Kondisi Infrastruktur Indonesia dan Peran KM ITB

Reza Prama Arviandi
HMS ITB
Published in
15 min readJan 5, 2019
Sumber: Liputan 6

Gambaran Umum

Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional. Infrastruktur juga memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat pisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Oleh karena itu, pembangunan sektor ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya. Pembangunan infrastruktur suatu negara harus sejalan dengan kondisi makro ekonomi negara yang bersangkutan. Dalam 30 tahun terakhir ditengarai pembangunan ekonomi Indonesia tertinggal akibat lemahnya pembangunan infrastruktur. Menurunnya pembangunan infrastruktur yang ada di Indonesia dapat dilihat dari pengeluaran pembangunan infrastruktur yang terus menurun dari 5,3% terhadap GDP (Gross Domestic Product) tahun 1993/1994 menjadi sekitar 2,3% (2005 hingga sekarang). Padahal, dalam kondisi normal, pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur bagi negara berkembang adalah sekitar 5–6 % dari GDP. Krisis ekonomi 1997–1998 membuat kondisi infrastruktur di Indonesia menjadi sangat buruk. Bukan saja pada saat krisis, banyak proyek-proyek infrastruktur baik yang didanai oleh swasta maupun dari APBN ditangguhkan, tetapi setelah krisis, pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur berkurang drastis. Secara total, porsi dari APBN untuk sektor ini telah turun sekitar 80% dari tingkat pra-krisis. Pada tahun 1994, pemerintah pusat membelanjakan hampir 14 milyar dolar AS untuk pembangunan, 57% diantaranya untuk infrastruktur. Pada tahun 2002 pengeluaran pembangunan menjadi jauh lebih sedikit yakni kurang dari 5 milyar dolar AS, dan hanya 30%-nya untuk infrastruktur. Belanja infrastruktur di daerah juga dapat dikatakan sangat kecil, walaupun sejak dilakukannya desentralisasi/otonomi daerah, pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat, sementara pengeluaran pemerintah pusat untuk infrastruktur mengalami penurunan yang drastis. Ini merupakan suatu persoalan serius, karena walaupun pemerintah pusat meningkatkan porsi pengeluarannya untuk pembangunan infrastruktur, sementara pemerintah daerah tidak menambah pengeluaran mereka untuk pembangunan infrastruktur di daerah masing-masing, maka akan terjadi kepincangan pembangunan infrastruktur antara tingkat nasional dan daerah, yang akhirnya akan menghambat kelancaran investasi dan pembangunan ekonomi antar wilayah di dalam negeri. Semakin kurangnya pengeluaran terhadap infrastruktur membuat dengan sendirinya cakupan dan mutu pelayanan infrastruktur menjadi rendah. Contohnya, dalam hal jalan, jalan raya masih sangat terbatas yang hanya 1,7 km per 1000 penduduk, dan hampir 50% dalam kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan jalan kabupaten. Hal ini menambah kemacetan lalu lintas setiap tahun, sementara kapasitas jalan yang ditambahkan sedikit. Pengeluaran pemerintah di subsektor ini terus menurun, dari 22% tahun 1993 ke 11% dari anggaran pemerintah tahun 2000. Jika hal ini terus berlangsung, tidak mustahil kondisi jalan raya yang buruk atau kurangnya sarana jalan raya bisa menjadi penghambat serius pertumbuhan investasi.

Guna mencapai mensejahterakan masyarakat, negara memang memiliki kewajiban untuk mewujudkan cita-cita nasional. Salah satu cara untuk mencapai tujuan nasional tersebut adalah dengan membangun infrastruktur. Infrastruktur yang berwujud pembangunan sarana dan pra-sarana umum seperti jalan, jembatan, sistem pengairan, sistem kelistrikan dan lainnya memang sangat penting untuk digalakkan.

Dengan adanya pembangunan infrastruktur maka akan banyak manfaat dan kenyamanan yang bisa dirasakan masyarakat. Ketika masyarakat sudah merasakan manfaat dan kenyamanan dari infrastruktur yang ada maka segala sendi kehidupan pun akan semakin berjalan lancar. Saat segala sendi kehidupan berjalan lancar maka kesejahteraan masyarakat pun akan bisa terwujud. Hal ini terjadi karena keberadaan infrastruktur bisa membuat roda perekonomian bergerak dengan lancar.

