Perempuan Pahlawan

di balik Keindahan Kain

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita

--

Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Kain Kita menghargai peran dan perjuangan perempuan penenun (pembuat kain) lebih dari sekadar menenun. Kami menyadari bahwa perempuan di berbagai situasi, menghadapi perkara yang unik dan tak mudah terkait dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang berpadu dengan beragam isu: persoalan lingkungan, pengakuan hak masyarakat adat, kekerasan, akses air bersih, perampasan lahan, dan konflik-konflik lainnya. Mereka berjuang keras dalam menggugat diri sendiri, keluarga, komunitas, hingga negara untuk bisa punya hak yang sama. Menenun (membuat kain) bukanlah suatu proses yang biasa di tengah-tengah itu semua.

Tetapi, sebagai perempuan, penenun (pembuat kain), sekaligus pejuang, visibilitas perempuan kerap masih tak terlihat maupun tak dilihat. Hal itu menyebabkan banyak dari kita mungkin menganggap bahwa apa yang dikerjakan mereka, adalah perkara yang terlampau sepele dan biasa. Tentu saja, itu adalah anggapan yang keliru!

Melalui seri #WomenAreHeroes, Kain Kita mencoba untuk memperkenalkan siapa mereka dan apa yang dilakukan oleh para perempuan di berbagai daerah di Indonesia dalam berjuang melalui kain sebagai alat untuk mereklaim hak-hak terkait otoritas diri dan tubuh, identitas budaya, hingga wilayah adat mereka.

Berikut ini, kami memperkenalkan 10 perempuan pertama yang telah kami temui. Kesepuluh perempuan ini memberikan peran dan jasa yang amat penting dalam melestarikan dan memajukan tradisi kain di tempat tinggal mereka masing-masing. Kisah mereka menegaskan bahwa perjuangan sebagai penenun (pembuat kain), melampaui keindahan dan kejeniusan dalam menenun atau membuat kain.

Aleta Kornelia Ba’un (Mama Aleta), Mollo, NTT

Mama Aleta (Foto: The New Humanitarian)

Wajahnya tidak asing lagi. Aleta Kornelia Ba’un — akrab disapa Mama Aleta — adalah perempuan adat dari Molo, NTT. Ia kita kenal sebagai pejuang masyarakat adat di mana ia pernah berhasil mengusir perusahaan tambang dari wilayah adatnya dengan mengorganisir masyarakat adat Molo, salah satunya lewat aktivitas menenun.

“Ketika kami mulai protes, perempuan-perempuan menyadari bahwa mereka dapat melakukan banyak hal — berdiri dan didengar,” ucap Mama Aleta seperti dikutip pada The Jakarta Post. “Perempuan juga pemilik tanah yang diakui dalam budaya Molo, dan (protes) ini membangkitkan kembali perempuan untuk aktif menyuarakan keinginan untuk melindungi tanah mereka.”

Selain aktif berdemo melawan buldoser yang hendak menambang bukit-bukit di Molo, Mama Aleta juga menggerakkan sekitar 150 mama-mama di kampung untuk menenun. Dengan tenun, perempuan menunjukkan resistensi dan perlawanan. Mereka menegaskan ikatan antara masyarakat dan wilayah adat serta sumber daya alam yang dikelola secara lestari: kebun kapas, kebun pewarna alam, sumber mata air, serta seni dan tradisi yang terkandung pada tenun. Salah satunya melalui tenun, Mama Aleta dan para perempuan adat berhasil mengusir perusahaan tambang.

Mama Aleta bersama komunitas (Foto: The Goldman Environmental Prize)

“Para laki-laki sepenuhnya mendukung kami,” kata Mama Aleta, “tetapi tidak memposisikan diri mereka di garis depan karena mereka mungkin bisa menimbulkan bentrokan atau konflik dengan perusahaan pertambangan dan menjadi sasaran serangan.” Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui protes dengan menenun, menarik perhatian Pemerintah Indonesia. Pada 2010, akhirnya perusahaan pertambangan ditekan untuk meninggalkan Mollo.

