Kolom

Jalanan Kampung dan Ingatan-Ingatan yang Melekat

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
6 min readSep 3, 2018

--

Oleh: Muhammad Yudha Pratama

Foto oleh Penulis, 2018.

Kali ini, ingin rasanya saya menulis tentang kota dengan cara sederhana. Ingin saya rangkum kesah ini dalam bentuk curhatan pribadi. Harapannya, agar pembaca atau pemirsa bisa merasa, bagaimana melasnya menjadi saya dan kami, orang-orang kampung di kota.

(menarik nafas panjang)

Baik, langsung saja saya mulai ceritanya.

Ini tentang retrospeksi ingatan masa kecil, tentang jalanan kampung di rumah saya di Depok. Jalanan ini tidak lebih dari 5 meter luasnya. Jalanan ini saya ingat betul karena di sanalah saya dan teman-teman tumbuh menapaki setiap ruasnya.

Siapapun tentu sepakat, bahwa jalanan adalah tempat berbahaya untuk anak-anak. Maka jangan heran, dulu orang tua kami selalu bawel, seakan tidak pernah bosan mengingatkan agar kami berhati-hati saat bermain di jalanan. Takut jika terjadi apa-apa kepada kami, anak yang dicintainya. Kami memang bisa saja terserempet atau lebih mengenaskannya, tertabrak. Padahal, jalanan di kampung kami tidaklah begitu ramai, per menit mungkin hanya dilewati 15 sampai 20 kendaraan bermotor.

Di jalanan kampung kami waktu itu, kami seperti bajingan kecil, tengik dan riang berlari menggiring bola, sembari menuju lapangan tenis yang lokasinya berada di komplek sebelah. Pernah sewaktu masih di taman kanak-kanak, saya memainkan delman-delmanan di tengah kubangan aspal yang bolong. Bayangkan betapa bajingannya saya dulu, berani-beraninya merebut hak pengguna jalan kampung hanya untuk kepentingan pribadi. Atau, memang dulu tidak ada kendaraan lewat? Maka sah-sah saja jika saya dan teman-teman bermain di jalan. Toh, di mana lagi tempat, di saat tempat bermain ideal satu-satunya adalah lapangan tenis komplek yang berbatasan langsung dengan kampung kami, dilarang digunakan oleh para penghuninya. Karena kalian bukan anak komplek,” kata mereka. Sering saya senyum-senyum sendiri bila mengingatnya.

Andai kata Silampukau sudah ada waktu itu, pasti saya dendangkan salah satu liriknya di telinga mereka, Kami hanya ingin main bola!

Tapi, kini semuanya berubah. Betul-betul berubah. Saat saya pulang ke rumah setelah beberapa tahun meninggalkan Depok, saya harus menerima kenyataan bahwa jalanan di depan rumah saya tidak lagi selengang dulu. Awalnya saya sendiri menaruh curiga, tapi akhirnya saya lebih memilih bangga.

(menyeringai sembari menyilangkan kedua tangan di dada)

Awalnya, jalanan kampung kami semakin padat di waktu weekend saja. Maklum, kebanyakan orang Depok keluar untuk bertamasya, sehingga menyebabkan jalan-jalan utama di kota Depok macet dan padat. Keadaan tersebut lantas membuat banyak pengendara bersiasat untuk mengalihkan jalur tempuhnya melewati jalan alternatif. Ini dipilih untuk mengurangi resiko kemacetan tersebut. Dan salah satu jalan alternatif yang cukup populer adalah jalanan kampung kami, yang luasnya tidak lebih dari 5 meter itu.

Duh, kesian adek-adek kami yang kepengen lari-larian menikmati hari libur sekolahnya, mesti hati-hati, sebab jalan rame betul!

Hari ini, entah saya lupa hari ini hari apa, mungkin ini Senin? atau Selasa? atau Kamis? Ah, benar-benar saya lupa! Yang jelas bukan Sabtu atau Minggu! Tapi, kenapa jalanan di kampung kami terus-terusan ramai? Jika pagi, saya bingung, mana orang yang ingin membeli nasi uduk dan mana orang yang sedang berangkat kerja. Bukan sekadar motor, tapi juga angkot, mobil pribadi sampai dengan ondel-ondel tumpah ruah di jalan kami, menjadikan jalanan kampung kami seperti sebuah jalur migrasi besar-besaran.

Saya coba menuju persimpangan kecil. Saya berucap syukur sedalam-dalamnya. Berkat keramaian ini ternyata ada hal lain yang bisa dipetik hasilnya. Keramaian ini ternyata mampu menciptakan pekerjaan baru bagi laki-laki pengangguran di kampung kami. Mereka kini punya profesi sebagai “polisi serebu”, bertugas mengatur arus perlintasan kendaraan di ruas jalan kampung kami. Kebetulan, saya pernah bertanya ke salah satunya. Katanya, mereka bisa meraup keuntungan finansial berkisar 40 ribu sampai dengan 60 ribu setiap harinya. Lumayan buat bisa hidup satu hari.

Khusus di lingkungan RT saya, terdapat jalan yang panjangnya tidak lebih dari 500 meter. Kini, jalanan tersebut dihiasi 4 pos semi permanen yang dijaga oleh polisi serebu. Bayangkan, empat pos! Yang berarti, bila ada angkot melewati ruas jalan tersebut, maka sang supir yang sedang mengelap peluh dengan handuk lusuhnya, harus merogoh kocek sebesar kurang lebih 4 ribu untuk dibagikannya kepada 4 penjaga pos. Janggal? Memang!