Tapi bila keberadaan infrastruktur di suatu tempat ini buruk maka kesejahteraan masyarakat akan terancam tidak tercapai. Seperti contoh pembangunan jembatan. Bila ada jembatan yang menghubungkan dua daerah ini dibangun maka akan muncul kelancaran akses transportasi antar dua daerah. Ketika transportasi berlangsung baik maka arus distribusi barang juga akan lancar. Saat distribusi barang lancar maka ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pun akan membaik. Dari sini bisa dikatakan bahwa infrastruktur menjadi faktor pendorong roda penggerak pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur yang dapat menjadi investasi jangka panjang bagi sebuah negara memang bukan isapan jempol belaka. Sebab hal ini telah diteliti dalam sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat yang memperlihatkan tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 60%. Sebuah studi dari World Bank tahun 1994 juga menyatakan bahwa infrastruktur di suatu negara memiliki dampak pada elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 0,07 sampai dengan 0,44. Catatan ini memberikan arti yakni setiap kenaikan 1 (satu) persen dari ketersediaan infrastruktur akan mampu membuat pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%.

Keadaan pembangunan infrastruktur yang tidak merata di Indonesia ini disebabkan adanya hambatan. Hambatan pemerataan pembangunan infrastruktur di Indonesia ini dikarenakan oleh dua faktor penyebab yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab terhambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia bisa dikarenakan oleh minimnya anggaran atau juga korupsi para pejabat. Sedangkan untuk faktor eksternal penyebab terhambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia bisa dikarenakan oleh kasus pembebasan tanah.

Infrastruktur merupakan salah satu elemen kunci untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah negara yang kompetitif dan sejahtera dari sisi ekonomi. Berdasarkan data Global Competitiveness Index 2016–2017 yang dirilis World Economic Forum, daya saing Indonesia menempati peringkat ke 41 dari 138 negara. Sedangkan daya saing infrastruktur berada di peringkat 60. Sementara kesiapan teknologi berada di peringkat 91 dari 138 negara. Menurut model makro ekonomi Trading Economics dan ekspektasi analis, peringkat daya saing Indonesia diperkirakan akan mencapai posisi 35 pada akhir kuartal ini. Untuk jangka panjang, menurut model ekonometrik Trading Economics peringkat daya saing diproyeksikan berada sekitar 30-an pada 2020. Hal ini menunjukkan pembenahan infrastruktur masih sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dan menjawab tantangan kurang meratanya pembangunan yang mendukung jalur distribusi dan logistik sehingga mempengaruhi pendapatan di setiap daerah.

Indonesia menyadari kondisi tersebut dengan menetapkan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu sasaran prioritas 2018 yang menargetkan perbaikan konektivitas antarwilayah sekaligus mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. Dampaknya adalah belanja infrastruktur dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 meningkat 5,6% menjadi sebesar Rp 409 triliun dibanding Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBNP) 2017 sebesar Rp 387,3 triliun. Jumlah tersebut meliputi, belanja infastruktur ekonomi Rp 395,1 triliun, infrastuktur sosial Rp 8 triliun, dan dukungan infrastruktur Rp 4,9 triliun. Untuk mewujudkan konektivitas antar wilayah, pemerintah berencana membangun jalan raya baru sepanjang 865 km, 6 bandar udara, 15 pelabuhan, dan jalur kereta api sepanjang 639 km. Selain itu, pemerintah juga melanjutkan pembangunan jaringan tulang punggung serat optik Palapa Ring di 57 kabupaten/kota.

Kondisi Saat Ini

Dalam Global Competitiveness Report 2015–2016, yang disusun oleh lembaga World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati urutan ke-62 dari 140 negara dalam hal pembangunan infrastruktur — peringkat yang bertahan di standar rata-rata, namun justru menyebabkan beberapa masalah besar dalam perekonomian Indonesia. Sejak pemerintah Orde Baru yang otoriter di bawah kepemimpinan Suharto diganti dengan era reformasi pada akhir 1990-an, pengembangan infrastruktur di Indonesia tidak sejalan dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang kuat — yang terjadi setelah pemulihan dari krisis keuangan Asia di tengah commodities boom yang sangat menguntungkan Indonesia pada tahun 2000-an. Akibat kurangnya infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia gagal mencapai potensi penuh.

