenankan mengikuti pembelajaran di sekolah, mereka belajar banyak hal dari orangtua mereka. Anak laki-laki akan lebih banyak ikut ayahnya ke ladang dan hutan, sedangkan anak perempuan juga belajar di ladang dan menenun di rumah. Mereka memiliki konsep tersendiri terhadap definisi “sekolah” menurut adat mereka.

Sambil menenun, Ibu Narwati memberi tahu nama-nama bagian perkakas tenun gedogan atau pelantai (backstrap loom) yang terbuat dari paduan batang kayu dan bambu. Dodogong adalah bagian penahan punggung, lalu ada sisir, hapit, balera, cangcangan, patitihan, togtogan, dan limbuhan. Sambil menenun, Ibu Narwati juga sedang mendampingi anak perempuannya untuk mulai menenun. Usianya menjelang remaja, tapi ia telah mahir memadu-padankan motif benang-benang warna. Dari sehelai kain separuh jadi yang dibuatnya, si kecil ini tampaknya menyukai warna merah.

Tentu saja, ada hal yang mereka percaya untuk harus dilakukan atau diucapkan ketika menenun. Dalam kalender Badui, ada waktu di mana penenun meliburkan diri dari aktivitas menenun, yaitu saat bulan Sapar dan tanggal tertentu di kala purnama.

Bagi perempuan-perempuan Badui, tenun menegaskan identitas mereka sebagai perempuan adat. Dari tenun jugalah mereka punya peran strategis terhadap perekonomian keluarga. Mereka dapat menghasilkan uang dari hasil penjualan tenun.

Keragaman Teknik dan Motif Tenun Badui

Sebenarnya, teknik maupun motif pada tenun Baduy atau biasa disebut suat oleh masyarakat setempat, sangatlah sederhana. Orang-orang Badui Dalam, selain aras, hanya mengenakan kain tenun polos, baik itu putih maupun hitam. Itu adalah simbol kesederhanaan bagi mereka. Tak ada strata atau hierarki. Semua orang memakai kain polos yang sama, baik itu sebagai pakaian, tutup kepala, kain gendongan, tas punggung atau tempat menaruh barang, dan lainnya. Tetapi, seiring perubahan situasi, motif dan teknik juga berkembang dan kian beragam di Badui Luar. Hal itu menandai bahwa Masyarakat Adat Badui pun sangat dinamis, terbuka, dan mengapresiasi kebebasan penenun untuk berekspresi dan berkreasi terhadap karya tenun. Sehingga, meski orang-orang Badui Dalam dan Badui Luar memiliki ketegasan aturan terhadap warna atau corak dari kain yang mereka pakai sehari-hari, namun tidak ada pantangan untuk perempuan Badui Luar membuat kain tenun dengan teknik, motif, dan benang pabrik warna yang beragam. Maka, kain tenun bisa jadi melambangkan kebebasan perempuan terhadap seni.

Seorang perempuan adat Badui sedang menenun.

Dari hasil berbincang dengan Kang Sanip maupun para perempuan penenun yang saya temui selama berkunjung ke Badui, saya mendapatkan sedikitnya ada sejumlah variasi nama untuk teknik atau motif dan fungsi tenun yang berbeda-beda selain aras.

Yang paling terkenal dan paling banyak dibuat, adalah suat songket. Nama songket memang generik di Indonesia. Tetapi, tak seperti songket di Sumatera yang menggunakan benang emas atau perak, songket Badui menandakan tenun yang dibuat dengan teknik hias benang timbul kotak-kotak bergaris. Tak heran kalau songket itu, jadi yang paling laris di kalangan turis sebab punya variasi permainan warna yang beragam.

Selain songket, adu mancung juga sangat diminati pengunjung. Tenun tersebut punya teknik serupa songket, namun memiliki ragam hias geometris berbentuk “X” atau segitiga yang sangat umum ditemukan pada banyak tradisi tenun di Indonesia. Di Sumatera Barat, motif itu dikenal dengan sebutan pucuk rebung (tunas bambu). Pada jenis tertentu, benang timbul pada kain sengaja dibiarkan terurai (rumbai) pada sisi belakang.

kain tenun aras (kiri) dan janggawari (kanan).
Kain tenun atau suat adu mancung (kiri), samata (tengah), dan songket (kanan).

