Editorial / Penutup
Bekal Mengarungi Perkembangan Teknologi
Tentang Inovasi Manusia, Relasi dengan Teknologi, dan Literasi Digital
Sebulan lebih menjalani diskusi dan wacana yang berkembang mengenai perkara digital society ini sebenarnya membuat saya sedikit khawatir. Saya khawatir kami semua di Kolektif Agora menjadi para hipokrit yang paripurna. Seperti yang pernah saya sampaikan saat perkara edisi dua ini dimulai, Kolektif Agora sendiri, pada dasarnya, adalah produk dari perkembangan teknologi, lebih tepatnya anak dari perkawinan berbagai teknologi yang semakin hari semakin ramai dan gegap gempita.
Sempat ada keraguan bagi saya saat memulai melakukan pembacaan dan diskusi, apakah dengan mempertanyakan keberadaan dan perkembangan teknologi, kemudian mengkaji pula bagaimana dampaknya terhadap tatanan masyarakat, berarti juga mempertanyakan keberadaan Kolektif Agora sebagai sebuah wadah yang seratus persen bergantung pada kenikmatan teknologi ini. Tanpa ada postingan Instagram, atau tulisan yang semuanya sudah dalam jaringan Medium, Kolektif Agora tidak ada.
Teknologi dan Kebaruan yang Konstan
Lantas, apa sebaiknya berbagai hal yang sudah kami lakukan kurang lebih selama satu tahun ini harus diganti dengan hal-hal yang tech-free, yang tidak bergantung pada internet, yang tidak bergantung pada perantik lunak dan gadget? Yang lebih konvensional? Tapi, sebenarnya, apa yang konvensional itu? Yang hanya menggunakan kertas hasil fotokopi? Atau yang ditulis tangan kemudian diperbanyak menggunakan kertas karbon?
Dengan kata lain, metode atau teknik yang kini dianggap kuno atau ketinggalan zaman pada mulanya adalah sebuah penemuan yang penuh kebaruan, asing, bahkan menakutkan ketika diperkenalkan pertama kali kepada masyarakat. Namun, pada akhirnya, inovasi-inovasi tersebut berdifusi dengan elemen masyarakat dalam berbagai dinamika dan tantangan. Dengan tidak menutup mata, terdapat elemen masyarakat yang kesulitan beradaptasi dan bertransisi dengan cepat terhadap inovasi teknologi. Tapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan terbendung oleh apapun. Sehingga, membicarakan apakah sebuah inovasi dibutuhkan atau tidak adalah sebuah perdebatan yang kontraproduktif dan mungkin kurang berguna.
Salah satu pertanyaan yang lebih penting dan menarik untuk diajukan adalah pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya inovasi dan perkembangan teknologi yang kontinu ini ditanggapi oleh tatanan masyarakat. Jika memang laju inovasi bersifat konstan, maka relasi manusia dengan teknologi akan bersifat dinamis pula. Mendefinisikan bentuk dan sifat relasi manusia dan teknologi adalah sebuah pekerjaan rumah yang nyaris mustahil untuk dilaksanakan. Relasi tersebut rasanya lebih menguntungkan jika dianggap sebagai sebuah proses yang dialektis dan iteratif.
Iterasi relasi manusia dengan teknologi secara berkala merupakan sebuah aktivitas yang masih asing untuk dilakukan secara umum. Teknologi yang sebaiknya tidak dimanfaatkan for granted sering diterima atau ditolak begitu saja tanpa benar-benar memahami arti dan keberadaanya terhadap kehidupan manusia. Relasi antara manusia dan teknologi adalah relasi yang kontekstual dan perlu ditelaah kasus per kasus. Bahkan dalam satu kasus yang sama pun, bisa terdapat berbagai sudut pandang yang berbeda satu sama lain.