Ketika keadaan infrastruktur di sebuah negeri lemah, itu berarti bahwa perekonomian negara itu berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat tinggi, berujung pada perusahaan dan bisnis yang kekurangan daya saing (karena biaya bisnis yang tinggi). belum lagi adengan munculnya ketidakadilan sosial, misalnya, sulit bagi sebagian penduduk untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan, atau susahnya anak-anak pergi ke sekolah karena perjalanannya terlalu susah atau mahal. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi makro seharusnya memiliki hubungan timbal balik, karena pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier. Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk memperluas infrastruktur yang ada, untuk menyerap makin besarnya aliran barang dan orang yang beredar atau bersirkulasi di seluruh perekonomian. Namun, kalau infrastrukturnya tidak dapat menyerap peningkatan kegiatan ekonomi (dan tidak cukup banyak infrastruktur baru yang dikembangkan) maka akan terjadi masalah — mirip dengan arteri yang tersumbat dalam tubuh manusia, yang menyebabkan kondisi bahaya yang mengancam kehidupan karena darahnya tidak bisa mengalir. Ini menjelaskan situasi paradoks bahwa buah yang diproduksi di dalam negeri bisa saja lebih mahal dibandingkan dengan buah yang diimpor dari luar negeri. Beberapa tahun yang lalu konsumen di Jakarta sering mengeluh karena jeruk impor dari China lebih murah di supermarket-supermarket di Jakarta dibandingkan dengan jeruk buatan Indonesia sendiri. Selanjutnya, biaya logistik yang tinggi di Indonesia bisa menyebabkan perbedaan harga yang substansial di antara provinsi-provinsi di nusantara. Misalnya, beras atau semen jauh lebih mahal di Indonesia bagian timur daripada di pulau Jawa atau Sumatra karena biaya tambahan yang timbul dari titik produksi ke end user. Dengan kata lain, jaringan perdagangan yang lemah di Indonesia, baik antar-pulau dan intra-pulau, menyebabkan tekanan inflasi berat pada produk yang diproduksi dalam negeri.

Infrastruktur yang kurang memadai juga mempengaruhi daya tarik iklim investasi di Indonesia. Investor asing penuh kekhawatiran untuk berinvestasi di, misalnya, fasilitas manufaktur di Indonesia kalau pasokan listrik tidak pasti atau biaya transportasi sangat tinggi. Kenyataannya, Indonesia sering diganggu pemadaman listrik, meskipun negeri ini dinyatakan berkelimpahan sumber daya energi. Kasus pemadaman listrik cukup lumrah terjadi di daerah-daerah selain Jawa dan Bali. Menurut data yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Indonesia dan Industri (Kadin Indonesia), dari total pengeluaran perusahaan di Indonesia, sekitar 17 persen diserap oleh biaya logistik. Padahal dalam ekonomi negara-negara tetangga, angka ini hanya di bawah sepuluh persen. Hal-hal demikian jelas membuat para investor berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia. Sementara itu, masalah logistik yang tidak efisien (yang mencakup bidang transportasi, pergudangan, konsolidasi kargo, clearance perbatasan, distribusi dan sistem pembayaran) menghambat peluang para pengusaha untuk memperluas bisnis mereka. Infrastruktur fisik yang kualitasnya kurang baik dapat menyebabkan masalah yang lebih buruk. Tidak dapat dipungkiri, para investor harus mempertimbangkan kondisi Indonesia secara geografis. Lokasi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa menyebabkan wilayahnya berada di area curah hujan tropis berat. Dipadukan dengan lokasinya yang terletak di Cincin Api Pasifik, membuat Indonesia rentan dengan bencana alam (misalnya gempa bumi dan tsunami). Hal ini dapat menjadi gangguan besar untuk arus barang dan jasa. Bayangkan, bahkan gempa yang relatif kecil di Indonesia dapat menyebabkan kerusakan serius — termasuk mengakibatkan korban jiwa — karena sebagian dari infrastruktur Indonesia tidak cukup kuat untuk menyerap kekuatan gempa itu. Sementara itu, selama musim hujan (tahunan), pemeliharaan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan banjir, dan dengan demikian, mendorong inflasi — karena kekurangan supply, akibat jaringan distribusi yang terganggu. Setelah segudang catatan infrastruktur di atas, mengerjakan infrastruktur sosial (termasuk sistem pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial), akhirnya masih menjadi tugas susulan bagi Indonesia. Bisa dikatakan Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk mengejar ketertinggalan. Namun jika negeri ini sungguh-sungguh ingin mengembangkan tenaga kerja yang sehat, terampil, dan innovation-driven, maka Indonesia perlu mengatasi hal ini sesegera mungkin.

