Editorial

Tentang Industri Kreatif dan Reka-reka Neoliberalisme

Mempertanyakan Kejayaan Konser, Start-Up, dan Pameran Seni dalam Konstelasi Neoliberalisme Perkotaan

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Saat ini, seolah-olah barang dan jasa yang membawa embel-embel “kreatif” akan menempati ruang yang spesial dalam pasar komoditas. “Kreatif” menjadi sebuah gerakan, mewakili semangat baru dalam berusaha, melambangkan perubahan, menuntut pola pikir baru dari anak-anak muda. “Kreatif” adalah modern, up-to-date, dengan dalih tetap memperhatikan konservasi budaya lokal.

Di Bandung, utamanya, industri kreatif tengah menjadi salah satu narasi utama dalam perekonomian kota. Kota Kembang digadang-gadang akan menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Bapak Walikota sangat terkesima dengan best practice dari kota-kota di luar negeri, dan berusaha menirunya lewat pelbagai infrastruktur dan kebijakan penunjang, seperti membangun Bandung Creative Hub serta menerbitkan Perda tentang Kepemudaan. Pemuda-pemudi kota ini pun patut berbangga karena baru saja mendapat penghargaan Kota Layak Pemuda 2017 dari Menteri Pemuda dan Olahraga. Tak heran kalau Bandung menjadi kiblat bagi kota-kota lain di Indonesia untuk urusan “kreatif”.

Bagi kita yang suka menikmati musik, mungkin kita dapat merasakan bahwa sekarang semakin sering diadakan konser dan gigs di berbagai sudut kota, mulai dari di driving range, gudang bekas, taman, sampai hutan. Selain itu, kita juga mulai dimanjakan dengan ruang alternatif menonton film selain di bioskop, yakni berupa screening kecil-kecilan yang mulai bermunculan. Pameran seni dan fotografi juga semakin berkembang dan mulai didatangi orang-orang yang bukan pelaku seni, dan juga ditandai dengan banyak dibukanya galeri-galeri baru.

Pelan-pelan, kita melihat bahwa industri kreatif mulai bergerak dari arus pinggiran ke arus utama. Di satu sisi, industri kreatif menyisakan hal-hal yang patut direfleksikan. Jika selama ini industri kreatif dianggap sebagai sebuah revolusi dalam ranah ekonomi dan budaya, mungkin anggapan tersebut bisa jadi salah. Bisa jadi, dengan memahami lebih mendalam tentang neoliberalisme, industri kreatif merupakan jalan menuju destruksi urban.

Memahami Industri Kreatif

Supaya isme-isme yang disebutkan di atas dapat dipahami dengan baik, mulanya kita harus memahami dulu apa itu industri kreatif. Menurut UNCTAD (2010) industri kreatif dapat mengacu terhadap industri yang padat karya dan padat pengetahuan, terutama industri-industri yang memiliki input kreatif dengan konsentrasi tinggi. Saat ini, industri kreatif dicurigai merupakan sektor yang tumbuh cepat dan dapat bersaing dengan jasa finansial, teknologi informasi, farmasi, dan rekayasa hayati (Landry, 2004). West Development Commision (WDC) (2008) mengategorikan industri kreatif ke dalam tiga kategori, yakni aplikasi kreatif, ekspresi kreatif, dan teknologi kreatif.

Aplikasi kreatif merupakan industri-industri yang mengembangkan produk atau jasa dengan tujuan utama untuk dijual, contohnya seperti arsitektur, mode (fashion), penerbitan, pengiklanan, dan kerajinan tangan. Ekspresi kreatif mencakup industri-industri yang kemungkinan tidak didorong oleh pertimbangan komersial, seperti seni musik dan visual, fotografi, dan penyiaran televisi atau radio. Sedangkan teknologi kreatif merupakan industri-industri yang bergantung pada teknologi dan media digital, seperti perangkat lunak, permainan, animasi, dan desain grafis. Perlu diperhatikan bahwa sebuah industri dapat menjadi bagian lebih dari satu kategori, dan hal tersebut merupakan sebuah potensi yang besar.

Ilustrasi Visual Industri Kreatif, WCD (2008)

Berkaca dari konsep ini, wajar jika Kota Bandung menjadi salah satu kota dengan perkembangan industri kreatif yang pesat. Titah Walikota untuk membangun Bandung Creative Hub, contohnya, dapat mengakomodasi pelaku-pelaku industri kreatif dengan adanya fasilitas penunjang seperti studio desain, studio musik, dan sebagainya. Selain itu, dengan salah satu kebijakan yakni memberikan bantuan dana bagi karang taruna di setiap kelurahan, maka seharusnya kemampuan pemuda-pemudi Kota Bandung juga dapat dikembangkan dengan lebih merata.