Namun, perlu diingat pula: meski gagasan dasar dari keberadaan inovasi dan teknologi adalah untuk mendorong kehidupan manusia ke arah yang lebih baik dan sejahtera, tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa persoalan yang kerap muncul seiring dengan pembaharuan teknologi ini, antara lain technological exclusion dan technological unemployment. Kedua kondisi ini seringkali asosiatif terhadap inovasi dan penciptaan teknologi baru, sehingga muncul kegamangan dan ketakutan dari golongan masyarakat tertentu. Persoalan lain yang kerap muncul adalah technological addiction. Namun, bukan berarti hal ini menjadi legitimasi agenda untuk menihilkan keberadaan teknologi di tengah-tengah kehidupan manusia.
Hal ini sudah pernah disampaikan oleh Naufal yang mengutip sebuah artikel yang ditulis tahun 2008 oleh seseorang bernama Allan Martin. Kurang lebih inti dari kutipan tersebut berisi kritik terhadap manusia yang gemar sekali menggunakan teknologi sebagai kambing hitam terhadap permasalahan atau kegagalan yang dihadapi manusia.
Misalnya, dalam urusan pelayanan publik. Jika pelayanan tidak maksimal, maka yang dijadikan kambing hitam adalah teknologinya yang belum ada tau belum maksimal. Kantor-kantor pelayanan publik menuntut keberadaan infrastruktur teknologi yang mumpuni demi menggenjot kualitas pelayanan. Namun, di saat yang bersamaan, terdapat juga keluhan mengenai semakin menurunnya kualitas pelayanan di kantor-kantor pelayanan publik. Alasannya, para aparat pelayanan terlalu asik dengan komputer masing-masing, entah untuk main Zuma atau sekedar menikmati layanan streaming video.
Contoh lain adalah maraknya kasus ketergantungan anak-anak terhadap gadget, dan tetap saja yang kerap disalahkan adalah gadget-nya. Para orang tua yang menyayangkan anak-anaknya terlalu asyik dan bahkan bisa menangis tanpa henti jika tidak diberikan gadget seakan lupa atau pura-pura tidak sadar mengenai siapa yang mengajarkan dan menyediakan fasilitas gadget tersebut untuk anak yang bahkan usianya belum genap lima tahun. Mereka — para orang tua — yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak-anaknya mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada benda mati yang secara berkala harus diisi dayanya itu.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa keberadaan penolakan-penolakan terhadap inovasi maupun teknologi itu sebenarnya bukan penolakan terhadap keberadaan teknologi. Yang justru seharusnya digugat adalah aktor yang memegang “remote control” dari teknologi tersebut. Teknologi, meski hakikat dasarnya adalah memudahkan kehidupan manusia, tidak bisa begitu saja disisipkan ke dalam keseharian manusia. Perlu cara-cara tertentu, perlu memperhatikan batasan-batasan, bahkan perlu juga menimbang-nimbang, apa jadinya jika teknologi tersebut diperkenalkan secara luas. Berlindung di balik nama teknologi sebagai legitimasi untuk bertindak tanpa pikir panjang dan tanpa tanya sana-sini juga bukan merupakan sikap yang bijak.
Jangan mentang-mentang ada embel-embel teknologi lantas kehilangan sensitivitas terhadap aspek-aspek lain. Jangan karena ada made-up words semacam e-governance, internet of things, digital disruption, smart cities, atau apapun yang sering menjadi gimmick, karpet merah dengan mudah terbentang begitu saja dan mengabaikan aspek-aspek lain.
Tidak begitu.
Literasi dan Teknologi Digital
Bagi saya pribadi, kata literasi ini akan sulit sekali untuk menjadi banal sehingga masih relevan untuk digunakan dalam berbagai konteks, termasuk dalam pembahasan ini.
Gagasan mengenai literasi teknologi pertama kali muncul tahun 1970-an. Kelahirannya tidak terlepas dari respon terhadap dua kekhawatiran yang berkembang pada saat itu : kekhawatiran mengenai dampak buruk dari perkembangan teknologi terhadap kemanusiaan, dan ketidakmampuan tenaga kerja untuk keep up dengan perkembangan teknologi. Dua pokok permasalahan tersebut, meski berasal dari pijakan yang berbeda, kemudian menjadi dasar dari konsep yang kemudian dikenal sebagai literasi teknologi. Pada perkembangannya, konsep literasi teknologi dikembangkan menjadi konsep literasi yang lebih spesifik. Salah satunya adalah literasi digital.