Mirip dengan suat songket dan adu mancung, ada juga suat samata dengan motif penuh belah ketupat. Tenun jenis ini adalah yang paling sulit dan membutuhkan waktu relatif lebih lama dari yang lain.

Mengenai sarung tenun bercorak garis-garis kotak kecil yang dikenakan oleh perempuan Badui Luar, namanya adalah poleng. Poleng yang paling umum ialah poleng kacang herang dengan warna corak biru pada dasar warna hitam atau gelap.

Masyarakat Badui juga kerap membuat baju atasan lelaki yang terbuat dari tenun polos warna putih (untuk Badui Dalam) dan hitam (Badui Luar) yang dijahit tangan. Namanya janangkurung. Sedangkan untuk perempuan, biasanya hanya berupa lilitan kain hitam polos yang dikenakan selayaknya kemben selebar dua jengkal tangan. Mereka menamakannya karembong. Untuk ikat kepala atau syal lelaki yang berwarna putih polos (dikenakan Badui Dalam), disebut kelekung. Mereka juga memiliki kain putih polos panjang untuk menggendong bayi yang dinamakan gandongan.

Ada satu tenun sakral yang masih diterapkan, yaitu boeh. Boeh adalah kain tenun yang dibuat dari benang kapas pintal tangan. Warna putih polos dan hanya dipakai untuk membungkus mayat. Menurut mereka, boeh hanya boleh ditenun oleh nenek (kemungkinan adalah perempuan yang telah berhenti haid atau menopause). Mungkin karena proses pemintalan benang kapas yang memerlukan keterampilan tinggi, sehingga diasumsikan hanya bisa dibuat oleh perempuan lansia yang masih mewarisi teknik pemintalan tangan. Tapi, mungkin juga karena masyarakat Badui percaya mereka adalah sosok penenun yang “spesial” sekaligus sangat dihormati. Sayangnya, kini tak banyak lagi penenun boeh di kampung-kampung tenun. Selain karena diproduksi dalam jumlah yang sangat terbatas, kain boeh kebanyakan justru dibeli dari luar. Menurut seorang warga, banyak boeh mereka dapat dari Majalaya — sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat di mana industri tenun pernah berkembang pesat, namun kini kian di ujung tanduk dengan tenun benang kapas pintal tangan yang pula semakin langka.

Mengenai batik bercorak warna biru yang dipakai oleh masyarakat Badui Luar, sayangnya saya tak menemukan warga yang bisa menjelaskan asal usul itu. Mereka sendiri tidak memproduksi batik dan kini kebanyakan batik yang mereka dapat adalah batik cetak (print) yang pula diperjual-belikan sebagai cinderamata untuk wisatawan. Mereka menyebutnya batik ampera.

Batik Badui.

Pergulatan Tradisi dan Komoditi

Kini, kain tenun Badui pun telah dikenal luas. Belakangan, berbagai merek karya desainer Indonesia, mengaplikasikan material kain tenun Badui pada koleksinya yang digelar di berbagai peragaan busana di dalam dan luar negeri. Salah satu desainer itu adalah Melanie Rianti Wibowo dengan brand bernama meLOOKmeL. Pada suatu kesempatan, Kain Kita (saya dan Cassandra Grant) berjumpa dengannya di Jakarta. Ia menyambut baik perkenalan kami dan meluangkan waktu untuk kami berbincang sambil melihat-lihat karyanya.

Pada mulanya, Melanie tertantang untuk menjadi bagian dari upaya pelestarian dan pemajuan budaya. Sebagai desainer atau perancang busana ia ingin mengembangkan kain tenun itu untuk mudah diaplikasikan sebagai pakaian sehari-hari bagi kalangan umum, terutama anak muda. Karya desainnya terlihat memang adalah pakaian ready to wear (siap pakai) yang terkesan dinamis, stylish, dan kasual.

“Sangat sederhana hanya (berupa) garis horizontal vertikal dan diagonal,” komentarnya mengenai kain tenun Badui jenis suat songket dan adu mancung yang banyak diaplikasikannya. “Dalam kesederhanaan garis itulah saya tertantang untuk mengolahnya.”