Salah satu hal yang patut diperhatikan juga adalah modal budaya dalam industri kreatif. Landry (2004) menjelaskan bahwa sumber daya budaya (cultural resources) merupakan bahan mentah, dimana dibutuhkan kreativitas untuk mengeksploitasi dan membuatnya tumbuh. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa bentuk fisik seperti arsitektur bersejarah, atau juga kegiatan-kegiatan budaya yang tumbuh dalam masyarakat. Dalam konteks industri kreatif dan lingkup yang lebih luas, sumber daya budaya ini merupakan sebuah aset kompetitif bagi sebuah kota yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin dalam perlombaan tingkat global.

Manifestasi Neoliberalisme

Industri kreatif menyerukan semangat kebebasan berkarya dan inovasi. Dalam konteks kehidupan urban, industri kreatif juga berevolusi menjadi gaya hidup segelintir orang (pelaku industri kreatif). Evolusi ini menggerogoti kegiatan ekonomi, partisipasi politik, serta hubungan sosial. Untuk menciptakan produk dan jasa, industri kreatif membutuhkan modal dan sumber daya manusia yang mumpuni. Bagi sebuah kota, investasi merupakan hal yang berharga dalam membantu memutar sirkulasi kapital lebih cepat. Munculnya kedai-kedai kopi dan galeri-galeri seni alternatif ala-ala kota-kota di Amerika, sejatinya diharapkan dapat mengundang investasi. Pada akhirnya, embel-embel “kreatif” yang dianggap sebuah movement ternyata juga bentuk kapitalisme urban recehan.

Keberadaan ruang-ruang publik (yang ternyata tidak publik-publik amat) seperti co-working space atau venue berdiskusi, workshop, dan konser musik kecil-kecilan, juga merefleksikan bagaimana ilmu pengetahuan, seni, serta keahlian berkarya hanya mampu diakses kelas-kelas tertentu, orang-orang yang punya uang dan bergaya. Pionir-pionir ruang ini mengakomodasi pelaku dan konsumen barang-jasa kreatif, memanjakan mereka dengan memudahkan akses terhadap produksi dan reproduksi komoditas kreatif ini. Perilaku ini menjadi cikal bakal kenyamanan kelas-kelas menengah ngehe akan kondisi kota yang sangat neoliberal, bahwa pasar sedang berada di “pihak yang benar” dan menelantarkan kaum-kaum miskin kota yang ibarat menjadi anak tiri dalam pembangunan.

Neoliberalisme sendiri, dalam arti paling sederhana, adalah sebuah sistem pikir dan praktik yang percaya bahwa pasar — dimana kompetisi bebas berbiak — dapat mendorong efisiensi dan inovasi, dan merupakan jalur paling baik bagi kemajuan umat manusia (Harvey, 2005). Hal ini dapat kita dalam kehidupan perkotaan, mulai dari larangan berjualan di taman, membangun utilitas publik dengan melibatkan pihak privat, dan juga dalam narasi industri kreatif yang kita bahas sebelumnya. Santoso (2013) menjelaskan bahwa saat ini, kota-kota di Indonesia tengah mengalami tiga hal penting, yakni komodifikasi, privatisasi, dan komersialisasi dalam konteks neoliberalisasi ini. Ketiga hal tersebut sebenarnya dapat tercermin dari bentuk industri kreatif.

Pertama, bagaimana aset kultural dan sosial berubah (mengalami komodifikasi) menjadi barang dagang. Seperti yang dijabarkan sebelumnya, sumber daya kultural merupakan modal penting dalam menjalankan roda industri kreatif. Sumber daya yang dimaksud juga merupakan hasil dari proses reproduksi, contohnya bagaimana anak-anak muda senang menonton konser musik. Dengan kemudahan akses internet, kita begitu mudah terpapar dengan informasi global, termasuk bagaimana produk budaya seperti musik berkembang di berbagai belahan dunia. Hal ini menciptakan permintaan terhadap penampilan langsung dari musisi lokal maupun internasional. Pun hal yang sama terjadi pada budaya-budaya lokal yang menjadi tontonan menarik bagi para wisatawan.

Kedua, bagaimana kegagalan pemerintah dalam menjalankan penyediaan fasilitas umum membuat munculnya pihak privat (privatisasi) dalam arena publik. Kemunculan institusi semacam penyedia ruang kerja dan niaga kreatif merupakan implikasi dari ketidakmampuan pemerintah dalam memanfaatkan segala asetnya untuk mengakamodasi kegiatan kreatif tersebut. Alhasil, baik ruang-ruang publik yang sudah ada maupun ruang-ruang yang baru diciptakan, diolah sedemikian rupa dengan berbagai event yang diadakan untuk meraup keuntungan.

Ketiga, bagaimana institusi, organisasi, ataupun komunitas yang awalnya berupaya untuk bergerak di bidang non-profit, pada akhirnya menggerus nilai-nilainya sendiri (ter-komersialisasi), lewat berbagai bahasa dan etiket yang kasat indera. Hal ini diakibatkan ketidaksanggupan bersaing dengan insitusi atau bentuk industri lain. Agar dapat terus bersaing dengan industri yang lebih unggul, maka diperlukan strategi usaha yang progresif, dalam artian memanfaatkan segala aset internal dan eksternal untuk memutar kapital agar mendapat keuntungan.