Pemerintah Indonesia sadar akan pentingnya untuk memperbaiki keadaan infrastruktur sehingga iklim investasi dan bisnis menjadi lebih menarik. Saat ini, tidak ada cukup banyak jalan, pelabuhan, bandara, dan jembatan di Indonesia (ekonomi terbesar di Asia Tenggara), sedangkan — tidak jarang — kualitas infrastruktur yang sudah ada tidak memadai. Namun, pengembangan infrastruktur Indonesia (baik infrastruktur keras maupun lunak) bukanlah tugas yang mudah. Nusantara terdiri dari sekitar 17,000 pulau (meskipun banyak dari pulau-pulau ini tidak ada penghuni dan tidak menunjukkan aktivitas ekonomi). Karena berbentuk kepulauan lebih kompleks (dan lebih mahal) untuk meningkatkan konektivitas dan menyiratkan ada kebutuhan untuk fokus pada infrastruktur maritim. Saat ini, transportasi laut lebih mahal daripada transportasi darat karena infrastruktur maritim di Indonesia itu belum dikembangkan secara substansial. Ini juga menjelaskan mengapa — meskipun Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia dan, dengan demikian, memiliki perairan dan laut yang luas — bisnis makanan laut (seafood) di Indonesia masih tertinggal (ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya fasilitas transportasi cold storage, yang juga menghambat bisnis hortikultura di Indonesia). Pemerintah-pemerintah di era pasca-Suharto tidak sesukses dengan Suharto, Presiden kedua Indonesia, dalam mencapai pembangunan infrastruktur. Hal ini terutama disebabkan oleh konteks politik yang berbeda: demokrasi dan desentralisasi di era pasca-Suharto menyiratkan bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi menggunakan kekuatan militer untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk proyek-proyek infrastruktur. Sebaliknya, pemerintah di era demokrasi harus bergantung pada putusan pengadilan, yaitu proses panjang dan putusannya tidak selalu sesuai kehendak pemerintah. Sementara itu, desentralisasi kekuasaan kadang-kadang menyebabkan bahwa pemerintah daerah tidak mau mendukung rencana infrastruktur pemerintah pusat karena tidak ada cukup banyak keuntungan finansial bagi pejabat pemerintah daerah. Pemerintah pusat yang kurang kuat dibanding dulu juga berarti bahwa telah menjadi lebih kompleks untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur besar yang mencakup tanah di lebih dari satu provinsi. Koordinasi dan komunikasi di antara pemerintah daerah dan pusat di Indonesia boleh dikatakan lemah, yang biasanya disalahkan pada kualitas lemah sumber daya manusia di tingkat lokal. Sementara itu, kadar birokrasi (red tape) di Indonesia sangat tinggi — baik di pusatmaupun daerah — yang sering mengakibatkan keterlambatan (atau pembatalan) proyek infrastruktur karena pembuatan aturan pada tingkat pusat biasanya mencakup isu-isu makro, sedangkan fine-tuning dilakukan melalui berbagai peraturan menteri serta peraturan daerah, sehingga birokrasi memainkan peran besar dan yang menyebabkan kerangka peraturan yang tidak jelas karena koordinasi antara pusat dan daerah tidak optimal. Terakhir, masalah terjadi karena hubungan dekat antara elit politik dan elit korporasi di Indonesia (baik di tingkat pusat dan daerah). Kedua kelompok terutama terfokus pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, bukan kesejahteraan masyarakat setempat.

Selain masalah pendanaan, kendala terbesar terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia tampaknya pembebasan lahan. Proses pembebasan lahan itu adalah proses yang sangat rumit (makan waktu lama dan membawa ongkos mahal) karena banyak pemilik tanah menolak untuk menjual tanah mereka kepada pengembang proyek infrastruktur (misalnya banyak petani Indonesia enggan menjual tanah mereka kepada pengembang pembangkit listrik atau jalan) atau pemilik tanah ini minta harga yang sangat tinggi untuk tanah mereka. Karena kesusahan pembebasan tanah banyak proyek infrastruktur di Indonesia ditunda bertahun-tahun atau dibatalkan sama sekali.

