Fitur

Menua dan Merana di Kota

Tentang Kodokushi, Fasilitas Publik, dan Hari Tua

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Melalui tajuk Dibuang Sayang pada bulan Agustus kemarin, Kolektif Agora berbicara tentang “hilang”. Banyaknya limbah di seluruh dunia barangkali hadir dari kurangnya kesadaran untuk merawat. Benda mati saja tidak sebaiknya diperlakukan sekali pakai lalu dibuang, apalagi manusia?

Kesadaran untuk merawat tidak hanya menghindarkan kita dari memproduksi limbah dan mengonsumsi sampah, tapi juga memelihara serta menghargai manusia dan makhluk hidup lainnya. Merawat artinya menjaganya untuk tetap tumbuh, bahkan di usia senja pascaproduktifnya.

Untuk belajar merawat, barangkali kita perlu melihat negara Jepang. Dengan 26,3% penduduknya yang berusia 65 tahun atau lebih, Jepang menjadi rumah bagi penduduk tertua di dunia. Sayangnya, para penduduk sepuh ini tidak sedikit yang menjadi penghuni rumah tangga tunggal.

Masyarakat modern Jepang mengalami perubahan budaya dan ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Dalam tiga dekade terakhir, Jepang menghadapi pangsa rumah tangga berpenghuni tunggal yang tumbuh lebih dari dua kali lipat menjadi 14,5 persen dari total populasi. Kenaikan tersebut terutama didorong semakin banyaknya pria berusia 50-an dan wanita berusia 80-an atau lebih.

Dalam rumah tangga tunggal, tidak terdapat perawatan pribadi informal seperti suami atau istri yang melayani satu sama lain. Pekerjaan domestik seperti merawat rumah atau memasak kini diganti oleh layanan yang bisa dibeli, terutama masalah kesehatan. Apakah pekerjaan-pekerjaan domestik itu memang bisa diganti oleh industri profesional? Lalu, apakah kota sendiri mampu untuk menghadapi masyarakat yang semakin menua?

Sepi Lalu Mati

Komposisi piramida masyarakat yang semakin bergeser ke usia tua, tidak hanya membuat semakin larisnya beberapa profesi seperti layanan perawatan tadi. Muncul pula beberapa profesi baru seperti layanan khusus pembersihan jenazah. Kodokushi, salah satunya, menjadi alasan munculnya pekerjaan ini.

Kodokushi (mati kesepian) mengacu pada fenomena orang-orang Jepang yang meninggal sendirian dan tidak ditemukan dalam jangka waktu yang lama. Kodokushi dikaitkan dengan masalah ekonomi dan populasi Jepang yang semakin tua.

Jumlah kodokushi dilaporkan meningkat tiga kali lipat antara tahun 1983 dan 1994, dengan 1.049 kematian dilaporkan pada tahun 1994. Pada tahun 2008, ada lebih dari 2.200 kematian yang dilaporkan di Tokyo. Jumlah yang sama dilaporkan pada tahun 2011. Salah satu perusahaan swasta yang bergerak di Osaka melaporkan bahwa 20% dari pekerjaan perusahaan (300 kasus per tahun) adalah memindahkan barang-barang milik orang yang meninggal dengan kodokushi.

Untuk artikel kali ini saya mewawancarai salah seorang mahasiswi bidang keilmuan sastra dan budaya Jepang bernama Sophie. Ia pernah setahun belajar dan bekerja di Jepang dalam rangka pertukaran pelajar Indonesia-Jepang.

Hi, Sophie. Saya mau tanya-tanya soal fasilitas lansia di Jepang dong, kamu bisa bantu gak?
Boleeeeh

Kamu pernah ke tempat lansia atau liat fasilitas publik yang sekiranya membantu lansia nyaman beraktivitas gak? Atau pernah ke fasilitas umum yang bikin “Wah, ini harusnya ada di Indonesia nih”?
Jepang itu alat transportasi umumnya kereta, dan ruang untuk lansia di kereta juga lumayan banyak. Di setiap stasiun, walaupun stasiunnya jelek sekalipun, pasti disediakan elevator untuk orang-orang berkebutuhan khusus atau lansia. Gak cuma di stasiun, di jembatan-jembatan juga ada elevator. Untuk kereta, kalau ada penumpang yang pakai kursi roda akan dibantu untuk naik ke kereta menggunakan semacam papan bantuan untuk jembatannya. Terus, mereka akan berkomunikasi dengan pihak yang ada di stasiun tujuan si pengguna kursi roda, bahwa ada penumpang berkursi roda di gerbong sekian pintu sekian, nantinya bakal dibantu lagi untuk turun menggunakan papan bantuan tersebut.

Yoyogi Station, sumber: okiraku-goraku.com

Kalau bus bagaimana?
Sama seperti di kereta, di bus umum sendiri, orang sakit, lansia, dan wanita hamil ditempatkan di posisi paling depan dengan kursi 1-1 untuk membantu pergerakannya.

