Menilik Isu Gender dalam Konteks Urbanisme

Mery Ana Farida
Kolektif Agora
Published in
5 min readJan 27, 2018

Salah satu isu penting yang muncul di era milenial abad ke-21 ini adalah mengenai keseteraan gender. Isu ini menjadi penting dan mulai juga dibahas sebagai bahasan pokok serta wacana perdebatan di dalam setiap kajian, pembangunan, dan perubahan sosial. Kemudian, ditambah lagi semakin banyaknya pergerakan yang diangkat ke ranah publik sebagai sebuah protest movement terhadap kaum-kaum yang termarginalkan dan hak-hak perempuan, misalnya yang sedang fenomenal dan juga akan dilaksanakan kembali pada bulan Maret tahun 2018 ini yaitu Women’s March.

Karakter Gender adalah Suatu Budaya (Social Construct Product)

Menurut sejarah, ketimpangan memang telah ada sejak dahulu. Disebutkan bahwa sekolah campuran di Perancis misalnya, di tahun 1989, jika perempuan ingin bersaing dan berjuang demi hak-hak mereka, mereka biasanya diancam. Jika kita perhatikan, pribadi seorang anak memang telah dibentuk sejak masih dini dan pembentukan karakter tersebut dimulai dari sistem paling sederhana yang disebut keluarga. Bahwa sebagai seorang perempuan mereka sewajarnya bermain dengan boneka, memakai rok, bersikap manis, dan selalu harus berlaku sebagaimana seorang perempuan. Kemudian juga, sedari kecil seorang laki-laki dibentuk untuk selalu bermain keluar — lebih bebas.

Masyarakat sebagai suatu kelompok menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Seorang pakar bernama Ann Oakley berpendapat bahwa gender ini merupakan alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi. Kemudian juga ditegaskan bahwa konteks gender ini merupakan pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya yang tidak bersifat universal.

Hal ini juga kemudian didukung dengan pemenuhan fasilitas-fasilitas dalam dunia urban itu sendiri, yang kemudian juga menambah dukungan atas terbentuknya budaya dalam masyarakat. Misalnya saja seperti penyediaan fasilitas publik yang kemudian dibedakan antara laki-laki dan perempuan; atau dalam dunia bisnis, penyediaan baju sebagaimana seharusnya yang khusus untuk laki-laki dan untuk perempuan.

Menurut pemahaman Simone de Beauvoir, perempuan itu dikonstruksi secara sosial untuk menjadi perempuan. Maka berdasarkan pemahaman tersebut, perempuan pada dasarnya dapat dipandang sebagai seorang manusia tanpa melihat atributnya secara biologis, tetapi lebih dipandang dari bagaimana cara mereka berpikir dan memiliki kebebasan. Penjelasan secara fundamental mengenai perempuan bebas ini dapat dilihat pada tautan berikut “Sedikit Pemahaman Secara Fundamental”.

Isu Gender dalam Konteks Urban

Isu gender ini menjadi penting untuk dibahas karena lebih dari 3,3 milyar penduduk yang tinggal di perkotaan adalah perempuan dan setiap tahunnya meningkat sebesar 65 juta jiwa. Menurut saya, jika berbicara mengenai urban, maka tidak dapat terlepas dari hak-hak atas kota itu sendiri atau right to the city, yaitu “……the right of all city inhabitants, to have equitable access to all that a city has to offer and also to have the right to change their city in the ways that city see fit”. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam bidang pembangunan dalam konteks gender ini, di antaranya:

  1. masih rendahnya peluang dan akses yang dimiliki oleh perempuan untuk bekerja di sektor formal;
  2. rendahnya akses dalam sumber daya ekonomi, teknologi, informasi, pasar, kredit, dan modal kerja;
  3. posisi perempuan di bidang sosial politik juga masih rendah dibanding laki-laki;
  4. masih banyak kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan.