Mungkin masalah terbesar — yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia — adalah untuk menemukan semua dana yang diperlukan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, total Rp 4.796 triliun diperlukan untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur (yang ditetapkan pemerintah) pada tahun 2019. Namun, pemerintah pusat dan daerah hanya bisa memberikan kontribusi 41 persen untuk pembiayaan, sementara perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) hanya dapat memberikan kontribusi hingga 22 persen. Ini berarti bahwa 37 persen dari dana yang dibutuhkan (sekitar Rp 1.752 triliun) harus berasal dari sektor swasta. Namun, masalahnya yaitu sektor swasta — secara umum — tidak terlalu antusias untuk mengambil komitmen pada proyek yang berjangka panjang dan padat modal. Apalagi kalau iklim investasi tidak optimal di negara tujuannya. Seperti dijelaskan di atas, di Indonesia proyek infrastruktur dapat ditunda selama berbagai tahun (atau dibatalkan sama sekali) karena masalah pembebasan lahan atau rintangan birokrasi lainnya. Maka, bisa saja sebelum groundbreaking proyeknya terjadinya pergantian pemerintahan dengan presiden baru yang tidak memprioritaskan proyek infrastruktur tersebut. Mengingat kepastian hukum dan peraturan cukup lemah di Indonesia, sektor swasta cenderung sangat berhati-hati dengan berinvestasi di proyek-proyek jangka panjang dan padat modal.

Untuk memberikan kepastian kepada investor swasta, pemerintah juga membentuk Penjamin Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund, atau IIGF). Lembaga ini memberikan jaminan tertentu terhadap risiko infrastruktur untuk proyek-proyek di bawah skema KPS. Namun, akan memerlukan terobosan besar untuk mencapai ambisi infrastruktur pemerintah Indonesia baik dalam hal skema untuk membiayai proyek maupun terobosan untuk meningkatkan kualitas iklim investasi di Indonesia. Namun, ada juga kekurangan kualitas: banyak jalan yang rusak, jembatan ambruk, dan pelabuhan yang sudah lama dan tidak memadai adalah beberapa contoh. Tidak jarang, jalan yang baru dibuat langsung rusak parah setelah kena banjir. Hal ini sebagian disebabkan oleh keinginan pengembang untuk menggunakan bahan murah (dan sedikit aspal) serta sumber daya manusia berkualitas rendah untuk mewujudkan proyek tersebut namun juga karena kurangnya dana untuk keperluan pemeliharaan (setelah infrastrukturnya dibangun). Salah urus (mismanagement), korupsi dan ketidakmampuan (kekurangan ketrampilan) adalah penyebab utama keadaan lemah infrastruktur di Indonesia.

Isu Utama

Perbedaan pengambilan kebijakan dulu dan sekarang dengan dibentuknya KPPIP. Sumber: KPPIP