Komodifikasi, privatisasi, dan komersialisasi di atas merupakan gejala utama dari virus neoliberalisme. Dalam konteks industri kreatif, berarti menjauhkan publik (terutama kelas bawah) dari akses terhadap moda produksi, komoditas kreatif itu sendiri, serta ruang-ruang yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Selain itu, aset budaya yang menjadi salah satu modal penting dalam industri kreatif, seolah-olah dikoptasi dan berusaha dimonopoli. Hal ini terutama tercermin dari propaganda atau bahasa promosi dari perusahaan kreatif. Pada akhirnya, budaya juga dijauhkan dari pemiliknya, dari masyarakat yang berhak atas transformasi dan reproduksi budayanya sendiri.

Penghancuran Kreatif

Dengan masuknya Bandung ke dalam jaringan kota kreatif Unesco, maka kita dapat meyakini bahwa Bandung telah sah menjadi kota kreatif (bukan hanya sekedar wacana politik saja). Pun dalam keseharian kita bisa melihatnya dari perkembangan teknologi dan gaya hidup kaum urbannya. Kontribusi ekonomi kreatif juga cukup tinggi dalam ekonomi kota Bandung, yakni sebesar 15,4% dari total PDRB.

Namun, wacana “kreatif” yang saat ini kian langgeng, ternyata tidak menyentuh urusan publik, terutama pengentasan kemiskinan dan perbaikan kehidupan masyarakat kelas bawah. Arus investasi yang kian tidak terbendung malah semakin merenggut hak-hak warga kota. Dalam konteks ini, industri kreatif terasa tidak mendapat tempat spesial dalam narasi perkotaan, jika pada akhirnya masih ada kasus-kasus ketimpangan, kemiskinan, dan penggusuran.

Dalam beberapa hal yang telah saya sampaikan, berarti kita dapat memerhatikan dua poin penting mengapa industri kreatif dapat (pelan-pelan) membunuh kota. Poin pertama adalah sifat alamiah dari industri kreatif. Hakikatnya sebagai sebuah “industri” membuatnya jauh dari segala bentuk “pergerakan” yang seolah-olah berpihak pada masyarakat dan kultur lokal. Aset budaya dari sebuah kota yang mengakar dalam masyarakat merupakan modal berharga yang membuat industri kreatif tumbuh: menciptakan permintaan dan menjalankan roda kapitalisme itu sendiri.

Meski di satu sisi budaya-budaya yang dimaksud dapat dikenal khalayak global, namun pemaknaan akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (oleh masyarakatnya sendiri) bergeser menjadi kesempatan ekonomi yang menggiurkan. Bentuk, kuantitas, dan kualitas dari aset kultural tersebut pun bervariasi dari tiap komunitas dan lokasi, sehingga menyebabkan kecenderungan ketimpangan sosial dan spasial. Belum lagi, bagaimana kapasitas kemampuan dari masyarakat untuk mentransformasi aset tersebut menjadi sebuah “industri” yang dimaksud, dapat berkontribusi pula terhadap “segregasi kreativitas” ini.

Poin kedua adalah bagaimana praktik dari industri kreatif tersebut. Disini saya ingin menekankan bahwa saya pribadi tidak bermaksud menganggap industri kreatif sebagai sebuah bentuk penyakit yang harus disembuhkan, tetapi merupakan sebuah antibiotik yang salah dosis. Dengan kesadaran akan budaya dan keberadaan masyarakat, sebenarnya industri kreatif memiliki potensi untuk memberikan peran lebih kepada masyarakat dalam kontestasi ekonomi global.

Bagi saya, industri kreatif ini menjadi semacam keniscayaan, mengingat pergeseran paradigma ekonomi global, dan merupakan hal yang tidak baik pula jika dihindari. Untuk menghindari penghancuran yang dimaksud, pada akhirnya diperlukan tuntutan substansial terhadap bentuk-bentuk industri kreatif arus utama yang berkembang saat ini. Pengalaman saya (yang pernah bekerja dalam arena industri kreatif) menunjukkan bahwa masih terdapat institusi dan aktor yang berusaha memberikan makna yang lebih mendalam tentang kultur, masyarakat, dan proses kreatif: bahwa terkadang pengetahuan dan kemampuan tidak harus selalu ditukar uang dan keuntungan pribadi.

Referensi

UNCTAD. 2008. Creative Economy Report. United Nations.

Landry, Charles. 2004. Imagination and regeneration: cultural policy and the future of cities. comedia.org.uk.

Harvey, David. 2005. Neoliberalism as creative destruction. Sage Publications, Inc.

Santoso, Jo. 2013. Memahami Transformasi Urban di Asia: Belajar dari Kasus Jakarta. Tata Loka Volume 15 Nomor 2, Biro Penerbit Planologi UNDIP.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between