Setelah sukses mengorganisir masyarakat adat melawan tambang, Mama Aleta terus berjuang lewat jalur politik. Ia juga dikenal sebagai politisi perempuan adat yang disegani. Pada pemilu periode lalu, ia menang melawan kandidat yang menggunakan politik uang. Modal utamanya dalam kampanye politik adalah sirih-pinang.

Nama Mama Aleta tak hanya harum di NTT, tapi juga di Indonesia dan mancanegara. Sampai kini, ia pun masih terlibat dalam upaya pengembangan seni dan tradisi tenun serta pemberdayaan ekonomi tenun di Molo lewat yayasan yang didirikan menggunakan namanya. Tahun 2013 lalu, ia dianugerahi Goldman Environmental Prize dan dari hadiah penghargaan itulah Mama Aleta Fund dilahirkan untuk mendukung program pemberdayaan perempuan di kampung.

Rukmini P. Toheke, Ngata Toro, Sulawesi Tengah

Akrab disapa Bu Rukmini. Ia telah mulai berjuang mereklaim ruang bagi perempuan adat di komunitasnya sejak 1994. Bu Rukmini berasal dari Kampung Ngata Toro di Sulawesi Tengah. Di dalam komunitas adatnya sendiri, ia menggali kembali peran penting perempuan adat yang telah direduksi oleh negara, yakni Tina Ngata yang diterjemahkan dengan Ibu Kampung. Tina Ngata memainkan fungsi penting dalam peradilan adat masyarakat Ngata Toro.

Akhir tahun ‘90-an, perjuangan Bu Rukmini berlanjut. Kala itu, ia melawan taman nasional yang merebut wilayah adat. Sebagai Ibu Kampung, ia bersama perempuan adat lainnya, terlibat dalam negosiasi untuk merebut kembali wilayah adat Ngata Toro. Tahun 2000, pengakuan wilayah adat pun berhasil dilakukan. Lalu, buah dari kegigihannya mengorganisir perempuan adat di kampung, menghasilkan terselenggaranya sebuah kongres pertama yang menyoal isu gender dan perempuan adat di kampung. Dari sanalah, secara perlahan-lahan, tradisi kulit kayu hidup lagi. Akses masyarakat adat untuk mengambil bahan kain kulit kayu di hutan adat telah terbuka dan dihargainya kembali peran-peran penting perempuan adat, membuat kain kulit kayu kembali mendapat tempat. Bagi masyarakat adat di Ngata Toro, kain kulit kayu lebih dari sekadar pakaian di masa lalu, melainkan bagian penting dalam ritual adat.

Kini, perjuangan Bu Rukmini berlanjut ke pertarungan politik elektoral. Ia maju sebagai caleg DPR RI untuk Dapil Sulawesi Tengah. Baginya, perubahan lebih besar akan bisa dilakukan untuk perempuan adat melalui kebijakan.

Ferawati, Pandai Sikek, Sumatera Barat

Ketika melakukan perjalanan ke sentra songket di Sumatera Barat, kami singgah di Pandai Sikek — sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan berbagai galeri songket. Salah satu yang menjadi pelopor adalah Rumah Tenun Pusako. Tapi, tentu untuk menemui penenun secara langsung, galeri songket bukanlah tempatnya. Seorang staf Rumah Tenun Pusako mengantar kami ke rumah seorang penenun. Dan kami berjumpa dan berkenalan dengan Ibu Ferawati.