Terdapat 3 isu besar yang menjadi tantangan dalam percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pertama, persoalan pembebasan lahan. Isu pembebasan lahan hingga kini masih menjadi faktor penghambat terbesar dalam pembangunan infrastruktur, menyumbang sebesar 30% dari seluruh masalah pembangunan infrastruktur. Persoalan pembebasan lahan banyak ditemukan di berbagai proyek infrastruktur di Indonesia. Pembebasan lahan merupakan langkah mendasar dalam pembangunan. Jika masalah pembebasan lahan belum selesai, maka tahap pembangunan berikutnya tidak dapat berjalan. Persoalan yang muncul dalam pembebasan lahan meliputi kurangnya alokasi dana pembebasan lahan dan lambatnya proses pengadaan lahan. Sebelum kewenangan diberikan kepada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN), pembiayaan pembebasan lahan tersebar di masing-masing Kementerian/ Lembaga yang menyebabkan kurang berjalan efektif dan efisien. Setelah ditetapkannya BLU LMAN sebagai satu-satunya badan yang membiayai pembebasan lahan untuk PSN, maka proses pembebasan lahan menjadi lebih terkoordinir dengan baik dan cepat. Selain itu, hadirnya UU no.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum juga turut memudahkan proses pembebasan lahan. Masalah kedua yang menjadi tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah soal perencanaan dan penyiapan proyek. Ini menempati urutan kedua yang berkontribusi sebesar 27% dalam masalah pembangunan infrastruktur. Persoalan dalam perencanaan dan penyiapan proyek ini terkait dengan masalah koordinasi antar stakeholder proyek dan kualitas dokumen proyek. Pembangunan infrastruktur melibatkan banyak pihak, mulai dari penanggung jawab proyek, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga masyarakat secara langsung, menyebabkan sulitnya mencari titik temu dalam merencanakan proyek secara matang. Belum lagi ketika berbicara tentang ego sektoral dimana masing-masing sektor merasa memiliki kewenangan besar dalam pembangunan infrastruktur, seringkali menyebakan kebuntuan. Keberadaan lembaga yang memiliki fungsi koordinatif seperti KPPIP mampu menjadi solusi dalam mengatasi persoalan koordinasi antar sektor. Sentralisasi lembaga seperti ini juga telah diterapkan dalam beberapa urusan tertentu seperti pembebasan lahan yang saat ini tersentralisir melalui BLU LMAN, perijinan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan juga sentralisasi dalam hal investasi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pembentukan lembaga-lembaga sentral untuk menangani urusan tertentu inilah yang ke depan dapat meningkatkan percepatan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pemerintah saat ini juga tengah menyiapkan kebijakan satu peta (one map policy) agar tidak terjadi perbedaan rencana tata ruang di Indonesia. Persoalan lain dalam hal perencanaan dan penyiapan proyek adalah pada partisipasi swasta. Sejak awal rencana pembangunan infrastruktur di Indonesia tidak ingin membebankan APBN. Kita ingin ada partisipasi swasta. Dalam perencanaan pembangunan infrastruktur di RPJMN 2015–2019 disebutkan bahwa dari kebutuhan pendanaan infrastruktur sebesar Rp 4.197 triliun, sebesar 55% diharapkan berasal dari investasi badan usaha swasta. Untuk itu diperlukan dokumen proyek yang layak dan bisa memberikan penjelasan kepada swasta. Kualitas desain proyek selama ini dianggap kurang meyakinkan para investor untuk berinvestasi dalam proyek pembangunan infrastruktur. Selain itu desain proyek yang dibuat belum memenuhi standar internasional. Untuk itulah KPPIP mendapat mandat salah satunya untuk menyiapkan dokumen desain penyiapan proyek berstandar internasional dalam bentuk dokumen pra studi kelayakan atau Outline Business Case (OBC) dan penetapan skema pendanaan. Dalam dokumen penyiapan proyek tertera berbagai keterangan informasi mengenai proyek, seperti nilai investasi, tingkat pengembalian investasi, keuntungan finansial yang akan didapat, termasuk di dalamnya adalah fasilitas yang ditawarkan pemerintah serta proyeksi resiko investasi. Ketiga, masalah pendanaan berkontribusi sebesar 25% dari seluruh masalah infrastruktur. Dalam hal skema pendanaan ini terdapat 4 skema yang ditetapkan pemerintah yaitu APBN, BUMN, baik atas inisiatif korporasi maupun penugasan dari pemerintah, swasta, dan terakhir skema pendanaan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Pemerintah juga telah memberikan berbagai instrumen pendanaan infrastruktur yang dapat menarik minat investor swasta terutama dalam skema KPBU seperti jaminan Pemerintah, pembayaran Availability Payment, dan dukungan konstruksi seperti Viability Gap Fund (VGF). Selain itu juga terdapat beberapa instrument pasar modal yang dikembangkan untuk infrastruktur seperti Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA). Pemerintah juga sedang menyiapkan skema baru berbentuk LCS (Limited Concession Scheme) yaitu pembiayaan proyek melalui sumber dana swasta atas pemberian konsesi dari suatu aset infrastruktur milik Pemerintah/BUMN yang sudah beroperasi kepada pihak swasta terkait untuk dioperasikan/dikelola. Tujuannya agar pembangunan infrastruktur yang sudah jalan dapat dikembangkan lagi asetnya oleh swasta, dan uangnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur yang lain. Skema pendanaan alternatif lainnya adalah PINA (Pembiayaan Infrastruktur Non Anggaran) yaitu pembiayaan proyek yang dibiayai oleh sumber dana selain dari anggaran milik Pemerintah, contohnya, dana kelolaan jangka panjang (asuransi, dana repatriasi pengampunan pajak, dana pensiun, dll.), dan private equity investors. Beberapa project yang berhasil dengan skema KPBU, seperti jalan tol Balikpapan — Samarinda, jalan tol Manado — Bitung, jalan tol Panimbang — Serang, jalan tol Yogyakarta — Bawen dan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan. Sementara skema availability payment sudah diterapkan dalam proyek pembangunan infrastruktur palapa ring.

