Liputan / Warga

Diskucil #2: Bandung Lautan Kedai

Mabuk Senja dan Budi Daya Ruang Ketiga

Jaladri
Kolektif Agora

--

Kolektif Agora kembali menyelenggarakan Diskucil. Kali ini, temanya adalah dinamika antara gaya hidup urban dengan kebutuhan nongkrong dan hadirnya ruang ketiga di kota Bandung. Diskucil #2 menghadirkan Erdy Suryadarma, community manager di Lo.Ka.Si Coffee & Space. Diskusi bertempat di MUSAT yang juga bisa disebut sebagai salah satu ruang ketiga di Kota Bandung.

Sebelum bekerja di Lo.Ka.Si, Erdy sempat mendirikan startup meski belum memiliki kantor tetap. Karena adanya kebutuhan ruang, ia pun bekerja dari kafe ke kafe. Erdy yang sejak awal memiliki minat dengan “produktivitas”, menemukan fenomena bahwa ternyata kafe-kafe yang ia singgahi menjadi ruang-ruang ketiga yang bermuatan hal-hal positif seperti: diskusi, diseminasi pengetahuan dan informasi, bahkan sebagai ruang interaksi yang mempertemukan banyak manusia. Kegiatan positif itu dapat berbentuk bermacam-macam, seperti sharing events, private sessions, workshops, atau bermain board game bersama-sama.

Erdy melanjutkan bahwa third place (ruang ketiga), mengutip Ray Oldenburg, adalah tempat interaksi sosial (yang acap kali bersifat kreatif) yang sering dianggap sebagai jangkar kehidupan bermasyarakat. Dalam wacana ini, third place menjadi “ruang antara” yang memisahkan tempat tinggal sebagai first place dan tempat kerja sebagai second place. Leo Jeffres mengatakan bahwa third place bisa mewujud dalam bentuk community center, kedai kopi dan kafe, bar dan pub, restoran, pusat perbelanjaan, toko, mal, pasar, salon rambut, tukang cukur dan toko kecantikan. Meski begitu, Oldenburg memberikan delapan elemen yang membuat sebuah ruang dapat dikategorikan menjadi sebuah third place, yakni: 1) neutral ground; 2) leveling place; 3) conversation as the main activity; 4) accessibility and accommodation; 5) the regulars; 6) a low profile; 7) the mood is playful; dan 8) a home away from home.

Karakteristik “tempat fancy” — yang kemudian asosiatif dengan kafe, kedai kopi, atau dalam bentuk baru yang mulai naik daun, co-working space — sebagai ruang ketiga berkaitan dengan interaksi sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Dalam konteksi ini, ruang ketiga berperan dalam meningkatkan kualitas hidup dan memberikan batasan sosial. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, beberapa karakteristik tempat ketiga mengalami transformasi, tetapi masih menjadi medium penting untuk interaksi sosial serta meningkatkan kemampuan kota untuk lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan.

Kopi dan Ruang

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

Melalui Bandung Coffee Scene Map, Manual Brew Community memetakan ada 125 lebih kedai kopi di Kota Bandung dengan skala yang berbeda-beda. Dengan jumlah sebanyak itu pun di Bandung tiap bulannya ada 2–3 coffee shop baru. Mengagetkan? Itu baru coffee shop yang bisa dianggap mapan sebagai kafe, belum ditambah tempat ngopi yang sederhana di pinggir jalan yang sebenarnya bisa jadi tempat berkumpul juga.

Foto: instagram.com/manualbrewcommunity

Co-working space sendiri angkanya naik turun karena ada yang hidup dan mati. Erdy memetakan ada 15 lebih co-working space di Kota Bandung. Itu belum termasuk kafe yang mengklaim bahwa kafenya bisa digunakan sebagai co-working space juga. Erdy pun menambahkan bahwa setiap co-working space sebaiknya memiliki aglomerasi industri yang berbeda-beda. Misalnya seperti yang Erdy amati belakangan, di mana para desainer banyak berkumpul di Lo.Ka.Si, sementara pegiat pendidikan banyak berkumpul di Co&Co Space, dan lain-lain.

Munculnya ruang-ruang ketiga baru berdampak pada pergeseran keramaian yang tadinya misalkan di gerobak roti bakar, warung mie instan, kampus, dan lain sebagainya ke kafe-kafe dan ruang-ruang kerja bersama. Ruang-ruang ini juga memunculkan aglomerasi orang-orang dengan minat yang sama. Aglomerasi ini mampu meningkatkan produktivitas masyarakat tidak saja secara ekonomi, tetapi juga secara kreatif atau pun dalam bentuk lain. Seorang peserta mengiyakan perihal kerja remote di kafe bisa memacu orang menjadi lebih produktif. Karena semakin lama kita duduk, semakin banyak belanja dan mengeluarkan uang, sehingga kerja-kerja yang dilakukan haruslah efisien.