Literasi digital adalah konsep literasi yang lebih spesifik tentang pengetahuan dan kecakapan manusia terhadap teknologi digital. Diajukan tahun 2006 oleh Mawes and Fowler:
Digital literacy is the awareness, attitude and ability of individuals to appropriately use digital tools and facilities to identify, access, manage, integrate, evaluate, analyze and synthesize digital resources, construct new knowledge, create media expressions, and communicate with others, in the context of specific life situations, in order to enable constructive social action; and to reflect upon this process.
Sederhananya, kemampuan literasi terhadap teknologi digital tidak hanya kemampuan untuk menggunakan teknologi digital (ability), namun juga termasuk sikap terhadap teknologi digital (attitude) dan kesadaran mengenai relasi manusia dan teknologi (awareness). Jadi, jika seseorang baru sebatas “bisa” menggunakan, maka tingkat literasi teknologi digitalnya masih rendah.
Kata teknologi memang belakangan asosiatif dengan internet dan gadget yang canggih dalam genggaman tangan. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, meski butuh sedikit penyesuaian konteks, konsep literasi terhadap teknologi digital relevan dikaji terhadap teknologi secara umum. Entah itu teknologi yang sudah cukup ketinggalan zaman seperti teknologi transportasi, hingga teknologi yang masih baru seperti uang elektronik. Entah itu teknologi perbankan yang sepertinya mudah, sampai teknologi artificial intelligence.
Memang, belakangan ini, ingar-bingar lebih banyak berasal dari teknologi informasi dan komunikasi, tapi relasi manusia tidak hanya bermasalah dengan teknologi digital atau teknologi informasi dan komunikasi. Kontemplasi manusia terhadap relasinya dengan teknologi perlu dilakukan secara menyeluruh. Sesederhana mobilitas manusia yang semakin lama semakin bergantung dengan kendaraan bermotor alih-alih menggunakan kaki sendiri, atau rumah tangga yang seakan tidak hidup tanpa keberadaan pesawat televisi. Keduanya adalah bukti bahwa dibutuhkan telaah ulang tentang bagaimana relasi manusia dan teknologi butuh dikaji ulang.
Sekali lagi, perlu diingat bahwa hubungan manusia dan teknologi bukan memosisikan manusia sebagai pengguna saja. Tahapan selanjutnya dari sekadar menggunakan adalah mengintegrasikan teknologi di dalam kehidupan. Integrasi teknologi bukan berarti menjadikan seluruh kehidupan bergantung sepenuhnya terhadap teknologi, namun menyadari bahwa keberadaan teknologi dan manusia membutuhkan sebuah konsep yang jelas, sehingga dalam implementasinya dapat ditarik garis pembatas yang tegas, di titik mana manusia terbantu dengan keberadaan teknologi, dan titik mana manusia menjadi manja terhadap keberadaan teknologi. Garis pembatas tersebut menjadi sangat relevan untuk mencapai satu tingkatan yang kompleks lagi, bahwa pada dasarnya teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan tak lebih cara untuk mencapai sebuah tujuan yang jauh lebih besar.
Dengan menyadari bahwa teknologi hanyalah sekedar “alat”, maka akhirnya manusia punya kesempatan untuk kembali menyadari bahwa di luar relasi manusia dengan teknologi terdapat relasi manusia dengan manusia lainnya dan dengan lingkungan hidup. Bahwa kemajuan dan kebaharuan yang diupayakan manusia tidak ada artinya jika meninggalkaan manusia lain dan mengabaikan keadaan lingkungan hidup.
Apa yang dibutuhkan seorang manusia untuk mengarungi perkembangan teknologi yang begitu cepat tanpa perlu merendahkan manusia lain dan membawa kerusakan terhadap lingkungan hidup?
Empati.
Daftar Pustaka
- Martin, Allan. (2008). Digital Literacy and the “Digital Society”. Digital literacies: concepts, policies, and practices. Peter Lang Inc.
- Mayes, T., & Fowler, C. (2006). Learners, learning literacy and the pedagogy of e-learning. Digital literacies for learning, 26–33.