Menurutnya, kain tenun Badui itu secara motif memiliki keterhubungan dengan gaya desainnya. Ia menggambarkan selembar kain tenun itu sebagai “threads of connection” (untaian keterhubungan) sekaligus “threads of love” (untaian cinta) bagi ia yang mengerjakannya dan siapa pun yang menikmatinya atau mengenakan baju yang terbuat dari kain tenun Badui. Hal itu menjalin suatu kecintaan pada alam dan kehidupan untuk menghubungkannya pada perempuan di komunitas adat badui.

Saya bertanya padanya bagaimana dengan proses kerja sama atau transaksi dagang dengan perempuan-perempuan adat Badui. Ia bilang bahwa kita harus mengerti bahwa ritual adat itu sangat penting dan melebihi urusan dengan pihak luar. “Maka, jangan mengharap terlalu banyak ketika mereka sedang melakukan ritual adat, seperti masa panen, musim khitanan, musim pernikahan, dan waktu masa duka bila ada yang meninggal dunia,” ungkapnya. Ia melanjutkan berbagi cerita tentang pengalamannya mendapatkan material tenun dari komunitas. “Berinteraksi dengan mereka, kita mencoba saling mengerti. Waktu memesan kain, umumnya saya ambil semua walau ada yang kurang sesuai. Tepat waktu membayar! Jangan (membuat) mereka (para penenun) merasa tidak dihargai. Beri pengertian bekerja dengan penuh cinta, dengan hati, ada respect, ada etika untuk tidak menjual kepada pihak lain jenis motif yang sama dengan yang kita sudah pesan.”

Hasil karya Melanie berupa pakaian jadi yang terbuat dari material tenun Badui, telah sering ia pamerkan di berbagai acara di Jakarta. Ia pernah terpilih sebagai salah satu “The Rising Star Designer” dalam Indonesia Fashion Week.

“Respon baik sekali dari sisi gaya dan jenis kain, tapi mungkin di sisi harga yang kurang cocok untuk orang muda yang belum punya penghasilan,” katanya menyebutkan tentang salah satu tantangan meLOOKmeL

Sebagai desainer, ia juga punya harapan bagi para penenun untuk bisa berkembang dengan kualitas karya yang lebih baik dan konsisten. Ia punya perhatian terhadap pengembangan perkakas tenun tradisional dan pewarnaan alam.

meLOOKmeL pada Indonesia Fashion Week. Dokumentasi: Melanie R. Wibowo.

“Seni tradisional merupakan suatu daya tarik yang perlu dilestarikan dari sisi pakem motif, cara tenun tanpa mesin, benang dari kapas, dan pewarnaan yang tidak menimbulkan dampak lingkungan. Bila semua pihak, mulai dari pengusaha benang, pakar pewarna alam, dan penenun mau terbuka untuk saling memberikan dan membagi keahlian untuk hasil yang lebih baik, maka akan menghasilkan kualitas dan ketahanan kain yang lebih bermanfaat dan berdaya guna tinggi,” ungkapnya.

Tentu saja, menjalin kerja sama atau kesepakatan bisnis dengan Masyarakat Adat, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan seperti biasa (business as usual). Sebagai bagian dari jalinan bisnis, kepentingan itu akan bergulat dengan orientasi pada profit. Tetapi, siapa pun juga perlu mempertimbangkan aspek lain dari peran penenun maupun proses menenun yang terhubung dengan keterikatan pada adat. Kesepahaman itu harus dibangun melalui negosiasi di mana — seperti yang diutarakan Melanie — keterbukaan menjadi prinsip yang penting. Itu memang tidak mudah, namun keberlanjutan profit adalah upaya untuk menjaga manfaat jangka panjang, baik itu melihat tenun sebagai produk Masyarakat Adat maupun material pakaian yang terhubung dengan industri fesyen.

Nurdiyansah Dalidjo adalah peneliti dan penulis buku Rumah di Tanah Rempah. Ia sekaligus salah seorang inisiator untuk gerakan kolektif Kain Kita yang berupaya untuk menghadirkan rangkaian kisah di balik kain tradisional atau kain adat di Indonesia.

--

--

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita

Telling stories through the indigenous and traditional textiles of Indonesia.