Fitur

Layar Kaca dan Lapisan Kehidupan

Menyoal Media Sosial dan Realitas Ganda

Dinda Primazeira
Kolektif Agora

--

Sangkara Nararya, 2018

Saat ini, media sosial telah menjadi hal yang sangat lumrah dalam keseharian kita. Perbedaan jarak, waktu, dan tempat tidak lagi membatasi kita untuk berkomunikasi. Tanpa harus menunggu lama dan mengeluarkan biaya yang besar, kita dapat saling bertukar kabar dengan seorang kawan yang beratus-ratus kilometer jauhnya.

Media sosial pun menjadi sumber informasi baru. Hanya dengan meng-scroll­ dan mengetuk layar gawai, kita dapat mengetahui kafe yang baru dibuka seminggu yang lalu, buku atau musik yang akan segera dirilis, usaha-usaha yang sedang memberlakukan cashback atau potongan harga, atau pun tempat-tempat estetik yang ramai karena baru saja dikunjungi — dijadikan konten — oleh seorang social media influencer.

Menjelma dalam Keseharian

Media sosial merupakan bagian dari media baru, yakni media yang memanfaatkan jaringan internet sebagai nutrisi utama. Menurut Dennis Mcquail (2011), interkonektivitas, interaktivitas, kegunaan yang beragam, dan ada di mana-mana merupakan ciri penting dari media baru. Media sosial sendiri didefinisikan sebagai medium berbasis internet yang menjadi saluran komunikasi masspersonal, di mana penggunanya bisa berinteraksi dan memilih untuk menghadirkan diri atau tidak, dengan konten yang bersumber dari penggunanya sendiri — user generated content (Carr et al., 2015). Media lama seperti radio, TV, dan koran yang pada masanya memiliki peran yang sangat kuat dalam membentuk opini masyarakat, pelan-pelan tersubstitusi oleh media sosial meskipun tidak sepenuhnya.

Dengan akses yang dipermudah oleh kemajuan kita sendiri dalam bidang teknologi dan informasi, media sosial kini berada dalam genggaman. Di antara berbagai perangkat lainnya, masyarakat Indonesia paling sering mengakses internet dengan menggunakan telepon seluler. Dengan banyaknya penggunaan internet menggunakan gawai, tidak mengherankan apabila Indonesia menjadi negara dengan penggunaan media sosial terlama ketiga di dunia setiap harinya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggaraan Jaringan Internet Indonesia (APJII), 89,4% masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk chatting dan 87% untuk menggunakan media sosial.

Pada dasarnya, media sosial bukanlah hal baru. Media sosial pertama kali muncul pada tahun 1997 dengan nama Six Degree, yang diikuti oleh Blogger pada tahun 1999. Pada tahun 2000 awal, Friendster, LinkedIn, MySpace, Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, dan Line pun bermunculan.

Perhatian terhadap media sosial baru meningkat pada beberapa tahun terakhir. Akses terhadap media sosial yang kian mudah dan murah telah menghadirkan perubahan struktural pada berbagai aspek kehidupan kita. Kemampuan perusahaan media sosial dalam mengembangkan fitur yang saling timbal balik dengan kefasihan manusia dalam mengoptimalkan berbagai perangkat pun berhasil menciptakan berbagai kultur baru.

Di antara berbagai jenis media sosial yang ada, Indonesia memiliki jumlah pengguna Instagram tertinggi ketiga di dunia, yakni sebesar 140 juta, dan pengguna Facebook tertinggi keempat di dunia, yakni sebesar 56 juta pengguna. Sementara itu, dari penelitian setahun sebelumnya, Youtube, Facebook, Whatsapp, dan Instagram merupakan empat media sosial yang paling sering digunakan di Indonesia.

Sumber: Global Web Index, 2017

Dari seluruh media sosial yang disurvey, Instagram merupakan media sosial baru yang langsung menjadi kesenangan anak muda (termasuk remaja). Dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat, Instagram menjadi salah satu media sosial favorit bagi masyarakat berusia 18–34 tahun.

Tidak mengherankan memang. Melalui Instagram, kita ditawarkan berbagai konten menarik yang memanjakan mata. Dengan algoritma yang sedemikian rupa, kita pun (hampir) selalu disambut dengan konten yang sesuai dengan diri kita.

Maya dan Nyata, Individu dan Komunal

Salah satu ciri media sosial sebagai media baru adalah interkonektivitas. Setiap konten yang telah kita unggah memiliki tempatnya sendiri pada jejaring maya yang begitu luas. Masing-masingnya tertaut satu sama lain, di mana setiap konten yang kita lihat membawa kita pada ribuan konten lainnya. Lucunya, kanal-kanal media massa pun sering kali mencatutkan konten dari media sosial. Hal ini dapat kita temukan pada program-program di berbagai stasiun televisi yang memperbincangkan peristiwa-peristiwa yang bertempat di media sosial. Tidak hanya itu, media-media jurnalistik pun kerap kali melakukan hal serupa. Fenomena ini menjadi sebuah penanda bahwa media sosial mulai menjadi bagian dari realitas.