Tapi, jangan pernah mengira keadaan tersebut sebagai tindak pemerasan. Cobalah sendiri, kalian akan tahu bahwa harga tersebut senilai dengan peran yang telah mereka abdikan. Untuk jalan yang berbelok-belok, dengan rumah di kanan dan kiri jalan, dan yang lebarnya tidak lebih dari 5 meter itu, bagaimana mungkin dua mobil dari arah berlawanan bisa melewatinya tanpa adanya mereka yang mengatur?

Saya paham bahwa jalan adalah milik semua orang. Dan saya (atau kami) tidak punya hak untuk menolak. Jalanan kampung mungkin tidak seperti jalanan komplek kebanyakan yang memiliki otoritas atau hak istimewa dalam mengizinkan atau tidak ruas jalannya dihibahkan sebagai jalan umum. Tapi, mari kita coba untuk bijak, mencari tahu kembali apa definisi jalan kampung.

(benahi jika saya salah)

Yang saya tahu, jalanan kampung adalah jalanan yang berbatasan langsung dengan rumah-rumah penduduk, bukan toko-toko besar. Rumah-rumah yang siapa tahu di dalamnya terdapat orang tua yang sedang membesarkan anaknya. Rumah-rumah yang seharusnya bisa dijadikan tempat menjemur bayinya di pagi hari, ketika matahari masih cerah dan udara begitu harum. Rumah-rumah yang di berandanya, para balita sedang belajar merangkak dan berjalan. Rumah-rumah yang seharusnya dapat membuat mereka tidur nyenyak di malam hari.

Namun, yang terjadi kini cukup mengerikan. Jalanan di kampung kami telah layak digunakan anak-anak untuk berlatih menyebrang jalan. Mereka mungkin berpikir “Apa bedanya menjajal nyebrang di jalan kampung dengan jalan raya sebenarnya, kalau sama-sama ramai?”

(jeda)

Seharusnya saya harus berhenti untuk menulis ini, mengurungkan niat saya menyampaikannya kepada siapapun yang membacanya. Apalagi ketika saya tahu, bahwa di beberapa titik terdapat plang arah jalan. Plang yang menyuguhkan informasi “Jalur Alternatif” menuju tempat-tempat lain. Saya tertegun beberapa saat, ketika melihat di pojok bawah plang tersebut terdapat label “Dinas Perhubungan Kota Depok”. Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri: apakah arti dari semua ini? Apakah dengan adanya label Dishub tersebut menandakan jalan alternatif ini telah sah? Telah legal? Yang berarti berundang-undang? Berpayung hukum? Kalau begitu, baiknya saya harus berhenti! Baik! Tapi, sedikit lagi!

Saya jadi penasaran, adakah seremoni ketika pihak terkait mengesahkan jalanan kampung kami ini sebagai jalan alternatif? Yang saya maksud semacam seremoni seperti pada umumnya, semacam gunting pita, menerbangkan balon, atau mengadakan pesta rakyat dengan melibatkan orang kampung untuk hadir karena ada acara makan-makan gratis. Melibatkan mereka untuk merayakan bersama bahwa jalanan tempat mereka besar kini telah disahkan statusnya! Kalau memang itu kenyataannya, saya pasti terima. Tidak ada pembelaan untuk menolak.

Namun, yang perlu diketahui, saya atau teman-teman saya yang dulu bajingan kecil ini kini telah tumbuh menjadi dewasa. Sebentar lagi, kami akan menjadi orang tua. Kami akan menggantikan kegelisahan orang tua kami dulu tentang anaknya dan jalanan di depan rumahnya. Bila dulu dengan frekuensi kendaraan yang lengang kami mendapatkan peringatan seperti itu, sikap apa yang seharusnya kami ambil nanti terhadap anak-anak kami? Ketika jalanan kampung kami hampir dapat dipastikan lebih ramai, padat, riuh, bagaimana cara kami menjaga anak kami nanti? Bagaimana kami nantinya menunjukan rasa cinta kami kepada anak-anak kami, ketika jalanan di depan rumahnya tidak mampu ramah untuk mereka susuri? Jalanan yang kini terlalu berbahaya, jangankan untuk dipijak, melihatnya saja sudah memberikan kesan yang buruk bagi mereka.

Kami tidak mungkin melarangnya, sebab anak kami bukan anak komplek. Kami tidak punya taman bermain, kami tidak punya lahan kosong untuk mereka berkeliaran, lari-larian dengan bebas dan riangnya. Sebagai penulis, maka ini yang menuntun saya pribadi untuk memilih. Saya tidak perlu membesarkan anak-anak saya di kota yang tidak memberi keramahan bagi anak-anak. Biarpun saya harus mengakui bahwa saya adalah satu dari sekian warga kota yang kalah. Biarlah. Gak papa. Saya hanya berharap anak-anak saya tetap bisa menjadi anak kampung yang liar dan bebas untuk belajar mencari jalan hidupnya sendiri di tempat lain.

Ah, pahitnya. Percuma juga menulis ini. Bagaimana mereka mampu mengerti kalau jalanan ini saja tidak pernah mereka susuri?

Depok, 16 Juni 2018

Muhammad Yudha Pratama adalah Pimpinan Program Sekolah Membaca Naskah-IDRF. Ini adalah kali kedua ia menulis bersama Kolektif Agora, setelah sebelumnya bercerita “Depok: Kota dengan Tempat Tidur Massal”. Segala jenis respon terhadap tulisannya bisa dilontarkan melalui judas.pratama@gmail.com.

--

--