Selain itu, Erdy juga berpendapat bahwa coffee shop dan co-working space memiliki pola interaksi yang berbeda. Misalkan, jika di kafe kita agak canggung untuk berkenalan dengan orang di meja sebelah, di co-working space batasan personal menjadi lebih kecil karena kita sama-sama tahu ketika berada di sana maka kebutuhannya adalah kerja. Tidak seperti kafe yang kebutuhannya bermacam-macam, di ruang kerja bersama orang lebih terbuka untuk membentuk relasi baru.

Daya Kolektif Merawat Ruang Ketiga di Kota Bandung

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

Oky sebagai peserta diskusi mengamati ada fenomena di Yogyakarta yang ia temukan, yaitu ruang ketiga tidak banyak berbentuk kafe, tetapi lebih banyak berupa angkringan. Tapi, saat ia mencoba mereplikasi bentuk angkringan di Bandung ternyata tidak bisa karena suhu kota Bandung yang lebih dingin dibandingkan Yogyakarta. Orang tidak betah untuk berlama-lama di pinggir jalan malam-malam.

Seorang peserta lain bependapat bahwa kita seharusnya mampu mendefinisikan ruang kita sendiri dan jangan terus berkiblat ke luar negeri. Kita harus mampu membuka sudut pandang baru yang bisa menopang keberlangsungan ruang ketiga karena cara hidup kita berbeda dengan negara lain. Para pemuda harus sadar di mana masalahnya, agar kita tidak buang-buang uang tanpa menghasilkan satu ekosistem yang berkelanjutan.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

Pak Jimmy, seorang peserta diskusi, bercerita bahwa dulu warung kopi itu erat kaitannya dengan togel. Di mana ada bandar togel, maka di sekitarnya banyak warung kopi. Komunitas yang tumbuh di warung kopi pun adalah komunitas togel. Tapi zaman sudah berubah, sekarang bermunculan komunitas yang mungkin setahun dua tahun lalu belum ada. Pelaku bisnis perlu melihat kesempatan ini dan menjaring komunitas-komunitas yang bisa menghidupi ruang-ruang ketiga di Kota Bandung. Kalau iklim bisnisnya baik, tidak saja kegiatan ekonomi yang berkembang, tetapi komunitas yang memperkaya kultur Kota Bandung pun ikut berkembang.

Kafe yang sudah menjadi ruang ketiga dengan kegiatannya yang beragam, membuat kedai kopi dan ruang kerja bersama sulit dibedakan. Tapi Jarek, seorang peserta diskusi yang juga community manager di Co&Co Space, lebih memilih menggunakan istilah hub. Kita tidak perlu membatasi kegiatan di kedai kopi atau ruang kerja bersama. Selama bisa memaksimalkan revenue dan membuat tempat itu bertahan tanpa gulung tikar, kenapa tidak? Selain itu ketika menjadi hub, tempat itu bisa melakukan regenerasi. Terlepas dari produknya apa, semua tempat yang mempertemukan banyak orang bisa jadi ruang ketiga, dari taman sampai warung miras.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

Erdy berbagi sedikit pengalaman pribadinya, seperti kebanyakan generasi langgas lainnya, ia pun pernah menjadi orang yang hanya membeli satu gelas teh dan duduk di kafe selama berjam-jam. Tapi setelah jadi pengelola kafe ia menjadi sadar bahwa itu tidak baik untuk keberlangsungan bisnis. Kafe bisa bangkrut dan justru tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan orang akan ruang. Walau begitu, pihak kafe juga tidak bisa memaksa pengunjung untuk membeli apa dan duduk berapa lama. Erdy menghimbau agar orang-orang di diskusi kali ini bisa mengedukasi antar pengunjung untuk membangun simbiosis mutualisme antara pengunjung dan kafe.

Erdy juga memberi pandangan bahwa dengan membuat program kegiatan di kafe dan ruang kerja bersama dapat menarik 10–20% orang yang hadir di kegiatan tersebut menjadi pengunjung baru. Selain itu, kolaborasi kegiatan di luar jual beli makanan dan minuman (misalnya sewa ruang) dapat menjadi pemasukan untuk ruang ketiga sehingga secara bisnis pun ruang-ruang tersebut bisa bertahan. Dan yang paling penting, orang bukan hanya beli kopi, tapi mendapatkan hal lain yang bermanfaat. Ia berharap ruang-ruang ketiga ini selain bisa menjadi ruang komunitas, juga bisa menjadi creative hub agar Bandung bisa menjadi kota yang paling kaya secara pengetahuan.

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

--

--