Isu sekunder lain apabila bisa disebutkan antara lain yaitu kurangnya koordinasi terkait pendistribusian kewenangan dan pengambil keputusan. Kedua, ketidaksesuaian perencanaan pendanaan dengan kebutuhan implementasi. Ketiga, sulitnya proses pengaduan dan pembebasan lahan. Keempat, kurang memadainya kapasitas Kementerian/Lembaga dan/atau Penanggung jawab Proyek dalam penyediaan infrastruktur terutama yang dilaksanakandengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Kelima yaitu lambatnya proses penyusunan peraturan dan keberadaan peraturan yang tumpang tindih sehingga menghambat investasi.

Peran KM ITB

1. KM ITB sebagai agent of stock sebagai mitra kritis pemerintah menegakkan dan mengawasi kebijakan mengenai infrastruktur yang berkeadilan serta inklusif untuk semua kalangan.

2. KM ITB menjadi penawar diskusi inovasi sebagai mitra pemerintah dalam penanggulan berbagai masalah infrastruktur.

3. KM ITB menjadi jembatan komunikasi massa dalam pembangunan, yang berarti memberi suara yang lantang dalam setiap kebijakan pemerintah yang memihak masyarakat, khususnya masyarakat bawah.

4. KM ITB menjadi pionir masyarakat untuk berinfrastruktur yang baik, agar menjadi contoh untuk komunal yang lebih besar.

5. KM ITB sebagai organisasi mandiri terjun langsung untuk menjadi pengamat infrastruktur berkeadilan di masyarakat dan melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran berinfrastruktur dengan baik.

6. KM ITB menjadi garda terdepan masyarakat untuk menyuarakan kebutuhan akan infrastruktur dan mampu menjadi jawaban sampai masalah tersebut selesai.

Konklusi

1. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional.

2. Sebuah studi dari World Bank tahun 1994 juga menyatakan bahwa infrastruktur di suatu negara memiliki dampak pada elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 0,07 sampai dengan 0,44. Catatan ini memberikan arti yakni setiap kenaikan 1 (satu) persen dari ketersediaan infrastruktur akan mampu membuat pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%.

3. Hambatan pemerataan pembangunan infrastruktur di Indonesia ini dikarenakan oleh dua faktor penyebab yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab terhambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia bisa dikarenakan oleh minimnya anggaran atau juga korupsi para pejabat. Sedangkan untuk faktor eksternal penyebab terhambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia bisa dikarenakan oleh kasus pembebasan tanah. Namun pembebasan tanah ini seringkali menuai konflik vertikal dan horizontal karena tidak dilakukannya investigasi secara mendalam.

4. Mahasiswa sebagai anggota masyarakat, merupakan garda terdepan menjadi mitra kritis pemerintah untuk mengawasi, berdiskusi, berinovasi, jembatan komunikasi massa, dan turun langsung di lapangan melihat infrastruktur sedang bekerja.

Sumber

1. Taher, Tarmizi. Agenda Kritis Pembangunan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003.

2. https://medium.com/@madamr/mahasiswa-mari-sukseskan-pembangunan-nasional-berkelanjutan-f8ce9ea26fcf

3. https://medium.com/planologi-2015/infrastruktur-dan-kapitalisme-404144f5e433

4. http://marketeers.com/ini-dia-lima-fokus-dan-masalah-pembangunan-indonesia-saat-ini/

5. https://www.academia.edu/9240697/Pembangunan_Daerah_di_Indonesia_Masalah_dan_Solusi

6. http://www.academia.edu/19498829/MASALAH_DAN_TANTANGAN_DALAM_PEMBANGUNAN_EKONOMI_INDONESIA_DARI_SEGI_KEKUASAAN_NEGARA

7. https://kinandika.wordpress.com/2013/02/04/pembangunan-indonesia-dan-permasalahannya/

8. https://news.detik.com/kolom/d-3877968/dilema-pembangunan-infrastruktur-di-indonesia

9. https://www.voaindonesia.com/a/infrastruktur-buruk-hambat-pertumbuhan-ekonomi-indonesia/1588378.html

10. https://kppip.go.id/opini/tantangan-pembangunan-infrastruktur-indonesia/

11. http://www.abouturban.com/2018/04/18/pentingnya-infrastruktur-bagi-suatu-negara/

--

--

Reza Prama Arviandi
HMS ITB
Editor for

An amateur. Inclusive infrastructure. You can reach me at rezaprama.com