Ia adalah sosok penenun yang punya banyak pengalaman menyaksikan perubahan kampung. Soal keterampilan, tak usah lagi dipertanyakan. Ia berbagi cerita pada kami tentang bagaimana dulu tenun dilihat sebagai tradisi dan kian berubah menjadi komoditi ekonomi. Dulu, menenun pun punya nilai ekonomi yang tinggi. Tapi, berangsur-angsur relasi berubah. Penenun tak memiliki akses terhadap sumber daya untuk membuat songket, yaitu benang emas dan perak. Kini, pendistribusian benang lebih banyak dikuasai galeri, sehingga para penenun tak ubahnya seorang buruh pabrik. Mereka menamainya “anak tenun” di mana mereka bekerja di rumah dengan alat tenun milik sendiri, tapi benang dari galeri, dan kemudian mengerjakan pesanan dengan upah per helai.

Di tengah situasi yang menantang, Bu Fera juga meluangkan waktu untuk kerja sebagai penjahit. Tak cukup, katanya, jika hanya menggantungkan ekonomi dari upah menyongket. Ia seorang perempuan kepala keluarga, single. Lalu, apa yang membuatnya bertahan menenun? Sederhana ia menjawab, “Sudah jadi tradisi, jadi rugi kalau ngga bisa tenun!”

Mania (Cik Mia), Jambi

Ibu Mania dikenal dengan sapaan Ayu Mia atau Cik Mia. Ia adalah penenun songket, pengorganisir kelompok tenun, sekaligus pengusaha sukses yang ikut menghidupkan kembali dan mengembangkan tradisi songket di Jambi. Maka, kalau ada yang bilang bahwa di Jambi itu tak ada lagi yang namanya songket Jambi, itu salah besar. Silakan mampir ke rumah yang merangkap workshop dan galeri yang dikelola Cik Mia di Jl. Serunai Malam III.

Cik Mia sendiri sudah mampu menenun songket sejak kelas 6 SD. Aktivitas menenunnya sempat terhenti ketika menikah dan sibuk mengurus keluarga sebagai ibu rumah tangga. Tapi tahun 1999, tekadnya bulat. Dengan modal uang Rp 3 juta, ia membeli perkakas tenun dan bahan-bahan untuk mulai lagi menenun di rumah. Sejak itu, ia ikut pula mengajari ibu-ibu di sekitar rumahnya agar mau menenun lagi. Bagaimana dengan motif? Ia pergi ke Museum Jambi untuk mencari inspirasi dan menemu-kenali motif dan teknik kuno dari songket-songket tua dan khas di Jambi.

“(Saya bisa) mencurahkan perasaan ke tenun dan kepribadian juga tumpah di sini (songket),” katanya ketika ditanya mengapa ia ingin lagi menenun.

Cik Mia tak hanya mengembalikan lagi identitas kebudayaan masyarakat Jambi yang meredup dan hampir hilang, tapi juga berhasil memberdayakan kelompok perempuan penenun untuk bisa mandiri secara ekonomi dan ikut menopang kebutuhan keluarga melalui songket.

M. Yovita Oleta, Timor Tengah Utara, NTT

Mama Yovi adalah perempuan asal Biboki, tepatnya di Kec. Biboki Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, NTT. Di kampung, ia kini tak lagi selalu sibuk dengan hanya menenun, tetapi lebih banyak melakukan kerja-kerja pengorganisasian para perempuan adat penenun dan juga repot berkeliling ke berbagai kota di Indonesia untuk mempromosikan kreasi para penenun Biboki.

Tenun ikat Biboki memang spesial. Tak cuma teknik, tapi motifnya pun rumit. Tenun Biboki adalah identitas bagi masyarakat adat Biboki. Motifnya melekatkan keluarga tertentu dalam komunitas. Kain tentu saja dipakai dalam keseharian dan motif-motif khusus hanya dipakai saat upacara.

Mama Yovi bercerita tentang keragaman motif. Ada yang disebut dengan an pua kebi. “Itu ditiru dari corak pinang kering yang dibelah,” katanya. Menyirih pinang masih menjadi tradisi. Ada pula motif niknoo yang terinspirasi dari daun yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Ia bilang kalau daun itu dibuka, tampaklah motif tertentu dan itu yang ditiru atau diaplikasikan pada kain.