Tachikawa Bus, sumber: ameblo.jp/shinratshkent8725

Ada juga taksi khusus antar jemput lansia. Supirnya punya keahlian khusus untuk berkomunikasi dengan yang sudah tuli dan pikun. Dia juga harus punya kecakapan menyetir yang aman dan nyaman untuk lansia.

Minivan sering dipergunakan sebagai Taksi Lansia, sumber: http://kaigotaxi-info.jp

Jadi, mobilitas lansia pun terbantu, ya. Kalau di Jepang, sepertinya orang-orang malas pakai transportasi pribadi?
Bukan males tapi mahal, hahaha. Bensin disana 16 ribu (rupiah) per liter. Parkir enak bisa 50 ribu (rupiah) per jam. Bahkan kalau deket stasiun ada yang hitungan awalnya seribu yen atau 135 ribu rupiah.

Kamu pernah ke tempat tinggal yang ada lansianya? Itu apartemennya gimana?
Apartemen lansia seperti apartemen pada umumnya sih, tapi biasanya mereka punya komunitas buat ngecek keadaan tetangga. Ditakutkan ada lansia yang tinggal sendiri dan lagi sakit tapi gak diketahui.

Kodokushi ya?
Nah itu.

Kamu pernah ketemu langsung sama orang-orang yang bekerja di jasa pembersih Kodokushi?
Enggak, dan masih jarang cleaning service yang menyediakan pembersihan kamar bekas kodokushi.

Apakah karena tabu?
Karena jarang ada yang mau ngerjain. Kan, lumayan jijik juga, ya. Biasanya orang-orang yang punya motivasi tertentu yang kerjaannya seperti itu. Entah itu melihat gajinya yang lumayan besar atau emang ada niatan buat nolong.

Dari pengamatan kamu, fasilitas itu seberapa berpengaruh sih membuat Jepang jadi negara yang banyak orang tuanya? Banyak orang tua (yang berumur panjang) artinya di usia pascaproduktif pun mereka masih bisa hidup nyaman, kan?
Iya, kurang lebih seperti itu. Di sana selain banyak panti jompo, juga ada komunitas untuk orang-orang lanjut usia. Komunitas itu bahkan bisa sekadar grup jalan-jalan khusus lansia biar mereka merasa bahagia.

Wah, makasih banyak nih obrolannya. Kapan-kapan ngobrol lagi soal fasilitas umum atau Jepang boleh ya.
Boleh, kalau weekend haha. Sedang mengusahakan sidang (kelulusan) Desember nih.

Semangaattt!
Iyaaaak, makasiiih!

Wawancara ini telah disunting supaya lebih ringkas dan enak dibaca.

Masyarakat yang Menua

Kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, Jakarta, Bogor dan Surabaya, memiliki Taman Lansia. Tapi sayangnya, keberadaan Taman Lansia di suatu kota tidak berarti kota tersebut ramah terhadap orang-orang tua. Begitu pula ruang-ruang kota yang masih sulit diakses dengan sepeda atau kursi roda, termasuk salah satunya transportasi umum.

“Dalam konteks populasi global yang menua, para ahli mobilitas semakin melihat bersepeda sebagai cara untuk membantu para penyandang cacat bergerak di sekitar kota secara mandiri. Sepeda dapat bertindak sebagai “tongkat berjalan bergulir.” — Joanna Crosby, penduduk Cambridge.

Sayangnya, ruang-ruang kota di Bandung (dan banyak kota di Indonesia) banyak dijajah oleh sepeda motor. Sepeda kayuh sendiri masih berebut ruang dengan kendaraan bermotor. Masih berbahaya untuk orang yang memilih sepeda sebagai transportasi sehari-hari, karena harus berbagi ruang di jalan raya dengan kendaraan berkecepatan tinggi.

Sementara sesuai hukum ekonomi, masyarakat dunia ketiga dengan surplus penduduknya seringkali melihat manusia sebagai komoditas murah yang bisa mudah diganti karena jumlahnya yang banyak. Jangankan upah layak, nyawa saja masih murah. Orang-orang yang berada di luar lingkup produktif untuk statisik ekonomi suatu kota, menjadi “para liyan” (the others) yang terasing di kota sendiri.

Pembangunan kota yang bias kelas, menghasilkan kaum marjinal yang terasing di tempat yang seharusnya menjadi rumah. Kita yang produktif mungkin saat ini masih diakomodir kebutuhannya oleh kota. Tapi, saat kita tidak lagi seproduktif hari ini, apakah kota masih menjadi halaman yang nyaman saat kita beranjak keluar rumah? Apakah nanti kita bisa berhenti menggunakan barang sekali pakai dan menganggap manusia salah satunya?

Di dunia yang serba sekali pakai ini, yang sulit adalah berbagi dan merawat.

Jum’at, 26 Oktober 2018
#ilusinklusi

Jaladri
Penulis Milenial
Kolektif Agora

Daftar Pustaka

Terima kasih kepada Alvaryan Maulana dan Naufal Rofi untuk bahan bacaan dan referensi tulisan tema kali ini.

--

--