Permasalahan-permasalahan gender ini tidak dapat dilepaskan dari konteks perkotaan karena mereka adalah bagian dari kota. Lebih jauh lagi, banyaknya konflik dan isu yang menyinggung konteks gender ini menuntut banyak solusi bagi berbagai stakeholders. Menurut data statistik, tercatat bahwa kelompok perempuan (yang biasanya berasal dari kalangan keluarga miskin) adalah kelompok yang sangat berisiko terhadap urban violence. Misalnya saja di Bangladesh dan Mesir, terdapat sebanyak 87% dan 83% perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

Note: Figure is based on expressed disagreement with the proposition: “It is perfectly acceptable for any woman in your family to have a paid job outside the home if she wants one.” (Sumber: The woman, peace, and security Index Report 2017/2018)

Pada gambar di atas juga dapat dilihat bahwa ketimpangan memang masih terjadi dalam hal “apakah seorang perempuan boleh bekerja di luar rumah jika mereka ingin”. Pada grafik dapat kita lihat bahwa Indonesia berada pada kisaran antara 30% — 40%, artinya masih banyak yang melarang perempuan untuk bekerja di luar rumah walaupun mereka menginginkannya. Hal ini juga berarti bahwa partisipasi perempuan dalam bidang pekerjaan secara formal memang masih cukup rendah. Menurut Gender-Inequality Index, Indonesia sendiri termasuk dalam kategori medium human development dengan peringkat 105 dan partisipasi dalam parlemen sebesar 17%. Dengan tingkat inequality pada edukasi dan pendapatan (income) juga masih berada pada kisaran 20% ke bawah. Dari hasil Gender Development Index (GDI), Indonesia sendiri masih berada pada angka 0,926, sementara Gender Inequality Index (GII) berada pada angka 0,467 dari skala 0–1. Hal ini berarti masih ada kesenjangan yang cukup tinggi antar gender dalam konteks pembangunan manusia.

Melihat konteks tersebut, menurut saya hal terpenting yang perlu diintervensi jika ingin memperbaiki kehidupan manusia ataupun masyarakat itu sendiri adalah melalui pendidikan. Pendidikan juga dapat dibentuk melalui pemberian bekal sejak dini terhadap anak dengan bantuan institusi baik informal maupun formal seperti keluarga dan sekolah-sekolah, serta bagaimana membentuk kota-kota yang lebih memanusiakan manusia yang secara inklusif mempertimbangkan hak-hak berbagai kelompok masyarakat, termasuk isu gender ini. Namun lebih jauh dari itu, sebaiknya perempuan dan semua kalangan masyarakat di dalam kota secara sadar mengetahui atas hak-haknya dan berperan secara aktif/partisipatif dalam membangun kotanya sendiri, tidak hanya soal pergerakan berupa movement yang cenderung eventual dan terkesan menjadi sebuah gaya hidup feminisme, tetapi konteks ini sebaiknya dipahami maknanya dan mulailah dengan tindakan saja atau lebih kepada aksi nyata yang diaplikasikan dalam pengembangan masyarakat itu sendiri. Beberapa hal yang bagus untuk coba dilakukan misalnya:

  • ikut berperan dalam organisasi-organisasi seperti NGOs yang kemudian ikut memperjuangkan hak-hak atas kota;
  • berpartisipasi dalam forum-forum, contohnya seperti International Women Leaders’ Conference atau forum-forum penting lainnya;
  • berperan dalam decision making dengan bekerja dalam bidang formal atau ikut aktif dalam dunia politik serta ekonomi untuk membangun kota;
  • yang tidak kalah penting juga yaitu dalam skala yang lebih mikro, misalnya dalam keluarga, mampu mengajarkan pengetahuan tentang gender-equality sejak dini, dengan memberi kebebasan pilihan terhadap anak-anak mereka.

Selanjutnya, salah satu solusi untuk menyelesaikan perkara/isu gender ini adalah dengan membangun pemahaman terhadap generasi muda, sehingga mereka memiliki kesadaran akan hak-haknya atas kota. Hal sederhana yang paling penting dan terkadang kurang menjadi perhatian adalah dengan metode parenting (based on the root) dalam keluarga dengan menanamkan edukasi/memberikan contoh, juga pemahaman mengenai gender-equality sejak dini. Dengan begitu, dapat meminimalisasi konflik terkait isu gender yang terjadi dalam pembangunan kota. Kota juga seharusnya memberikan fasilitas yang inklusif dan akses (khususnya terkait pendidikan dan informasi) yang mampu menjangkau lebih luas lagi bahkan sebaiknya ke wilayah-wilayah yang tergolong masih tertinggal yang sebagian besar dihuni penduduk miskin/kalangan marginal.

27 Januari, 2018

Mery Ana
Alumni PWK ITB 2013

Referensi:

--

--