Bagi Mama Yovi, melestarikan kain itu juga harus menjawab tantangan pada bagaimana masyarakat di luar komunitas Biboki dapat mengapresiasi dan mendukung kerja-kerja perempuan di Biboki. Maka, ia bersama para perempuan lainnya tak kenal lelah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi desain untul bisa dibeli dan digunakan oleh orang lain.

Rosina Wonga (Mama Ros), Nagekeo, NTT

Tahukah kita apa yang sedang terjadi dan sedang dihadapi oleh perempuan adat di Rendu, Nagekeo, NTT? Beberapa waktu lalu kami berjumpa dengan perempuan adat yang akrab disapa Mama Ros. Senyumnya lebar. Ia sosok yang menebar kegembiraan. Tetapi, siapa pun yang mendengar ceritanya, tentu akan sulit sekadar melempar senyum.

“Yang sudah hilang adalah kapas untuk buat benang,” katanya. “Nenek-nenek dulu (menenun) pakai benang kapas… (kini) hilang karena perubahan zaman dan tidak dikembangkan. Mata air masih ada di Rendu dan terancam hilang.” Yang ia maksudkan itu adalah rencana proyek raksasa pembangunan Waduk Lambo yang akan berdampak di komunitas/wilayah adat Rendu, Ndora, dan Lambo di NTT. “Kalau waduk jadi, ya ritual, adat, tradisi, kubur leluhur, mata air, air terjun, segalanya akan hilang.” Termasuk juga kebun dan tradisi menenun.

Perjuangan masih dilakukan. Puncaknya, Mama Ros berbagi cerita tentang protes yang dilakukan oleh kelompok perempuan adat dengan mendirikan pos yang menjadi lokasi bagi mereka menganyam dan menenun di lokasi proyek. Ya, mereka berdemo menghadapi tentara dengan menenun kain. Tetapi, suatu waktu, pos itu pun coba digusur. Mama-mama dipukul dan diinjak. Puncaknya, sebagian dari mereka bertelanjang dada menunjukkan kepasrahan untuk mengingatkan para tentara bahwa mereka juga lahir dari ibu — tubuh perempuan. Mama Ros dan yang lainnya tidak menolak pembangunan, tapi mereka ingin berdialog terkait dengan lokasi proyek yang merupakan wilayah adat dan sumber penghidupan mereka.

Sampai kini, Mama Ros dan mama-mama penenun lainnya masih berjuang. Salah satu yang dilakukan adalah dengan menenun. Karena dengan tenun itulah, mereka memiliki kesadaran dan kekuatan yang terhubung dengan Sang Pencipta, leluhur, dan wilayah adat.

Nenek Panggau, Toraja Utara, Sulawesi Selatan

Apresiasi tertinggi kami kepada Nenek Panggau. Beliau adalah sepuh untuk tradisi tenun di Toraja, khususnya Sa’dan. Kutipan perbincangan kami dengan beliau telah kami singgung pada cerita Tenun dari Negeri di Awan.

Hingga berusia senja, Nenek Panggau nasih aktif memintal kapas tangan. Jari-jari tangannya sedikit bergetar ketika melakukannya. Namun, hasil pilinan kapasnya menghasilkan untaian benang yang sempurna.

Ia bilang, itu adalah proses tersulit dalam tahapan menenun. Tak banyak penenun bisa melakukannya, bahkan yang telah mahir sekali pun.

Tentu saja, sosok bersahaja Nenek Panggau dan hasil karya tenunnya bisa kamu temui di Sa’dan, sebuah desa yang dilintasi sungai di kawasan perbukitan Toraja Utara di Sulawesi Selatan.