Sebuah penelitian yang berjudul “Instagram-City: New Media, and the Social Perception of Public Spaces”, menyatakan bahwa kebanyakan dari kita saat ini dipengaruhi oleh tiga kondisi, yakni (1) identitas ganda (identitas nyata dan virtual); (2) interaksi sosial yang banyak dilakukan melalui perangkat elektronik; dan (3) informasi yang banyak diperoleh melalui internet (Toscano, 2017).

Sementara itu, komunikasi melalui media sosial berpengaruh terhadap enam aspek berikut, yakni (1) kepercayaan, nilai, dan sikap; (2) pandangan terhadap dunia; (3) organisasi sosial; (4) tabiat manusia; (5) orientasi kegiatan; dan (6) persepsi terhadap diri dan orang lain (Darmastiti, 2011).

Meskipun begitu, hubungan yang tercipta antara media sosial dan manusia tidak melulu bersifat satu arah. Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan Naufal Rofi yang bertajuk “Mental Digital: Terlalu Kental dan Banal?”, kondisi masyarakat kita pada saat ini tidak serta-merta disebabkan oleh teknologi semata.

Fenomena dunia maya dan dunia nyata ini dapat ditelaah melalui Reinforcing Spirals Model (RSM). RSM adalah model yang bertujuan untuk mengonseptualisasi paparan media dan/atau konten komunikasi tertentu dan efeknya dalam konteks sosial (Slater, 2007).

Sumber: Slater, 2007

Penelitian Slater (2007) menggunakan model ini untuk menjelaskan bagaimana interaksi antara media dan penggunanya saling mempengaruhi seiring berjalannya waktu. Interaksi antara media dan pengguna yang dimaksud dalam model ini bersifat kausal dan dinamis, di mana sebuah kondisi akan terus berubah dan tidak akan kembali ke kondisi sebelumnya (Slater, 2007).

Berdasarkan penelitian tersebut, nilai, sikap, dan perilaku seseorang yang berinteraksi dengan media akan selalu berubah dan vice versa. Sebagai contoh, pada sekitar sepuluh tahun yang lalu, telepon genggam hanya digunakan sebatas untuk menelepon dan berkirim pesan singkat. Namun, pada saat ini, banyak sekali yang dapat kita lakukan hanya dengan menggunakan telepon genggam yang hanya sebesar telapak tangan kita. Karenanya, perilaku kita yang sebelumnya menggunakan gawai hanya ketika “butuh”, kini bergeser menjadi “ingin”, atau bahkan sekadar pengalih pikiran.

Perubahan nilai, sikap, dan perilaku kita dipengaruhi oleh media yang kita gunakan. Preferensi kita terhadap sebuah media selanjutnya dipengaruhi oleh konten-konten yang terdapat pada media tersebut dan kesesuaiannya dengan identitas personal kita pada saat itu. Dengan mengikuti sesuatu dan mengabaikan yang lain, secara tidak langsung, kita mempersilakan diri kita untuk dipengaruhi oleh sesuatu dan membatasi sisanya. Tentunya, kondisi tersebut dapat berubah pada kemudian hari.

Selain nilai, sikap, dan perilaku, pemilihan media pun mempengaruhi pola komunikasi. Penyematan identitas yang dilakukan terhadap diri kita ketika menggunakan media sosial, secara tidak langsung, menentukan dengan siapa kita berinteraksi. Jejaring yang terbentuk dari proses ini pun membentuk sebuah identitas bersama atau identitas sosial. Dengan pelekatan identitas kelompok, seorang individu memiliki preferensi tambahan ketika memilih konten yang akan dikonsumsi ke depannya. Pelekatan yang berlebihan terhadap identitas komunal tertentu dapat menyebabkan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Karena terisolasi secara sosial, seorang individu atau kelompok cenderung kesulitan untuk menerima hal-hal di luar diri dan kelompoknya, tertutup pada ide-ide baru, dan bersikap “memusuhi”.

Shafiera Syumais, 2018

Kita dan Kota

Sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi pada masa ini, media sosial memiliki kuasa untuk membentuk pemikiran yang berujung pada pembentukan perilaku (Castells, 2009).

Interaksi antara warga kota pengguna dan media sosialnya dapat menjadi katalis maupun penghambat dalam proses pembangunan kota. Sebagai katalis, media sosial sudah banyak digunakan oleh pemerintah dan berbagai organisasi nonprofit. Terlepas dari jenis dan kualitas konten yang didistribusikan, penggunaan media sosial sebagai bentuk adaptasi teknologi merupakan langkah yang (semoga) baik. Selain itu, kehadiran media sosial juga berperan dalam menggerakan ekonomi perkotaan dan aktivitas transfer pengetahuan.

Tantangan dalam menggunakan media sosial, baik secara praktis maupun etis, pun masih cukup banyak. Berdasarkan frekuensi penggunaannya, interaksi yang berlebihan melalui media sosial dapat mengurangi produktivitas. Proses interaksi sosial ini menciptakan sebuah siklus yang disebut sebagai “effectual churn” (Fischer & Reuber, 2011). Effectual churn adalah siklus di mana aktivitas kognisi dan interaksi berlangsung berulang-ulang dan justru menihilkan perilaku produktif yang justru penting untuk mencapai tujuan. Sementara itu, penggunaan yang tidak rasional dapat berdampak pada kekacauan yang nyata, seperti peningkatan jumlah sampah karena konsumsi yang berlebihan dan kerusakan tempat-tempat wisata karena ketidakpedulian pada lingkungan sekitar.

Dalam konteks kota, media sosial dapat mempengaruhi tatanan sebuah kota. Meskipun kota bertanggung jawab atas warganya, berharap akan terus diurus dan menyalahkan kondisi tidak akan menyelesaikan apapun. Pada akhirnya, penting untuk tidak membiarkan diri kita dikendalikan oleh media sosial. Menyadari dan memahami bahwa media sosial bukan sekadar medium hiburan, mungkin merupakan awalan yang tepat bagi kita untuk mulai memikirkan bagaimana kita dapat berkontribusi bagi tempat di mana kita bernaung saat ini.

Dalam pelbagai sumber bacaan terkait media sosial, pengguna media sosial didominasi oleh masyarakat kelas menengah urban. Namun agaknya, pendidikan literasi kita dalam berkecimpung di media masih belum cukup mumpuni. Melalui Instagram, kita dapat melihat bagaimana konten visual yang dipopulerkan oleh segelintir orang direplikasi begitu saja. Padahal di balik konten tersebut, tersimpan proses kreatif yang lebih kompleks. Replikasi instan ini pun menunjukkan ketidakmampuan kita secara komunal untuk berpikir panjang dan rasional. Padahal dengan sedikit bernalar, mungkin kita dapat menyadari bahwa pengakuan tidak melulu soal jumlah like, metode iklan seperti endorsement melanggengkan budaya konsumerisme, dan tempat-tempat instagramable yang seketika ramai menimbulkan kemacetan yang tidak seharusnya.

“One dimensional society; in which individuals lose ability to think critically and negatively about society.”
— Herbert Marcuse

Dengan begitu, literasi media baru menjadi penting, terutama bagi remaja yang terbilang masih belum stabil rentan. Dalam sebuah penelitian terhadap remaja di Kota Surabaya, kemampuan responden dalam hal literasi media hanya sebatas pengguna. Mereka belum dapat menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi konten yang tersebar di media sosial. Meskipun konsep literasi media sudah dikenal sejak era media lama, literasi media baru menekankan pada kemampuan untuk terlibat secara kritis dan kreatif, meliputi partisipasi hingga produksi.

Dengan mengupayakan literasi media, setidaknya kita berusaha untuk mencegah terciptanya tatanan masyarakat baru yang merasa selalu benar dan kehilangan kemampuan untuk mengritisi dan mengevaluasi diri sendiri.

Referensi:

  1. Slater, M. D. (2007). Reinforcing Spirals: The Mutual Influence of Media Selectivity and Media Effects and Their Impact on Individual Behavior and Social Identity. Communication Theory, 17(3), 281–303.
  2. Slater, M. D. (2017). Reinforcing Spirals Model. The International Encyclopedia of Media Effects, 1–13.
  3. Carr, C. T., & Hayes, R. A. (2015). Social Media: Defining, Developing, and Divining. Atlantic Journal of Communication, 23(1), 46–65.
  4. Watie, E. D. S. (2016). Komunikasi dan Media Sosial (Communications and Social Media). Jurnal The Messenger, 3(2), 69–74.
  5. Toscano, P. (2017). Instagram-City: New Media, and the Social Perception of Public Spaces. Visual Anthropology, 30(3), 275–286.
  6. Hariyanto, Y. P. (2017). Literasi Media di Kalangan Remaja Kota dalam Penggunaan Media Sosial (Studi Deskriptif tentang Literasi Media di Kalangan Remaja Kota dalam Penggunaan Media Sosial di Surabaya) (Doctoral Dissertation, Universitas Airlangga).

--

--