Maratri Kontestiani, Bantul, DIY

Akrab disapa Ibu Kontes, Maratri Kontestiani adalah seorang pembatik dan pengusaha batik di Imogiri, Yogyakarta. Rumah, workshop, sekaligus galerinya berada persis di dekat Kompleks Pemakaman Raja-raja Jawa. Begitu memasuki gerbang dan menapaki tangga menuju pemakaman, di sanalah kita bisa menemukan jejeran toko yang salah satunya berplang sederhana: “Batik Tulis Asli Ibu Hj. Sardjuni.” Persisnya, beralamat di Pajimatan, Girirejo, Imogiri, Bantul.

Bu Kontes adalah generasi keempat pembatik Imogiri. Lalu, apa yang menarik dari batik buatannya? Selain mempertahankan kekhasan batik halus Yogyakarta yang dibatik bolak-balik (artinya kedua sisi kain dibatik, sehingga depan-belakang punya tampilan yang sama), Bu Kontes konsisten menggunakan pewarna alam. Bukan hanya sogan (untuk warna cokelat), tapi juga indigo (untuk warna biru). Menariknya, pewarna alami indigo (tarum) justru tak berada dan tak diproduksi di Imogiri. Ia bilang itu sudah menjadi tradisi sejak dulu untuk menggunakan pewarna tersebut. Awalnya pewarna alam itu didapat dari Pekalongan. Namun, kini di Kota Yogya pun sudah terdapat produsen pewarna alam indigo.

Bu Kontes tak sendirian. Ia sekaligus juga menjadi pengepul yang menampung batik-batik rumahan di sekitar rumahnya. Rumah merangkan galerinya adalah hub bagi hasil karya pembatik rumahan. Para ibu sejak dulu menyetorkan batik hasil kreasi mereka di Toko Bu Sardjuni (Sardjuni adalah ibu dari Bu Kontes). Setiap helai batik spesial. Ada nama pembuatnya dan tentu saja punya kesan personal sebagai suatu apresiasi.

Jadi, kalau kamu mampir ke Imogiri, silakan singgah dan berbelanja kenang-kenangan khas daerah yang dianggap sakral ini di tempat beliau.

Evi dan Teno, Silungkang, Sumatera Barat

Tenun Sisters. Begitulah julukan untuk dua orang perempuan ini. Keduanya adik-kakak. Dan mereka berprofesi sebagai penenun. Bukan sembarang penenun. Tetapi, adalah penenun asli Silungkang yang berjarak sekitar 30 menit dari Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.

Bu Evi dan Bu Teno adalah generasi keempat keluarga penenun di Silungkang. Pada masa kejayaan tenun di sana pada Orde Baru, — sebelum krisis moneter ‘97-’98 — karya-karya mereka dikenal luas oleh kalangan pejabat di Jakarta. Keduanya telah menenun sejak kecil. Dan kesuksesan mereka tak hanya diiringi oleh kesejahteraan pribadi. Bu Evi dan Bu Teno pun giat mengorganisir kelompok ibu-ibu di kampung untuk membentuk koperasi sebagai wadah bagi para penenun memperoleh benang dan distribusi penjualan.

Tetapi, itu bukanlah hal yang mudah. Semua berjalan lancar hingga krisis moneter membuat benang pabrik tak hanya sulit didapat, tetapi mahal luar biasa. Kelompok tenun tercerai-berai karena tak banyak lagi yang mau menenun dengan penghasilan tak pasti. Dan pabrik-pabrik dengan mesin yang memproduksi tekstil bermotif tenun dari Silungkang, ikut mendesak situasi yang membuat tenun akhirnya mati suri. Di tengah kerumitan itu, Bu Teno dan Bu Evi masih menenun dibantu anak-anak dan suami. Tenun masih menghidupi mereka. Di gudang rumah Bu Evi pun puluhan perkakas tenun masih ia simpan dengan harapan kelak tenun di Silungkang akan bangkit.

“Saya masih simpan (perkakas tenun). Itu semua masih bisa dipakai jika kelak mereka (ibu-ibu) mau menenun lagi,” ucap Bu Evi.

--

--

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita

Telling stories through the indigenous and traditional textiles of Indonesia.